Sebagai warga negara saya juga merasakan dampak dari kebijakan yang diterbitkan baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sekarang saya ingin membagi sudut pandang saya atas seluruh kebijakan yang saya ketahui (karena saya tidak tahu seluruh kebijakan yang telah dikeluarkan).
Pengurangan subsidi BBM
Biaya hidup saya secara otomatis ikut meningkat seiring peningkatan harga BBM. Kalau saya beli makanan yang telah siap di warung makan paling tidak habis tiga puluh ribu per porsi (ini harga di Palangka Raya). Kalau masak pun harga sembako telah ikut naik, meski kalau masalah harga cabai saya tidak terlalu terpengaruh karena kebetulan menanam sendiri di belakang rumah. Untuk kebutuhan sayur mayur seperti daun singkong dan kangkung masih bisa dipetik di tanah kosong dekat rumah (hehe, lumayan buat menghemat).
Dampak paling terasa bagi saya dengan peningkatan harga BBM ini adalah harga bensin eceran telah menjadi 10.000 rupiah. Sebelumnya saya biasa membeli bensin eceran seharga 8.000 rupiah. Saya sangat jarang membeli bensin di SPBU karena di Palangka Raya antrean mengisi bensin seringkali panjang. Sebagian besar yang mengantre adalah para "pelangsir".
Namun dengan naiknya harga BBM terjadi fenomena aneh (menurut saya). Sebelumnya saya sangat jarang melihat ada yang membeli pertamax, tapi sekarang dengan selisih yang tidak begitu jauh, semakin banyak pengendara motor yang memilih membeli pertamax. Hal ini juga sepertinya berdampak pada keuntungan menjadi "pelangsir", sehingga antrean bensin tidak sepanjang dulu. Karena itu sekarang saya lebih sering membeli bensin di SPBU seharga 8.500 rupiah. Kalau dihitung sebenarnya saya hanya mengalami peningkatan harga 500 rupiah per liter.
Tapi ada juga kekhawatiran saya dengan harga bensin ini. Jika saya kebetulan bertugas di Kabupaten harga bensin entah akan jadi berapa. Dulu sewaktu harga masih 6.500 harga di sana sudah mencapai 9.000 rupiah. Memang pembangunan belum merata di Indonesia.
Kalau seandainya pemerintah memang memenuhi janjinya, mengurangi subsidi BBM untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur bisa jadi harga BBM di sana mengikuti harga pemerintah yaitu 8.500 (lumayan kan lebih hemat lagi). Jadi kesenjangan pembangunan yang saya rasakan selama ini (perbedaan jawa dan luar jawa) sedikit banyak mengalami perbaikan.
Himbauan menyajikan singkong, jagung, dkk.
Suatu hari saya mendapat screenshot surat edaran di sebuah instansi pemerintah. Isinya, menindak lanjuti edaran Menpan untuk lebih menggunakan bahan pangan lokal sebagai sajian dalam rapat atau pertemuan. Tidak lagi kita melihat beragam roti dan jajanan yang sebelumnya biasa tersedia, tergantikan oleh jagung, singkong, dan mungkin sukun. Meski saya penggemar segala jenis roti dan olahan gandum lainnya, saya mendukung kebijakan ini.
Katakanlah saya sudah terdoktri, bukan oleh Jokowi tapi oleh "lawannya" almarhum Prof Suhardi (ketum gerindra). Yang saya tahu salah satu sasaran beliau adalah penguatan petani lokal. Produk dari petani lokal ya tidak jauh dari jagung, beras, singkong, dan kawan-kawannya. Jika kita menggunakan roti dan produk olahan gandum yang lain, maka yang mendapat keuntungan adalah petani penghasil gandum, dan petani Indonesia tidak memproduksi gandum (setahu saya). Indonesia mengimpor gandum paling banyak dari Australia (70,7 persen), disusul Kanada (14,9 persen), dan Amerika Serikat (11 persen). Indonesia juga mengimpor gandum dari India, Rusia, Pakistan, dan Turki.
Nilai impor gandum Indonesia pada Januari-April 2013 mencapai US$771,4 juta. Bayangkan jika konsumsi gandum kita menurun 50%, Negara asal pasti akan melakukan berbagai upaya agar kebijakan ini dihilangkan (ini pendapat pribadi saya). Dan jika 50% itu dialihkan ke produk petani kita, kebayang bagaimana peningkatan kesejahteraan petani kita.
Kebijakan PNS tidak boleh mengadakan kegiatan di Hotel
Per 1 desember kemarin telah berlaku kebijakan, Instansi pemerintah tidak boleh mengadakan kegiatan di hotel. Kegiatan harus dilaksanakan di lingkungan kantor jika instansi yang bersangkutan tidak memiliki fasilitas tersebut, maka bisa meminjam instansi lain di kota yang sama. Saya kurang setuju dengan kebijakan ini.
Jika kita berbicara untuk lingkungan DKI Jakarta, Jawa, dan Kota-kota besar lainnya mungkin hal ini tidak akan menjadi masalah. Namun bagaimana dengan industri perhotelan yang ada di daerah-daerah "sepi"?
Jika kota besar dengan banyak lokasi wisata hampir sepanjang tahun akan ada tamu yang menginap. Meski ada peak dan off season, hotel tersebut tetap bisa berjalan dan mampu membayar gaji pegawainya. Akan tetapi untuk daerah-daerah yang "sepi", berlaku kondisi berbeda. Memang ada masanya tamu penginapan ramai, akan tetapi saat musim sepi, mereka sangat kesulitan. Hal ini berdampak dalam setahun penginapan tersebut akhirnya merugi. Jika terus terjadi akhirnya di daerah tersebut tidak ada yang berminat untuk mendirikan penginapan.
Sulitnya daerah yang tidak memiliki penginapan pernah saya alami dalam melaksanakan tugas. Memang kita bisa menumpang pada rumah kepala desa atau penduduk lainnya, tapi pertanggung jawabannya akan menjadi sangat sulit. Bendahara di kantor tidak mau mengganti biaya yang telah kita keluarkan untuk membayar yang punya rumah (nggak mungkin dong sudah numpang nginep kita ngga memberikan sekedar pengganti lauk, kan numpang makan juga).
Tapi yang jelas penginapan/hotel di daerah banyak yang mengandalkan kegiatan instansi pemerintah sebagai sumber pendapatannya. Yah mungkin pemerintah mempunyai kebijakan lain untuk mengatasi kondisi ini.
Kesimpulannya
Sebagai warga negara saya hanya berharap kabinet sekarang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Semoga "mereka" memang negarawan. Menurut saya "cara" pemerintah sebelumnya terbukti tidak efektif. Jika kita ingin perubahan ke arah yang lebih baik "caranya" harus diubah. Semoga langkah yang diambil sekarang bisa membawa ke arah kebaikan.