Presiden Jokowi menargetkan Pemerintah melakukan vaksinasi Covid-19 Juli 2021 ini untuk 1 juta penduduk. Agustus 2021 dinaikkan menjadi dua kali lipat 2 juta penduduk. Apapun jenis vaksinnya, Sinovac, Astra Zeneca, Moderna, Pfizer, yang sudah diijinkan masuk ke Indonesia.
Waktu yang sama, Menteri BUMN Erick Tohir, KSP Moeldoko sibuk mensosialisasi Ivermectin 12 mg, sebagai profilaksis dan obat Covid-19. Demikian juga Menhan Prabowo Subianto, ikut mengagumi obat ajaib Ivermectin. Secara sigap pihak PT.Harsen Industri Farmasi meyakinkan Pak Menhan atas kehebatan IVM (Ivermectin) ini. Bahkan lebih jauh melangkah Vice President PT. Harsen mengajak kerjasama Rektor Universitas Pertahanan untuk melakukan penelitian uji klinis IVM sebagai obat Covid-19. Untung Pak Rektor menyadari bahwa ada mekanisme SOP yang harus dilalui terutama izin dari Komite Etik dan BPOM, agar dapat dipertanggungjawabkan.
Dilain pihak Moeldoko atas nama Ketua HKTI, mendistribusikan IVM dari PT Harsen ribuan tablet, ke masyarakat Kudus yang sedang melejit wabah Covid-19. Tidak dapat informasi bagaimana pengawasan pemakaiannya, dan apakah ada pengaruhnya terhadap penurunan kasus Covid-19 di Kudus.
Tidak kalah hebatnya, Menteri BUMN Erick Tohir tidak ketinggalan. Memerintahkan Indofarma memproduksi 4-4,5 juta tablet IVM perbulan, bahkan pihak Indofarma diminta menggenjotnya memproduksi 13,5 juta tablet perbulan.
Jelas jumlah itu bukan dimaksudkan untuk masyarakat Indonesia yang cacingan. Apalagi kalau jumlahnya 13,5 juta tablet perbulan, berapa juta tablet 3 bulan? 40 juta tablet lebih. Pemakaiannya sebagai obat cacing paling banyak 2 kali setahun, bagaimana menghabiskannya. Dari jumlah yang diproduksi itu, jelas tujuan penggunaannya bukan untuk cacingan tetapi profilaksis dan obat Covid-19. Beberapa RS BUMN sudah menggunakan untuk si Covid-19 itu.
Kita simak apa yang disampaikan oleh Prof.Dr. Yahdiana Harahap, Apoteker, Dosen Farmakologi Fakultas Farmasi UI dan anggota Pakar Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia,  dalam rekaman video yang sudah viral. Menjelaskan bahwa di India sendiri  sudah ditarik penggunaannya sebagai obat Covid-19.
Profesor Yahdiana memberikan early warning, jika dalam uji klinis nantinya, harus dipertimbangkan dosis yang digunakan. Jika untuk menghambat 50% virus, memerlukan dosis 250 kali dari yang ada sekarang per tablet 12 mg. Â Mau berapa banyak makan tabletnya. Belum lagi efek samping meningkatnya konsentrasi obat dalam darah dan matinya semua cacing di pencernaan dan usus yang jenis tertentu dibutuhkan oleh tubuh.
Sebaiknya Indofarma tidak usah tergesa-gesa memproduksi sampai 13,5 juta tablet perbulan, Â sebab kalau hasil uji klinis menyatakan tidak layak untuk dijadikan obat Covid-19, Â mau dikemanakan itu obat. Apa semua penduduk disuruh cacingan dulu. Akibatnya Indofarma akan mengalami kerugian besar. Maukah pihak Management Indofarma bertanggungjawab. Apakah Menteri BUMN mau men take over resiko? Indofarma saat ini sedang berspekulasi dengan menggunakan uang rakyat.
Pemerintah sebaiknya focus mengatasi Covid-19.
PPKM Darurat dan PPKM Mikro yang sekarang sedang berlangsung karena kenaikan kasus yang sangat tajam 27 ribu kasus perhari, Â ( angka kematian sudah lebih 500 orang perhari), tentu memerlukan strategi penanganan yang komprehensif. Vaksinasi ditingkatkan untuk mencapai herd immunity 70% dari jumlah penduduk seharusnya menjadi perhatian semua pejabat pemerintah.
Tugas Menteri BUMN kan sudah jelas diminta Presiden untuk mencari terus vaksin dari luar negeri. Mobilisasi BUMN dan Perusahaan-Perusahaan untuk membeli vaksin  bagi karyawan ( vaksin mandiri). Sampai dimana kebijakan itu diterapkan dan berjalan di perusahaan-perusahaan. Termasuk juga  memaksimalkan dukungan kepada Tim Peneliti Univ. Airlangga yang sedang berjibaku menemukan vaksin Merah Putih.
Gubernur, Panglima TNI dan Kapolri sudah keliling mengecek pelaksanaan PPKM Darurat dan PPKM Mikro. Â Berbagai upaya pembatasan pergerakan masyarakat terus dilakukan, untuk memutus rantai penularan. Tetapi ada Kementerian/Lembaga yang meloloskan TKA China masuk ke Indonesia melalui Makasar, tentu sangat mengecewakan pejabat negara yang sudah bekerja, berkeringat dan tidak kenal lelah.
Kebijakan Imigrasi harus jelas, dan merujuk pada perintah Presiden Jokowi melakukan PPKM Darurat. Dan bagaimana aturan dan pedomannya sudah ada disebar luaskan. Ada istilah tempat kerja kritikal, essential dan non essential,  yang harus dipatuhi. Ada perusahaan yang masih bekerja di kantor (non essential) di marahi Gubernur DKI Jakarta karena tidak menyelenggarakan WFH, tetapi di sisi lain sebagai contoh pejabat Imigrasi di Bandara meloloskan TKA China tanpa karantina. Ada persoalan di kalangan pejabat negara saat ini yaitu soal hati dan empati. Ada yang bekerja tidak dengan hati dan tidak berempati terhadap penderitaan rakyatnya. Bahkan yang memalukan Kepala Divisi Imigrasi Wilayah Sulsel  mengaku belum mendapat laporannya. Fungsinya sudah berubah bukan sebagai pelayan masyarakat tetapi sebagai raja yang harus mendapatkan laporan dari hulubalangnya.