Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Curhat Mahasiswa DO dan Bapak Cincau

5 April 2015   12:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:31 64 0
jalanan semakin padat tiap tahun tanpa mengenal krisis ekonomi yang katanya mencekik rakyat kecil. sebagian orang tetap berjalan mengenakan pakaian terbaru bersama aksesorisnya yang berlabel merk terkenal. tak ketinggalan, di tangan orang-orang itu, tergenggam sebuah smartphone dalam balutan flip cover beraneka warna. jangan berpikir jika mereka adalah sekumpulan orang berpenghasilan jutaan tiap bulan. pada kenyataannya, mereka adalah sekumpulan orang dari berbagai kalangan ekonomi dan usia yang berbeda.

lelah mengamati mereka, mulai ku sandarkan punggungku pada tiang listrik yang masih berdiri kokoh di tepi jalan yang tentu saja ramai.  sekilas dilihat, orang akan menyangka bahwa aku adalah seorang pengangguran yang sedang malas mencari kerja dan melampiaskan kemalasanku untuk sekedar nongkrong di pinggir jalan. ya, begitulah pasti pikir orang-orang, sebuah pikiran universal yang kadang dibenarkan karena sudah menjadi opini publik, sungguh disayangkan.

ku amati digit jam yang tertera pada handphone tua yang sedari tadi diam bersarang di saku celana. waktu sudah siang, sebaiknya ku angkat kaki agar tak tersapu polusi bubaran anak sekolah yang sebentar lagi melintas. mengapa ku katakan polusi? karena masing-masing dari mereka membawa kendaraan pribadi bernama sepeda motor yang asapnya mengepul tebal seperti kabut di pegunungan. tak hanya itu, sebagian pejalan kaki dari mereka membuat polusi berbeda yang ku beri nama 'kebisingan ABG' dengan suara keras berisi pembicaraan tak berbobot yang diiringi gelak tawa yang volumenya sering tak terkendali.

"mampir mas, minum es cincau dulu. murah meriah, dijamin haus hilang." promo seorang penjual es padaku.

tanpa pikir panjang, segera ku belokkan langkah menuju kursi disamping gerobak cincau sang pedagang, "satu pak, minum disini."

dengan senyum lebar pada wajah renta yang terlihat ceria, ia segera meracik minuman yang diperdagangkannya. tangan tuanya seakan tak terpengaruh umur, terbukti dengan gerakannya yang cekatan.

"monggo mas esnya."

ku terima segelas es cincau itu, "makasih pak."

belum sempat ku serot sedikit isi dari gelas tersebut, 'polusi anak sekolah' dan 'kebisingan ABG' tiba-tiba lewat berhamburan seperti gerombolan kucing yang mencium amisnya ikan pindang. si bapak penjual cincau terus beteriak mempromosikan dagangannya yang masih sangat banyak. namun apalah kata, anak-anak sekolah itu melewati kami begitu saja dengan suara canda dan tawa yang biasanya bergema.

ku amati bapak itu sejenak. meski bulir keringat telah membasahi tubuh dan wajahnya yang tak lagi muda, ia tetap berteriak sambil tersenyum menawarkan es cincaunya yang belum juga berkurang sejak aku datang.

"beginilah mas," katanya padaku, "jual es cincau dari pagi, tapi yang beli bisa dihitung pakai jari. lha wong sekarang anak-anak jajannya sudah gak di warung gerobakan lagi."

aku terdiam mendengarkan penjual tersebut sembari meminum es cincau yang sedari tadi ku pegang.

"lihat mas, daritadi yang lewat sudah bawa minuman di gelas plastik. isinya macam-macam, ada es jus, es kopi, es capuccino, malah yang itu bawanya es krim. kalau terus begini, saya gak kebagian rejeki mas. lha wong jajanan sekarang kan katanya lebih enak, lebih berbumbu dan macam-macam jenisnya. ndak kayak jajan tradisional, itu-itu saja." jelasnya panjang lebar.

"kenapa bapak tidak ganti dagangan?" jawabku sekenanya.

"ya mau ganti bagaimana? lha wong modal bapak cukupnya cuma buat cincau saja. sekarang apa-apa mahal mas." si bapak ikut duduk, "lha masnya jam segini kok ada disini, memangnya ndak kerja? atau anak kuliahan?"

aku tersenyum kecil, "anak kuliahan pak, tapi sudah mau di DO alias dikeluarkan."

si bapak terkejut, "lha kok bisa? masnya nakal tho kalo di kampus?" ujarnya dengan ekspresi polos.

"hahaha.. bukan pak," aku tak sanggup menahan tawa melihat ekspresi sang bapak, "saya ndak ada duit buat lanjut. maklum, bapak ibu cuma nelayan kampung. mau kerja sambil kuliah juga susah pak, jarang ada yang mau menerima pekerja paruh waktu." si bapak mengangguk-angguk, "lagipula.." tambahku, "saya ndak ada keahlian apa-apa, ya beginilah pak, mau jualan juga ndak ada modal."

jalan di depan kami tak jua kunjung sepi, namun tak ada seorangpun yang tertarik untuk mampir minum di gerobak cincau si bapak ini. kami pun terdiam merenung, seakan merasa bahwa nasib malang seakan mempertemukan kami di tempat ini juga.

"lalu.." ujar bapak cincau memecah kediaman, "kenapa tidak ambil beasiswa tho?"

ku garuk kepala yang sama sekali tak gatal, "ada sih pak beasiswanya.." ku tatap mata si bapak, "tapi saya ndak kebagian."

si bapaknya bingung, "emangnya banyak ya orang miskin di kampus? bapak biasanya kalau lihat anak kuliahan, pasti mikir kalau mereka semua anak orang berada. lha wong biaya kuliah itu kan mahal tho mas, disini juga pada kost. hapenya bagus-bagus, kalau beli makan enak-enak, malahan suka nongkrong di kafe-kafe yang harga kopinya saja 20 ribu secangkir."

"hehehe.. bapak jeli banget ya lihat anak-anak kuliahan," jawabku, "begini pak, sebenernya banyak sih yang dari keluarga berkecukupan. tapi ya, mau gimana lagi, lha wong mereka juga ikut mengajukan beasiswa pakai surat keterangan tidak mampu. kalau sudah dapat duitnya, dipakai beli hape atau barang-barang bermerk. emang gak semuanya begitu, tapi ya malah kadang kejadiaan kayak gitu sering terjadi. kalau saya mah apa pak, nilai pas-pasan, orang tua miskin, yasudah, mung bisa terima nasib."

"tapi kalau bapakmu nelayan, bukannya gampang tho mas? lha wong ndak usah menanam sudah bisa panen?"

"iya pak, betul. tapi tahu sendiri, ombak sekarang ganas. maklum, di televisi katanya kutub yang entah dimana itu mencair dan bikin air laut tambah banyak. kalau bapak saya punya kapal ya ndak masalah, lha wong bapak cuma punya perahu kecil. itu juga warisan dari simbah. apalagi, kapal-kapal besar nangkap ikannya banyak, kadang pakai pukat harimau. ya nanti ikannya habis tho, trus bapak saya nanti kebagian apa? katanya pemerintah peduli rakyat kecil dan ngasih bantuan berupa fasilitas cari duit. eh, yang di danai dan di lirik cuma pak tani yang kerjanya ndak pake resiko nyawa. betul ora, pak?"

bapak cincau ketawa, "hee.. bener juga mas. ya maklum, kita orang kecil. ndak punya kewenangan buat ngerubah kebijakan negara. bisanya ya mung terima nasib, lha gimana lagi? modal usaha dikit, persaingan makin melejit. apalagi, sekarang dimana-mana yang laku produk impor dari negara tetangga. wah, jelas cincau saya sekarang ndak laku. lha wong pada suka jajan es jus, ham apa itu namanya.. berger berger.. pisa, hot dok, wes mbuhlah mas, makin tenggelam pokoknya orang-orang kayak kita ini."

sedang enak-enaknya bicara, seorang anak berseragam SMP datang, "pak, cincaunya satu dibungkus ya."

"oohh... iya iya.." sang bapak kemudian berdiri melayani si pembeli. "monggo mas, 2500." sembari menunggu si bapak, ku habiskan sisa cincau yang ada di dalam gelas.

"mau tambah lagi mas?" tawarnya

"boleh pak, segelas lagi. maklum, panas banget."

si bapak tersenyum sembari mengisi ulang gelas yang isinya sudah ku telan habis, "lha bapak kok jual cincaunya murah banget?"

bapak cincau duduk kembali sambil menyerahkan gelasku yang sudah terisi lagi, "lha wong murah begini saja ndak laku, apalagi kalau dijual mahal tho mas? lha wong orang sekarang maunya kan yang murah, isinya banyak dan  enak. lha saya yang jualan jadinya bingung."

aku tertawa kecil, "maklum, pada mental gratisan pak. pada gak mau susah, makanya banyak yang kenapa tipu undian berhadiah."

"iyo mas, bener. tetangga saya kemarin ketipu 15 juta ilang gara-gara undian hadiah mobil."

"makanya pak, negeri kita ini makin terpuruk. kitanya manja, gak mau hidup susah. apa-apa pengennya instan, padahal kalo di pilem yang pernah saya tonton, katanya kita itu ndak bisa mendapat sesuatu tanpa melakukan dan memberikan sesuatu. berarti hidup itu kan harus terus bergerak ya pak biar ndak kena gerusan jaman." ujarku sambil menyedot keras es cincau yang nyangkut di sedotan.

"kalau nyangkut pakai sendok mas." kata bapak cincau sambil nyengir kuda.

"hehe.. tau aja si bapak." jawabku malu sambil beranjak mengambil sendok di atas gerobak cincau.

"mas, kalau beneran dikeluarkan dari kampus, trus masnya mau ngapain?"

aku diam sejenak, "bingung juga ya pak. mau kerja sih, tapi lowongan sekarang susah. maklum, pada nyari lowongan tapi ndak pada bikin lowongan. jadinya sempit kesempatan buat kerja."

ia menepuk bahuku, "kenapa ndak ikut melaut kayak bapakmu?"

"kalau sekeluarga nelayan, kita ndak akan mengubah nasib pak. sepertinya saya mau merantau saja, kerja di pabrik yang ndak usah pengalaman tapi bayarannya UMR. bagi saya, yang terpenting ndak jadi TKI yang katanya hidupnya susah dan banyak disiksa."

"kenapa ndak cari pinjaman trus buka usaha saja? mas kan masih muda, masih kuat kerja keras. kalau telaten, pasti suatu saat bakal sukses. kalau semua orang jadi buruh pabrik, negara kita bakal jadi negara babu. lha wong semuanya minta dikasih kerjaan."

aku merenung, apa yang dikatakan bapak itu benar. namun, seakan tak ada keberanian untuk mengikuti kata-katanya yang ku anggap benar. tanpa suara, ku telan cicau yang masih tersisa.

"mas, inget kata-kata bapak. Tuhan itu sayang kita semua, asal mas jujur dan mau berusaha keras, Tuhan pasti kasih izin buat sukses. jadi jangan takut, pokoknya jangan kasihin masa depanmu sama orang lain. lha itu hak kamu buat bangkit dan berteriak, 'Aku juga bisa!!'. percaya sama bapak."

aku tersenyum simpul, "iya pak, saya inget-inget. berapa semuanya pak?"

"ndak usah, anggap saja mas bayar bapak dengan melengakan sedikit waktunya untuk berbagi kisah. karena kisah pengalaman dan pelajaran itu tak bisa dibayar dengan apapun."

aku menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil, "terima kasih buat semuanya pak."

langkah kakiku terus melenggang meninggalkan sang bapak cincau tetap di tempatnya. masih dalam jarak pandang, tiba-tiba sebuah truk yang kehilangan kendali menabrak bapak cincau bersama gerobaknya. belum sempat aku berteriak, truk itu meledak dan mengeluarkan lidah api yang melahapnya garang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun