Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Menilik Pemikiran Sains Al-Afghani

12 Mei 2014   04:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:36 114 0
Selama ini, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897) lebih dikenal sebagai politikus ulung. Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A'zam Khan menjadi Perdana Menteri. Ketika Inggris mulai mencampuri urusan politik dalam negeri, Al-Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah kelahirannya dan pergi ke India di tahun 1869.

Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak karena negara ini telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris, sehingga ia pindah ke Mesir tahun 1871. la menetap di Cairo dan memusatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan sastra Arab, dunia politik pun ia tinggalkan. Kediamannya menjadi tempat pertemuan para murid dan pengikutnya. Di tempat inilah, Al-Afghani mengajar dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan. Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur, pengikut Al-Afghani kebanyakan dari kalangan hakim, dosen, dan pegawai pemerintah. Sehingga, beberapa muridnya seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghlul mampu memimpin kemerdekaan Mesir.

Tekanan Inggris kepada Mesir memuncak pada tahun 1876 membuat Al-Afghani kembali ke ranah politik dan berhasil mendirikan partai Al-Hizb Al-Watani. Tujuannya memperjuangkan pendidikan universal, kemer­dekaan pers dan memasukkan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer. Sehingga, slogan "Mesir untuk orang Mesir" pun menggema seantero Mesir. Karena pengaruhnya demikian kuat, melalui tekanan Inggris, akhirnya pemerintah mengusirnya tahun 1879.

Al-Afghani kemudian hijrah ke Prancis, dan membentuk perkumpulan bernama Al-Urwah Al-Wutsqa. Anggotanya terdiri atas orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara, dan lain-lain. Perkumpulan tersebut dibentuk untuk memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam pada kemajuan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut mereka menerbitkan majalah dengan nama yang sama. Tetapi hanya berumur 8 bulan, disebabkan Negara-negara Eropa melarang peredarannya.

Saat Al-Afghani di Prancis inilah, Ernest Renan (1823-1892), seorang filosof asal Prancis menulis dalam Majalah Journal Des Debats yang terbit tanggal 29 Maret 1883 menyangkut masalah “Islam dan Sains.” Terdapat tiga poin penting yang diutarakan dalam tulisan tersebut. Pertama, bangsa Arab tidak pernah memberi sumbangan apapun atas kemajuan sains dan teknologi. Karena ketika bangsa Arab menguasai pemerintahan, sains dan peradabannya dikuasai oleh kalangan Persia. Bidang filsafat dan sains juga dikuasai oleh golongan Kristian Nestorian. Para filosof terkemuka seperti Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rusyd pun bukanlah dari kalangan Arab. Kedua, sains, filsafat dan pemikiran bebas adalah musuh Islam. Yang lebih ditekankan dalam Islam hanya perkara-perkara ghaib serta keimanan kepada qadha` dan qadar. Ketiga, bangsa Arab telah menjauhkan akal dari filsafat. Ia menyatakan bahwa Khulafa` al-Rasyidin yang diselubungi unsur  Arab  telah  gagal  menampilkan  filsafat dan  inovasi sains. Tetapi ketika unsur Persia mendominasi Daulah Abbasiyah, barulah filsafat, sains, dan peradabannya menyebar ke seluruh wilayah Islam.

Jelas, tuduhan itu tidak mendasar. Al-Afghani pun merespon pernyataan tersebut di harian yang sama tanggal 18  Mei 1883. Respon al-Afghani bersifat menyeluruh, tidak rasisme, adil, tidak emosional, dan mengoreksi pemahaman Renan atas ajaran Islam yang menganggap bahwa Islam tidak cocok dengan sains . Al-Afghani memandang sejarah kelam Kristiani yang berakibat pada kebangkitan sains, filsafat, dan modernism, tidak dapat disamakan dengan kemunduran Islam yang berafiliasi pada penolakan terhadap agama. Menurut Al-Afghani, tidak ada permusuhan antara agama-sains, teologi-filsafat, dan traditional-modernisme. Yang patut disalahkan adalah pemerintah karena kekurang-pamahamannya atas ajaran agama Islam.

Seandainya pemerintah kembali kepada asal usul dan prinsip agama yang hakiki, niscaya  konflik, konfrontasi, penjajahan dan penindasan tidak akan terjadi. Tidak pernah terjadi pertentangan antara hakikat agama dengan inovasi sains baik pada waktu silam, zaman pertengahan, maupun pada masa kini dan masa depan. Untuk itulah umat Islam perlu melakukan gerakan reformasi dan revitalisasi untuk mengembalikan ummat pada zaman keemasannya. Al-Afghani mengakui kehebatan intelektual modern Barat saat ini, tapi ia juga mengingatkan bahwa kejayaan tersebut tidak luput dari sumbangsih peradaban Islam pada abad pertengahan.

Dalam mengungkap kemunduran peradaban Islam, Al-Afghani menggunakan istilah “muslim religion” yang berarti orang muslim, bukan agamanya. Karena pada dasarnya, Islam yang hakiki mewajibkan penganutnya untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk sains.

Kemunduran umat Islam mendorong Al-Afghani menciptakan pemikiran-pemikiran baru agar umat Islam mencapai kemajuan. Pemikirannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan kondisi yang disebabkan perubahan zaman. Kemunduran umat Islam, telah dipengaruhi oleh sifat statis, berpegang pada taklid, bersikap fatalis, telah meninggalkan akhlak yang tinggi, dan telah melupakan ilmu pengetahuan.

Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari intervensi Barat. Al-Afghani pun mencetuskan ide Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah). Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat.

Pemikiran Al-Afghani terhadap sains dalam konteks pembaharuan dapat dilihat dalam “Refutation of the Materialists”. Terdapat tiga pokok ide yang ia cetuskan. Pertama, dimulai pada masa Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, ummat Islam berhasil menumbangkan kekuasaan Romawi dan Persia disebabkan penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, hasil kajian ilmuan dan filosof Islam terhadap fakta-fakta saintifik di dalam al-Qur’an memperkokoh posisi Islam terhadap sains. Ketiga, membuka pintu ijtihad dalam reformasi dan revitalisasi ummat Islam sehingga membuahkan gagasan sains Islam.

Muhammad Basha Al-Makhzumi dalam Khatirat menggambarkan pemikiran Al-Afghani mengenai Islam dan Sains. Ia menegaskan, bahwa Islam sama sekali tidak pernah dan tidak akan menentang keberadaan sains. Menurutnya, hukum fisika, geometri, dan teori-teori filsafat berdiri pada asas kebenaran selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Selain itu, konsep sains yang digagas oleh Al-Afghani juga dapat dilihat dari pidatonya berjudul “Lecture on Teaching and Learning” tanggal 8 November 1882 di Albert Hall, Calcutta, India. Al-Afghani berpendapat bahwa sains yang cabangnya meliputi astronomi, kimia, fisika, matematika, geologi, dan sebagainya, telah membuktikan fakta-fakta dan fenomena-fenomena terkait kebenaran. Sehingga, sains sangat dibutuhkan untuk membangun dan memajukan umat Islam. Tanpanya kaum Muslimin tidak akan mampu bersaing dengan peradaban Barat.
Sehubungan ini Charles E. Butterworth dalam tulisannya “Prudence Versus  Legitimacy: The Persistent Theme in Islamic Political Thought,”   merumuskan asas pemikiran   terpenting Al-Afghani. Menurutnya, prinsip dasar pemikiran Al-Afghani adalah bahwa ilmu pengetahuan akan berguna bagi manusia sepanjang zaman. Sains akan memberikan peranan besar dalam kehidupan manusia yang dapat meningkatkan taraf hidup. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak menguasainya.

Puncaknya dalam peresmian Universitas Sains ‘Darul Funun’ di Istanbul, Turki, 20 Februari 1870, Al-Afghani berpidato:

"Saudara-saudaraku! Bukalah mata baik-baik dan lihatlah pelajaranmu. Bangunlah dari tidur yang melenakan. Ketahuilah bahwa ummat Islam adalah ummat terbaik, yang paling berharga di dunia ini. Mereka sangat hebat dalam kecerdasan, pemahaman, dan kewaspadaan. Mereka pernah dihadapkan pada hal tersulit dalam bekerja dan berusaha. Belakangan ini ummat Islam tenggelam dalam kelalaian dan kebodohan. Seperti berada di sudut madrasah dan biara darwis, sampai-sampai lampu kebajikan berada di titik padam; dan ruh pendidikan pun menghilang. Sinar matahari dan cahaya bulan mulai memudar. Beberapa negara-negara Islam berada di bawah dominasi negara-negara lain. Pakaian kehinaan disematkan padanya. Kesucian agama pun mulai dihina. Semua hal ini terjadi akibat kurangnya kewaspadaan, kemalasan, kebodohan dan tidak mau berusaha.... ....
Sejauh ini, marilah kita belajar semua cabang Sains. Marilah kita tingkatkan derajat kemanusiaan. Marilah kita bebaskan diri dari kebodohan dan sifat kebinatangan.... ...
Jangan sampai kita kehilangan kejayaan masa lalu dan hak-hak generasi mendatang. ... Kita harus berjalan menuju ke tahap-tahap kebajikan. Marilah kita berusaha untuk meningkatkan kemuliaan agama Islam. Saudara-saudara! kita tidak akan mengambil contoh dari bangsa beradab? Marilah kita lirik prestasi usaha mereka. Karena mereka telah mencapai tingkat tertinggi ilmu pengetahuan….”

Pidato Al-Afghani yang penuh dengan retorika tentang kedudukan dan peranan sains tersebut telah membangunkan ummat Islam dari tidur panjangnya dan mendapat sambutan hangat dari pendiri Darul Funun. Selanjutnya, Tahsin, penasehat Darul Funun meminta Al-Afghani memberikan kuliah di universitas tersebut sepanjang bulan Desember 1870. Ia menyampaikan kuliah bertajuk “The Progress of Sciences and Arts” dengan bahasa Turki sebagai bahasa pengantarnya.

Ide pembaharuan kebangkitan  ummat  Islam  dengan menguasai sains mendapat dukungan dari golongan muda Muslim berpendidikan Barat yang dikenal sebagai ‘The Young Ottomans’ seperti Tahsin (Penasehat Darul Funun) dan Tahir Munif (Presiden Majelis  Pendidikan Turki). Kedua orang itu merupakan alumni pendidikan sains di Jerman dan kedua-duanya bercita-cita untuk mendirikan pusat pengkajian sains (the house of sciences). Kedatangan  Al-Afghani  ke Istanbul telah mengukuhkan hasrat dua sahabat itu untuk menggabungkan kemajuan sains dan teknologi moden yang mereka ketahui dengan  kepandaian Al- Afghani dalam penguasaannya di bidang sains Arab yang diwarisi ulama di abad pertengahan. Ide pendirian Universiti Sains Islam Darul Funun tersebut merupakan respok ulama dan Al-Afghani terhadap pentingnya ummat Islam dalam menguasai berbagai disiplin sains./ghz

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun