Orang bilang senyum itu ibadah. Senyum adalah penyejuk hati bagi yang disenyumi. Sebuah pertemuan yang diawali dengan saling bersenyum akan mencairkan suasana, sehingga jalinan komunikasi antarpribadi dapat terbangun dengan mesra. Meski belum ada buku yang menulis tentang manfaat senyum, kita sepakat bahwa senyum itu enak dilihat dan perlu.
Senyum merupakan aktivitas tubuh yang multimakna. Senyum dapat dilakukan oleh siapa pun dan dalam suasana bagaimana pun. Maka ada istilah senyum ramah, senyum mesra, senyum manis, senyum tipis, senyum pahit, senyum kecut, senyum mengejek, senyum sinis, dan senyum-senyum lainnya.
Para model iklan (kecuali iklan obat sakit perut atau sakit kepala), di bawah komando pengarah gaya, selalu memasang senyum seindah-indahnya demi kesuksesan produk yang diiklani. Dan senyum mereka itu bisa berharga puluhan, bahkan ratusan juta rupiah.
Para caleg, yang fotonya (meski sebenarnya dilarang!) menghiasi (baca: mengotori) sudut-sudut kota sampai pelosok desa, tahu betul pentingnya sebuah senyum. Mereka berusaha memasang senyum semanis-manisnya saat dijepret kamera. Meski dalam keseharian mereka jarang tersenyum, dalam foto mereka memasang senyum yang paling indah. Itu untuk menimbulkan kesan bahwa mereka adalah orang yang ramah, pintar, dan bijaksana; sehingga akan membawa kebaikan bila menjadi wakil rakyat kelak.
Pejabat publik atau pemimpin yang murah senyum, tentu akan memberikan kesejukan di hati rakyatnya. Tapi, tidak semua senyum itu menyejukkan hati. Senyum justru terasa menyakitkan bila dilakukan oleh mereka yang tidak seharusnya tersenyum. Misalnya, seorang pejabat yang terlibat kasus korupsi. Atau, sebut saja: koruptor.
Adalah hak bagi koruptor untuk tersenyum atau tidak tersenyum. Tidak ada undang-undang atau peraturan yang melarang koruptor untuk tersenyum. Jadi, sah-sah saja kalau mereka tersenyum. Mungkin mereka tersenyum untuk menutupi hati yang gundah karena masalah yang sedang mereka hadapi. Mungkin mereka tersenyum karena bangga disorot puluhan kamera dan disaksikan jutaan pasang mata pemirsa televisi. Mungkin juga untuk menunjukkan kepada khalayak, bahwa mereka yakin tidak bersalah dan akan memenangkan perkara yang mereka hadapi.
Kita sebagai masyarakat penerima senyum, tentu memiliki kesan beragam tentang arti senyum itu. Tapi, bagi saya yang sudah muak dengan berita korupsi yang menggerogoti negeri, senyum itu terasa menyakitkan. Seperti senyum iblis!
Saya memang belum pernah melihat iblis, baik yang sedang cemberut atau tersenyum. Saya hanya membayangkan, seperti itulah kalau iblis tersenyum. Di balik senyum orang-orang terhormat yang terlibat kasus korupsi, baik yang berstatus saksi, terduga, tersangka, maupunterdakwa; ada seribu makna yang saya baca. Senyum mereka seolah berkata:
“Saya yakin, saya tidak bersalah. Saya melakukan itu sesuai dengan prosedur yang benar.”
“He he, saya punya pengacara handal. Dia saya bayar mahal. Tentunya dengan segala cara dia akan berusaha membela saya.”
“Ini hanya salah paham. Lihat saja nanti… pengadilan negeri ini tak dapat menghukum saya…”
“Ini masalah kecil bagi saya. Ini adalah resiko menjadi pejabat seperti saya.”
“Tenang sajalah. Saya punya backing yang kuat. Mereka tidak akan tinggal diam melihat saya diperlakukan begini…”
“Saya memang telah menilap uang proyek itu. Tapi, saya tidak bermaksud memperkaya diri. Dana itu untuk partai dan pendukung saya. Santai saja, … mereka pasti akan membantu saya keluar dari masalah ini”