Kekalahan Effendi Simbolon dalam Pilgub Sumatera Utara dan juga Rieke Dyah Pitaloka di Jabar tidak lepas dari sorotan bagaimana PDIP mencoba peruntungannya untuk menggunakan Jokowi dalam proses pilkada tersebut agar dapat mengulang sukses seperti di Jakarta. Majunya Jokowi untuk berkampanye dalam konteks kawan separtai ternyata tidak dapat membantu secara signifikan untuk dapat meraih suara bagi kedua kandidat tersebut. Hal tersebut tentunya semakin menguatkan kata hati saya bahwa kemenangan Jokowi di Pilkada DKI kemarin adalah bukan karena magnet kepemimpinannhya yang kuat, tetapi karena sudah tidak maunya warga Jakarta untuk dipimpin oleh Foke kembali. Di sisi lain, majunya Ahok sebagai figur pendamping Jokowi yang notabene seorang Nasrani – China juga akan memunculkan fenomena kepemimpinan yang dipimpin oleh figure yang berasal dari suku serta agama tersebut. Hal ini saya ungkap bukan bermaksud untuk menyentil “ SARASINISME “ dalam opini yang sedang dibangun tetapi ada perkembangan yang secara implisit tidak tertangkap oleh publik bahwa ada kepentingan besar dibalik pertarungan antara Barat dan Timur terhadap legitimasi pertarungan kepemimpinan Indonesia di tahun 2014 nanti. Dan hal tersebut sudah secara sistematis terbangun dengan mulainya bermunculan pemimpin China dan Nasrasni dalam peta politik Indonesia di daerah – daerah melalui proses Pilkada terlebih dengan kemenangan Ahok sebagai pendamping Jokowi.