Bisar Dongoran, yang sering disapa dengan si Dongo'an memang sudah 20 tahun berada di German Timur. Dia bisa sampai ke negeri komunis ini karena tidak sengaja terbawa kapal barang. Selama 20 tahun berada di German Timur, Bisar lupa bahasa daerahnya sehingga dia memutuskan tuk pulang ke kampung, di hutagalungan.
Setelah 17 jam perjalanan, Bisar pun sampai di kampungnya namun ia harus berjalan dari terminal tuk menuju rumahnya.
"Wah, udara di sini masih perangin-angin dan siregar", kata Bisar
Di pohan-pohan yang singa rimbun, ia melihat banyak sekali karo-karo yang berlompatan dari satu pohan ke pohan lainnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada suatu pohan yang sangat besar.
"hmm, mungkin inilah pakpahan dari pohan-pohan ini", ujarnya membathin
Sesaat kemudian, Bisar melompat kakinya terasa sitinjak sesuatu.
"aaaaaaaaaaa!! ada sinaga!!", teriaknya manik
Karena Bisar melompat-lompat menghindari anak sinaga, tamba-tamba kakinya menjadi sirait sekali. Memang Bisar sudah lama menderita sinurat pada kakinya dan matanya juga sudah mulai marbun. Ini di sebabkan karena ada tambunan lemak dan batu bara pada kakinya.
Kemudian Bisar mensitoruskan perjalanannya. Dia berjalan menuju ke hutabarat, jalan mulai bersibukit-bukit dan tobing-tobing yang terjal. Dan banyak sekali nainggolan-nainggolannya. Kadang-kadang manurung menuju sitanjung. Karena lelah, Bisar mensembiringkan badannya di bawah pohan yang rindang. Pohan itu berdaulay lebat dan hijau.
"di talam banua dan sinuraya ini, hanya kampungkulah yang mempunyai pandiangan yang sangat indah", kata Bisar dalam hati
Simanjuntak dia meninggalkan kampungnya ini, tidak ada siagian yang berubah, tetap seperti hutajulu. Pandiangannya tetap indah, udara tetap siregar, seperti zaman purba kala. Bisar masih tarigan apabila malem hari tiba, bintang-bintang seperti manik-damanik di angkasa dan cahaya bulan amat situmorang sekali.
"ah, sagalanya masih seperti dulu", gultomnya dalam hati
Tiba-tiba Bisar terkejut mendengan suara marpaung yang sangat kuat.
"wah, suara guru singa!!", katanya
Dengan perasaan harahap-harahap cemas, diambilnya senjatanya, ternyata hanya ada ginting yang sitompul. Bisar menjadi hasibuan mencari-cari sebatang kayu untuk simatupang, jika singa rimbun menyerangnya. Disijabatnya kayu itu kuat-kuat, dengan perasaan harahap-harahap cemas. Tak berapa lama, sampailah bisar di pasaribu. Udara di pasaribu ini tak sesiregar kampungnya. Udaranya sangat panggabean, dan Bisar merasa seperti di sitanggang matahari yang terik. Disini Bisar bertemu dengan laenya, si tukang panjaitan dan udanya si tukang rumah pea. Meraka saling sijabat tangan. Rasanya sudah pangaribuan tahun Bisar tidak melihat mereka. Tapi uda dan laenya sudah tidak kenal dengan Bisar. dengan mulut yang simangunsong dan hati yang girsang diperkenalkanlah dirinya kembali pada lae dan udannya. Mereka bersijabat tangan dan mensitepu-tepu pundak Bisar.
"sudah silaen kau sekarang, seperti orang hutabarat sana kau bah!", kata udannya
"sudah napitupulu tahun rasanya kau tidak mengirimi ambarita kepada kami, sekali-sekali bersihaloho lah kau kepada kami!", kata laenya
Bisar hanya bisa bersiahahahahahaaan..
Inilah harianja pertamanya bertemu keluarganya di kampung tercinta, Hutagalungan. Disitoruskannya perjalanan menuju rumahnya yang sudah lama di sitanggangkannya. Sihitenya belum puas dan tohang jika belum bertemu dengan Inang Pangittubu dan Amang Parsinuan juga adik-adiknya yang masih perlu sihombingan darinya....
"MARSATTABI HAMI SIAN HAMU SUDE AKKARAJA NAMI..
A SUDE DO HAMU RAJA! ALAI NASOADONG ISTANANA... :-D"
(cerita ini adalah cerita yang saya karang bersama Alm. ayahanda ku tercinta pada tahun 2006. Pak A. Damanik. Sebuah apresiasiku pd mu ayah, dengan memposting cerita ini di Kompasiana. Lebih dan kurang saya minta maaf jika terdapat salah kata atau ke-tidakberkenan-an. Mauliate)