“Tidakkah kau lelah berdiri disana? Aku letih menantimu beranjak.”
Ia tersenyum mendengar keluh kecilku, “kemarilah sayang.”
Tanpa lama berpikir, kulangkahkan kaki lebih jauh hingga air tepi samudera mulai membasuh setengah tubuhku basah.
“Lihatlah kesana!” Mataku berputar mengikuti jarinya menunjuk seekor camar yang terbang setengah tinggi. “Aku ingin bebas seperti ia yang diperkenankan terbang kemana ia mau.”
Dahi kecilku mulai mengerut, “lalu, kau akan meninggalkanku di pondok kecil kita?”
Ia terdiam sejenak, “aku kira kau takkan merasa sepi. Sebentar lagi peradaban ramai akan menjangkau pantai kecil kita. Saat itulah orang-orang baru datang untuk menemanimu tinggal disana.”
Mata ini mulai tergenang, “tidakkah kau ingin tinggal dan merasakan banyak bahagia di tiap menit kebersamaan kita? Aku lelah merasa kosong, mereka yang berstatus orang tua meninggalkan kita dengan luka tembak di jantung. Takkan ada lagi yang menemaniku kala kau pergi berlayar dan harusnya kau mengerti.”
“Aku tetap ada disini, di hati kecilmu.” Ungkapnya sembari merengkuh tubuh ini erat. “Tak akan ada kehangatan saat aku berdiam disini.”
Ku benamkan wajah di dadanya yang bidang, “tidakkah hadirku cukup membuatmu merasa hangat?”
Ia menggeleng pelan sambil tersenyum simpul, “bukan begitu, tapi akan ku lakukan sesuatu yang seharusnya sejak dulu ku lakukan. Jadi, tunggulah aku kembali.”
Air mata ini tak mampu lagi terbendung, “kau harus kembali dan benar-benar harus kembali.”
Sosok lembut itu perlahan memudar bersama senyum dan ciuman hangat di keningku. Wajah itu masih membekas bahkan ketika aku menutup mata. Dan kini yang tertinggal hanyalah hiruk pikuk masyarakat pantai yang ia katakan.
“Kau benar, pantai kecil kita terjamah keramaian meskipun tanpamu.” Gumamku sambil menggenggam erat serpihan perahumu.