Sudah sejak masa lampau, pertanyaan itu menjadi pergulatan banyak orang. Salah satunya, sejarawan John Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902). Menariknya, dengan kaca mata ilmu sejarah, sebuah peristiwa bisa dilihat secara objektif dan rasional.
Itu berarti sebuah peristiwa dinyatakan historis jika dan hanya jika mengandung di dalamnya kebenaran obyektif tersebut. Pada titik ini, peristiwa yang sudah terjadi hanyalah objek mati yang menutup diri terhadap interpretasi dan pemaknaan yang melampaui konteks historis tertentu.
Amatlah beralasan kalau penjelajahan historis dibatasi. Tujuannya, mencegah bahaya pembiasan kenyataan sejarah. Namun, ketakutan terhadap distorsi sejarah serentak menghilangkan kontekstualisasi peristiwa tersebut. Sejarah hanya menjadi objek belaka. Tak ubahnya pajangan di sebuah etalase untuk dilihat dan dinikmati.
Semestinya sebuah peristiwa yang telah terjadi tidak semata-mata barang mati  yang bisa dikisahkan (storia). Tetapi juga Geschicte, materi yang didokumentasikan dan terbuka untuk diinterpretasikan.
Sejarah bukanlah kumpulan fakta historis semata yang hanya bisa dikaji secara kaku dengan pertimbangan ilmiah yang baku. Melainkan juga menjadi sebentuk proses pembelajaran yang terbuka.
Pada titik ini keberadaan Sound of Borobudur menjadi penting. Mengapa demikian?
Melampaui pelajaran sejarah
Secara pribadi saya tidak memiliki pengetahuan yang mendalam akan Candi Borobudur. Satu-satunya perkenalan saya terjadi di bangku sekolah melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Saat itu diperkenalkan secara singkat terkait sejarah, hingga sekilas konstruksi bangunan bersejarah itu.
Beberapa informasi umum masih tersimpan dalam benak. Kemudian coba saya konfirmasi dengan beberapa referensi untuk menjaga keakuratannya. Disebutkan Borobudur merupakan candi Buddha terbesar di dunia. Letaknya di Jawa Tengah, sekitar 42 km barat laut Yogyakarta.
Candi yang ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia UNESCO pada 1991 itu dibangun antara sekitar 778 dan 850 M semasa dinasti Shailendra. Sempat terkubur abu vulkanik sebelum ditemukan oleh Letnan Gubernur Inggris, Thomas Stamford raffles pada 1814.