Fajar yang diam-diam mengumpul harap di bawah langit gelap. Menghitung detik. Bersabar menjumlahkan hitungan detik 60 kali menjadi menit. Lalu lebih bersabar lagi menghitungnya hingga ribuan bahkan puluh ribuan kali hingga pergantian hari tiba.
Fajar yang diam-diam melangkah membuka pintu lalu duduk di bawah langit yang masih gelap pekat tak ingin tertinggal sedetikpun menyaksikan fajar tiba. Adalah aku, yang setiap hari setia dan tak pernah lupa menyambut fajar dengan mata berbinar, merekam setiap prosesnya hingga bersinar dan mengubah langit gelap menjadi benar-benar terang.
Detik kembali berjalan, mengubah dini hari menjadi pagi, berganti siang, hingga sore. Lalu diantara sore dan malam ada senja ditengah-tengahnya. Senja yang setiap hari mengejar waktu agar setiap urusan terselesaikan tepat waktu, lalu dengan tenang duduk dibawah langit senja, merekam pergantian siang menjadi malam dengan sepenuhnya ingatanmu.
Kala itu kita duduk dibawah pohon yang sangat rindang dengan beralaskan tikar. Kala itu umur kita masih menginjak 17 tahun, aku duduk disebelahmu Aku bertanya
"kenapa orang tuamu memberi mu nama Fajar?". Mendengar pertanyaanku kaupun menjawab,
" karena, mereka ingin aku tumbuh seperti fajar yang ada disetiap pagi hari. Memberikan warna kepada setiap orang yang ada disekitarku, menyinari kehidupan yang gelap seperti fajar pagi yang menyinari langit -- langit malam secara perlahan -- lahan." Ucapmu sambil tersenyum.
Lalu ku tak ingin kalah dalam ber opini. Senja adalah sinar -- sinar mentari yang timbul dari sebelah barat ketika matahari mulai tergelincir di kaki kaki langit dan menjadikannya terbenam. Senja adalah bias mentari yang berwarna jingga, sama seperti sang fajar namun Senja adalah penutupan hari dan pembukaan untuk menyambut sang malam yang pekat.
"Dan bagaimana denganmu? Mengapa kedua orangtuamu memberi namamu Senja?" Tanya Fajar.
Kala itu kau tatap wajahku dengan seksama dan menantikan jawabanku. Dan akupun menjawab,
" aku tidak tahu apa arti namaku , yaitu Senja." Ucaku sambil mengangkat kedua bahuku
Kau mengerutkan kedua alismu.
" mengapa kamu tidak tahu arti dari namamu itu? Mengapa kamu tidak bertanya kepada mereka?"
Aku hanya terdiam dengan mata yang berkaca -- kaca dan kaupun semakin tidak mengerti
"Mengapa kamu hanya diam? Ayo, ku antar kau pulang sembari ku menanyakan arti nama mu" ucapmu
"Mereka tidak pernah ada dalam hidupku!" ucapku tegas
" apa maksudmu, Senja?"
" Fajar, aku ini hanyalah anak panti yang dibuang oleh kedua orang tuaku disaat aku tidak bisa mengenali siapa gerangan mereka. Bagaimana mungkin aku tahu apa arti dari namaku ini! sedangkan orang yang memberi namaku saja aku tidak tahu, jangankan mengenalinya, mendengar semilir namanya saja aku tidak pernah!" ucapku tegar tanpa ada setetes airmata yang terjatuh.
" lalu, bagaimana kau tahu bahwa merekalah yang memberi namamu Senja?"
" menurut pengasuhku saat dipanti, saat itu aku ditemukan dalam keadaan yang menyedihkan. Kedua orangtuaku meletakkanku diatas kardus dan menyelimutkan tubuhku dengan kain rombeng. pengasuhku itu menemui selembar kertas yang bertuliskan,
'
kami mohon jagalah anak kami dan berikanlah dia nama, Senja!' tak mengerti apa alasan mereka meninggalkan aku disana." Ucapku dengan linangan airmata.
Seketika langit senja berubah gelap, angin penyapu beberapa daun yang bergugur.
"Senja, maafkan aku karena secara tidak langsung aku telah mengingatkanmu pada masa lalumu itu" Ucap Fajar dengan penuh penyesalan.
" tidak apa -- apa Fajar. Aku hanya ingin kau tahu semua yang ada pada diriku, bukankah kau sendiri yang selalu bilang jangan pernah bersikap tertutup satu sama lain?" ucapku tersenyum.
" jangan bersedih, Senja!" sambil menghapus airmataku
"aku tidak bersedih, Fajar! aku hanya terharu karena telah menceritakan ini padamu, setidaknya aku cukup lega kau sekarang tau apa yang ingin ku ceritakan selama ini" ucapku sambil tersenyum.
***
Kala itu kita sudah mulai beranjak dewasa. Kau terlihat semakin tampan dan bijaksana. Saat itu kau mengajakku berkeliling taman dan kau masih seperti yang dulu, selalu setia menemaniku kemanapun aku pergi.
" STOP!" seruku
" ada apa Senja?" ucapmu sambil membungkukkan badanmu.
" kita kesana ya!" pintaku sambil menunjuk pada sebuah pohon besar yang dikelilingi oleh gugur -- guguran daun kering.
Kaupun hanya mengangguk.
Sesampainya disana.....
" Senja, apakah kamu merasa dingin?"
" tidak. Selama kau ada disini aku tidak akan pernah merasa kedinginan. Fajar, kamu tahu tidak kenapa aku ngajak kamu kesini?"
" aku tahu, karena sedari dulu kau selalu suka duduk dibawah pohon yang rindang seperti ini." ucapmu tersenyum.
" kamu tahu kenapa?"
" ehm..." sambil menggeleng
" karena duduk dibawah pohon seperti ini terasa damai dan tentram dengan hembusan angin yang lembut ditambah lagi guguran daun -- daun itu yang jatuh secara alami, apakah kau bisa merasakan itu?" ucapku memejamkan mata.
" aku bisa merasakannya, sangat damai." Ucapmu sambil menikmati semilir angin
"Fajar, menurutmu apakah aku pantas mendapatkan nama Senja? Â Bukankah senja itu indah dan menawan tidak seperti diriku ini?"
Kau tersentak...
" Senja, apa yang sedang kau bicarakan? Hey... kamu pantas mendapatkan nama itu. Kamu mampu menjadi sebuah senja seperti itu!" ucapmu sambil menunjuk pada langit senja sore itu.
 "Fajar, terimakasih karena kamu selalu menyemangati hidupku, mengisi hari -- hariku tanpa pernah membiarkan aku dalam kesepian dalam menjalani hidup ini. Fajar, apakah saat -- saat ini akan selalu ada dalam hidup kita?"
" dengar senja.. aku akan selalu berada disisimu, Â dan mengisi kekurangan satu sama lain dan saat -- saat ini tak kan pernah menghilang dalam hidup kita, kita sudah bersahabat 7 tahun dan kau orang yang selalu membuatku memiliki banyak tujuan yang satu per satu terwujud" Ucap Fajar tersenyum.
***
Pagi itu hujan turun mengguyur bumi. Aku hanya duduk diteras rumah sambil memandangi rintik -- rintik hujan yang berdenting lembut dan bernada.
Ya, aku hanya sendirian disini. Kedua orangtua asuhku sedang dinas diluar kota untuk beberapa hari sedangkan Fajar, biasanya dia datang kesini tetapi pagi ini, dia belum juga datang mungkin karena hujan. Ada sepiring roti bakar dan seteko teh hangat diatas meja tepat disebelahku. Aku selalu menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Namun Fajar belum juga datang sama seperti fajar pagi yang tidak muncul karena ditutupi oleh awan mendung.
"Huh.... Dingin sekali disini!" batinku
Aku memutuskan untuk menunggunya didalam rumah, tetapi...
" Senja!!!" teriak seseorang dari kejauhan
Terlihat samar -- samar tubuhnya yang sedang melajukan motornya diantara jutaan rintik hujan.
" yaampun Fajar! Kenapa kamu nggak pakai jas hujan lihat tubuhmu jadi basah kuyup kayak begini!"
Namun kau hanya tersenyum dan terdengar suara gigi -- gigimu yang bergemeretak dahsyat, kau menggigil.
" ayo cepat masuk dan ganti bajumu!" ucapku sambil menuju kamar ayah
Beberapa saat kemudian...
" yaampun Fajar, kenapa harus hujan -- hujanan kayak gini sih?" ucapku sambil menyelimuti tubuhmu
.
" tadi aku kehujanan dijalan dan lupa bawa mantel hujan!"
" kenapa nggak neduh dulu?"
" aku khawatir tau!" ucapku tegas
" yaudah.... Aku nggak apa- apa kok!"
Segera ku baringkan tubuhnya diatas sofa dan menyelimuti tubuhnya dengan bed cover yang tebal dan tak sengaja tanganku menyentuh keningnya
" Fajar kamu demam!!"
Kudorongkan kursi rodaku untuk mengambil es dan segera mengkompres keningnya.
" Fajar, segitu khawatirkah kamu padaku? Hingga kau tak peduli dengan kesehatanmu sendiri??" ucapku dalam hati"
" Fajar, kau selalu memberikan yang terbaik untuk hidupku, namun apakah sejauh ini aku selalu melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan untukku? Fajar, maafkan aku, jika selama ini aku hanya dapat merepotkan hidupmu saja" ucapku sambil disusul beberapa air mata berjatuhan
***
" besok aku jemput kamu ya, kebawah pohon idamanmu itu, kemarin aku lihat banyak sekali dedaunan kering disana yang berguguran."
 " siap Boss!!!" ucapmu sambil melajukan motor.
Aneh sekali, tidak biasanya dia membuat janji untuk menjemputku.
Keesokan harinya, tepat jam 5 sore Fajar menjemputku dan mendorong kursi rodaku menuju taman yang tidak jauh dari rumahku.
" Fajar, memang ada apa sih? tumben kamu bersikap kaya gini?"
" udah... nanti kamu juga tahu!!!" ledeknya
Sesampainya aku disana, ternyata benar banyak sekali dedaunan kering yang berjatuhan, indah sekali! Langitpun mulai memahat Senja yang berwarna jingga itu.
" Senja....." panggilmu sambil menggenggam kedua tanganku
" iya... kamu kenapa sih?" ucapku sambil tertawa melihat adegan ini
" terimakasih selalu menyemangati ku dan membuat ku merasa hidup"
" sudah sepantasnya sahabat menyemangati kan?"
" Senja, aku selalu menunggu mu tuk menjadi tujuanku"
Aku diam seribu bahasa...
 Fajar dan Senja takkan pernah bisa bersama. Fajar datang dipagi hari untuk membuka hari yang cerah sedangkan Senja datang pada sore hari untuk menutup hari dan menyambut kedatangan sang malam.
Â
" Senja sadarkah engkau? Bahwa sesungguhnya kita ini ditakdirkn untuk bersama. Sama halnya dengan Fajar dan Senja yang datang pada pagi dan sore hari, mereka berasal dari bias -- bias cahaya matahari, bukankah mereka berasal dari matahari yang sama? Bukankah mereka memiliki tujuan yang sama? Yaitu untuk memperindah langit dengan warna jingganya?" Ucap Fajar memperjelas kan keinginan hatinya.
" Fajar, aku akan menyelesaikan S3 ku di luar kota kau bisa menunggu ku? Aku ingin menggapai cita -- cita ku dulu, begitu juga kau"
" tentu Senja, kau tau ku akan selalu menunggu mu"
" terimakasih Fajar " ucapku tersenyum.
" Senja, aku akan pergi juga ke luar kota untuk pekerjaan yang selama ini ku dambakan"
" kau hebat Fajar! Aku bangga padamu "
" berkat mu Senja "
2 tahun kemudian ku lulus dengan nilai yang di banggakan dan langsung mendapat pekerjaan. Tapi ku  menunggu Fajar datang menemui ku tapi, tiba -- tiba orang tua Fajar menelfon ku
" Senja "
" Iya tante? "
" kau bisa datang sekarang ke sini? "
Dengan bergegas ku menuju bandara dan menuju rumah Fajar
Ku lihat bendera kuning depan rumah Fajar,
" Senja, Fajar tiada sebelum dia ingin menemuimu "
***
 Lebih dari 10 tahun kita bersahabat, kita sama-sama tau bahwa kita berdua sama-sama mencintai surya dan langit jingga. Hingga kecintaan kita padanya menumbuhkan bentuk "cinta yang lainnya". Sehingga  kita pun saling mendambakan pertemuan. Lalu setiap hari seperti itu.  Kita berharap bisa bersua, namun ternyata pertemuan bukanlah milik kita.
Kita sama-sama mencintai surya dan langit jingga, namun sayangnya kita sama-sama tak menyadari bahwa cinta kita pada surya dalam keadaan yang berbeda. Aku menantikan detik-detik pertemuan, sedang kau datang pada detik perpisahan. Yang tau cerita kita ada dan nyata. Terimakasih Fajar, kita tidak akan pernah asing di keadaan yang berbeda, dan sekarang kita mempunyai dua dunia yang berbeda. Selamat tinggal Fajar