Diawal hubungan Indonesia Malaysia, pemerintah dan rakyat Malaysia sebenarnya sudah dengan otomatis menempatkan dirinya sebagai "adik" atau saudara muda sang Abang Indonesia. Banyak langkah yang dilakukan yang membuktikan hal tersebut. Dalam berbagai bidang terlihat "sebenarnya" mereka lebih senang "belajar" atau "bertanya" kepada abangnya yang dibahasakan oleh mereka sebagai "bangsa serumpun". Konon mereka lebih suka memperoleh tenaga guru untuk mengajar para generasi mudanya dari mereka yang berasal dari Indonesia. Berbagai institusi strategis, diawalnya mereka lebih senang untuk belajar dari Sang Abang. Demikian, dan pendek kata, "positioning" yang dilakukan Malaysia di awal berdirinya adalah berkiblat ke saudara tuanya.
Nah, lalu kemudian apa gerangan yang terjadi ?
Tidak terlalu jelas dari mana asal usulnya, akan tetapi dalam perkembangannya kemudian terlalu sering Indonesia tidak merespon dalam proses interaksi hubungan kedua negara sebagai abang adik, seperti yang sebenarnya sudah dimulai oleh Malaysia. Secara pelahan tetapi pasti, semakin sering Indonesia memperlakukan Malaysia sebagai satu negara besar sebesar Indonesia dan bahkan berkecenderungan sesekali melihat Malaysia sebagai satu negara yang "lebih besar" dari Indonesia. Seringkali Indonesia bereaksi yang keliru yang kemudian justru merubah sikap Malaysia yang tadinya menempatkan dirinya sebagai "adik".
Apabila kita lebih sabar dan lebih "mendidik" dalam bersikap kepada Malaysia, maka hubungan kedua negara akan jauh lebih konstruktif dan bahkan di era yang tengah dihadapi bersama ini, dikawasan Asean maka Indonesia dan Malaysia akan bersinergi menjadi pusat segala kegiatan di kawasan Pasifik ! Banyak sekali yang dapat membesarkan bangsa Melayu di Asia dengan potensi yang dimiliki kedua negara, walau tidak semata harus memandangnya sebagai rasis.
Koran utusan Malaysia itu tidak begitu banyak yang membaca, penulis tajuk rencana juga bukan seorang pejabat, tulisannya pun sebenarnya lebih terfokus kepada urusan dalam negerinya sendiri, lalu kita disini, semuanya "marah", kebakaran jenggot, dan bahkan terakhir DPR pun akan mengajukan nota protes ! bukan main ? Sementara itu, andai saja kita semua tidak bereaksi terhadap tulisan itu, dipastikan tulisan tersebut sudah akan dilupakan orang, karena memang sebenarnya tidak ada yang baca, atau bila ada yang baca, jumlahnya sedikit sekali. Reaksi Habibie adalah sebuah reaksi dari seorang yang sangat cerdas, yaitu cukup dengan "senyum" dan selesai. Saya percaya, sangat mungkin sekali, Habibie tidak sama sekali menangkap makna penghinaan dari esensi tulisan tersebut. Itu menggambarkan bahwa memang tulisan tersebut terlalu "kecil" untuk dapat "mengusik" nya dan beliau pasti terlalu sibuk untuk dapat menyisihkan waktu "hanya" untuk merespon hal yang sama sekali tidak penting !. Saya yakin Habibie kesulitan dalam coba menyisihkan waktu untuk membahas hal yang sangat "tetek-bengek" ini.
Sekali lagi, lalu mengapa banyak yang kebakaran jenggot? yang bahkan saya percaya mereka belum tentu sudah membaca sendiri tulisan itu secara utuh? Kita sendiri yang membuat tulisan itu menjadi "top", kita yang membesar-besarkan nama sang penulis yang sebenarnya sudah dan tidak terkenal sama sekali. Kita yang "membesarkan" Malaysia, Kita memperlakukan sang "adik" sebagai "saingan" berat dan bahkan menganggapnya jauh lebih besar dari Indonesia. Kita telah terlalu sibuk mengurus hal-hal seperti ini yang kerap merefleksikan sebagai satu bangsa yang sedang "tidak ada kerjaan"
Seorang Jurnalis, tepatnya wartawati TV asal Eropa yang bertugas pada saat reformasi bergulir di Indonesia, pernah berkata kepada saya bahwa di negeri anda ini penduduknya memang sangat ramah-ramah, akan tetapi kami harus berhati-hati, karena ternyata mereka sangat "mudah tersinggung".
Dalam merenung perkembangan hubungan Indonesia Malaysia belakangan ini, saya kemudian teringat kembali kata-kata sang Jurnalis tersebut.
Jakarta 15 Desember 2012
Chappy Hakim