Dalam praktiknya pembakaran lahan tebu ini sebenarnya kurang efektif untuk lingkungan. Pelepasan emisi gas rumah kaca, kerusakan dan pencemaran lingkungan serta asap dan partikel debu yang ditimbulkan oleh pembakaran ini akan tertiup angin dan mengenai pemukiman penduduk. Banyak hal merugikan yang ditimbulkan oleh kebijakan ini, seperti lingkungan, masyarakat bahkan negara. Dalam Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 memberikan instruksi bahwa pembakaran dilaksanakan maksimal 20 menit dan dibatasi 10 hektare, kemudian pada musim kemarau pembakaran hanya dapat dilakukan pagi hari, sedangkan pada musim hujan dapat dilakukan pagi dan malam hari. Regulasi ini bertentangan dengan hak rakyat, tertulis dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia. Ini menjadi perhatian pemerintah dan kita semua untuk melaksanakan undang-undang tersebut. Tapi dalam kenyataannya regulasi kebijakan Pergub ini dalam aturan pembakaran yang mempertimangkan cuaca dihapuskan, yang berarti klausul panen yang dilakukan dengan dibakar ini tidak lagi mempertimbangkan cuaca akibat cuaca yang tidak menentu bahkan baku mutu udara yang semula ada juga dihapus.
KEMBALI KE ARTIKEL