Selalu ada cerita yang menyertai setiap wahana, atau objek eksploitasi. Kisah kali ini bukan tentang mata air yang bisa bikin awet muda tatkala dibasuhkan ke muka, bahkan membuat sehat peminumnya. Ini tentang permainan perahu angsa, yang melaju menyusuri sungai dalam gua, di tengah taman. Aku tidak pernah tahu gua itu buatan atau memang sudah ada sejak dulu. Bagian dalamnya yang gelap dan berliku, serta sensasi sunyi di dalamnya, akan membuat sepasang orang yang sama-sama mendayuh pedal macam sepeda yang membuat perahu melaju, merasakan suasana romantis. Cukup itu saja, aku tidak berharap akan mendapatkan seekor kunang-kunang, yang konon pula apabila pasangan kekasih berhasil membawa seekor saja dari dalam, maka hubungan mereka akan awet dan makin mesra. ‘Kan tidak ada hubungannya sama sekali? Sungguh, aku hanya ingin naik perahu. Tidak lebih. Kala sabtu sore, dan atas ajakan pacarku, aku mau saja di ajak naik perahu angsa. “Memang di mulut guanya gelap, tapi di dalam banyak obor terpasang di kanan-kiri dinding guanya. Asal tidak berhenti di tengah jalan, 45 menit kita sudah sampai…” Rere menjelaskan. Aku memang baru kali ini, makanya terus-menerus kubaca brosur yang juga berisi denah aliran sungainya. “mendayuh 45 menit…? Sudah bayar mahal, capek pula. Yang benar saja…” aku mengeluh sekaligus menatap mulut gua yang menganga lebar. Jika dilihat-lihat, memang aneh juga. Walau taman ini memang sangat luas, tapi hanya hamparan rumput dan pohon pinus. Sekonyong-konyong saja ada tebing dan gua lengkap dengan sungai yang mengalir. Dan serta merta lengkap dengan perahu angsa dan segala embel-embel kunang kunang pembuat cinta awet. Kami mengantri kedua paling depan, semuanya pasangan kekasih. “Biar kutebak, harga tiketnya mahal karena di dalam bisa berhenti dulu dan berbuat mesum…” aku mengejek, kontan sepanjang antrian cekikikan. “Hus… makanya mahal, soalnya kalau dapet kunang kunangnya hubungan kita bisa makin mesra.” Rere berteori. “Wah wah wah… pasti kunang kunangnya kerja di On Clinic…” ejekku lagi. Kembali empat pasangan di belakang tertawa keras. “Lawakanmu bagus, bung!” seru salah satu. “Haha, bukankah aku yang bayar. Jadi kamu ikut saja ya.” Ujar Rere. Kami pun maju selangkah, karena pasangan di depan sudah dapat perahu angsa yang imut dan berwarna-warni. “Ya, berhenti di belakang garis kuning.” Kata Mbak penjaga pintu. Kulihat perahu yang dilengkapi lampu petromak di kepala angsa itu mulai masuk mengikuti aliran. Sepertinya rutenya memang melingkar, sehingga jalan masuk dan keluarnya satu. Benar saja, perahu tadi menghilang ke kanan, ditelan kegelapan. Sementara muncul perahu baru dari kiri, perlahan-lahan lepas dari gulita dan makin mendekat ke mari. “Nah, ini perahu angsa kita.” Ujar Rere. Setelah menepi, sepasang kekasih muda pun keluar dari perahu berwarna putih tersebut. Hei, raut muka mereka tampak segar. “Bro, dapet kunang-kunang gak?” Tanya orang di belakangku. “Gak, tapi gua dapat ciuman…!” jawabnya, lantas diikuti senyum si gadis. Tidak kupedulikan mereka, Rere naik lebih dulu dan duduk di sisi kiri, aku menyusul. Saat kuinjak dasar perahu, rasanya sedikit bergoyang. Splash…! Suara air yang diaduk, hadir bersama aroma segar yang terhisap menuju dalam gua. “Dayuh bersamaan ya. Tolong jangan berhenti di tengah jalan. Kalau ada apa-apa, pencet saja tombol merah di bawah kursi.” Mbak itu menghimbau. Kami mengangguk, kemudian mulai mendayuh memasuki kegelapan. Hawa dingin pun menyambut… “Ayo…” ujar Rere, menggema di langit-langit gua.
********* Sekitar lima menit kami melaju perlahan, memandang kanan-kiri, dinding gua yang tampak licin penuh lumut, juga obor-obor yang terpasang setiap sepuluh meter. Kucelupkan telapak tanganku ke air, rasanya dingin dan lain. Perahu bergoyang, membelah aliran air yang tenang namun pasti. “Aduh… mana ya kunang kunangnya…?” gumam Rere sambil melihat sekeliling. “Huh… masih juga mencari kunang kunang.” Ujarku. Cahaya merah temaram obor yang bergoyang, mambuat bayangan yang terpantul di dinding gua jadi hidup. Sesekali juga bebatuan runcing yang menggantung di langit gua ikut tersorot. Tapi di bawah sini tidak ada batu besar atau apa pun, jadi sepertinya aman dan tidak bakal tabrakan. Hanya air yang tenang, dan gelap sama sekali. Kami terus mendayuh… “Aku minta makanan dong. Lapar.” Ujarku sambil membuka tas Rere. “Boleh, ada roti, biskuit, juga coca-cola dan bir heineken kamu.” Jawabnya. Tanpa disuruh, kuambil biskuit Oreo vanilla yang selalu enak itu. “Kamu tahu… dulu waktu kita SD, Oreo biasa dipakai buat menyatakan rasa suka ‘kan. Kalau dapat sisi yang ada krim, berarti yang member juga suka. Tapi kalau hanya bagian tanpa krim, berarti sebaliknya.” Gumamnya. “Oh ya…? Kalau dikasih bungkusnya berarti ngajak berantem ya?” kelakarku dengan mulut penuh. Rere langsung merebut sebutir dari genggamanku. “Kamu ini gak ada romantisnya sama sekali ya!” serunya. Dilemparkannya biskuit itu jauh ke depan, hingga masuk ke air. “Hei, jangan buang…” geramku takselesai, karena di titik Oreo tenggelam itu, mendadak muncul keriuhan. Airnya jadi bergelombang, seperti ada yang berenang di sana…
********* “A… apa itu say…?” Rere gemetaran. Aku menahan nafas. “Entah…” jawabku, tanganku digenggam keras olehnya. “Stop mendayuh… aku mau lihat apa itu.” Seruku. Aku berdiri perlahan, agar perahu tidak oleng. Kujulurkan badan ke depan, berpegang pada leher angsa. Riuh di air tadi menghilang. “Minta satu butir!” perintahku. Diserahkannya sebutir padaku. Kemudian kubelah dan kulempar ke air. Kontan saja di sana terjadi pergumulan, hingga menghasilkan pusaran air seperti dalam blender. Buru-buru kusorot dengan hp. Dan tampak beberapa ikan lele yang gemuk dan berwarna coklat muda tengah berkumpul di sana. Lumayan besar, mungkin sampai satu meter. “Kya… hati-hati, kamu bisa dimakan!” Rere menarikku hingga terduduk kembali. Kemudian diraihnya tombol merah di bawah kursi. Berulang kali dihentakkan jarinya dengan keras. “Kok tidak ada yang menjawab…?” ujarnya gusar. Aku menghela nafas, dasar pengelola perahu bangsat. Rupanya tombol itu hanya pajangan. Lele-lele besar itu kini berenang mengelilingi perahu kami. “Re..! jangan panik! Itu hanya lele! Hanya hidangan dalam pecel!” kubentak dia, tapi dia masih gugup. “Aku pernah baca di internet, lele raksasa di India yang suka makan orang…” ujarnya. Teriakannya menggema. Apa tidak ada perahu di belakang kami? Susah juga kalau begini. Aku pun berpikir sejenak. “Tolong buka semua makanannya!” seruku. Dia kebingungan, “Kamu mau apa?” dia mulai membuka satu persatu. “Iya, kalau kamu takut, biar kita usir mereka.” Ujarku. Lalu berdiri dan bersiap melempar semuanya sekuat tenaga jauh ke belakang perahu. “Enyah bangsat!” teriakku sambil melempar, hingga perahu sedikit oleng. Jauh, jauh sekali. Hingga akhirnya terdengar suara gemercik air. Serempak lele-lele itu pun berenang cepat ke arah makanan kulempar, mungkin 20 meter di belakang. “Nah cepat dayuh…! Kita menjauh!” perintahku. Kami pun mendayuh secepat tenaga seperti kesetanan, meninggalkan ikan-ikan celaka yang lapar itu.
********* Akhirnya… semua tenang kembali. Kami melaju dengan hati yang sudah agak tentram, terutama Rere. Kulihat keringat bercucuran di keningnya. Pasti dia tidak terbiasa melakukan aktivitas berat seperti tadi. “Hei, sayang… kamu capek ‘kan? Selonjoran saja kakinya, biar aku yang mendayuh.” Ujarku sambil membuka coca-cola. “Nih, minum…” kusodorkan kaleng itu padanya. “Terimakasih…” jawabnya sambil tersenyum. Fiuh… untung udara di sini sangat dingin, hingga sedikit menghapus rasa lelah. Perahu angsa melaju lambat mengikuti aliran… “Untung lelenya kamu usir, sayang…” ujarnya. “Iya… jangan sekali-kali lagi melempar ke air apa yang sedang kusantap, ya!” “Lho kok gitu? Kayaknya kamu
nyalahin aku!” “Memang salah kamu!” “Kamu selalu
nyalahin aku! Dulu waktu laptopku kamu rusak, aku gak protes!” “Eh kenapa jadi bawa yang sudah lampau?!” “Emang kamu bisanya cuma menuduh orang!” “Hah, jadi gitu? Kalau gitu, apa kabarnya motor Varioku yang kamu pakai belajar motor? Ringsek jadi angka delapan!” “Oh jadi hitung-hitungan nih?!” “Iya! Kamu yang mulai!” “Kamu pernah jalan sama cewek lain waktu aku ospek lapangan!” “Kamu juga pernah kencan dan nonton sama seniormu ‘kan! Yang mukanya kayak babi hutan tapi bawa BMW itu?!” “Itu karena kamu gak mau nganter! Motornya mogok lah, diservis lah! Makanya ganti tuh motor!” “Eh maksudnya apa?! Hati-hati! Itu motor bukan sembarang motor! Gara-gara Varionya gak bisa dibenerin karena kamu rusak!” “Lagi-lagi
nyalahin!” “Memang begitu keadaannya!” Walau tetap mendayung, tapi mulut kami terus beradu tanpa henti. Debat yang kasar pun takterelakkan. Untung ini dalam gua, karena jika pertengkaran ini dilakukan di mall, pasti akan meriah seperti acara reality show. “Pokoknya aku gak suka cara kamu!!!” serunya keras sekali, hingga memantul berulang-ulang. Aku hendak membalas, tapi dihentikan suara-suara aneh. Maka kami pun terdiam. Saat aku menengadah ke atas, ratusan titik-titik kecil seolah menyala seperti lampu. Dan saat kusadari, “Sial, kita telah membangunkan kelelawar!” semua seperti terlambar. Ratusan kelelawar jatuh lalu beterbangan. Suara kepakan ratusan sayap itu riuh dan berisik sekali, disertai desisan yang sama sekali buruk bagi telinga. “Kya…! Darah kita akan dihisap!” seru Rere. Aku menelan ludah, saat mereka beterbangan menukik dan semakin dekat ke arah kami. “Cepat arahkan perahunya ke pinggir!” seruku. Dibelokkannya perahu ke sisi kiri, hingga makin mepet ke dinding gua. “Kamu mau apa? Pasti mereka kelelawar penghisap darah!” seru Rere. “Jangan berfantasi! Ambilkan obor di atas batu itu!” perintahku. Dia mencoba meraih obor yang apinya terus bergoyang itu, memantulkan bayangan ramai kelelawar yang makin dekat. Saat desisan dan kepakan makin dekat, telah kuraih obor itu. “Buka heinekennya!” seruku. Ratusan kelelawar mendekat dengan cepat, dan waktu terasa berhenti. Aku yakin kami tidak akan dihisap darahnya sampai kering. Tapi setidaknya taring-taring itu akan menyakitkan. “Ini!” diserahkannya bir itu. Buru-buru kutuangkan bir itu hingga memenuhi mulut. Dan ketika rombongan itu telah berjarak semester dari leher angsa, langsung kusemprotkan bir dalam mulut ke arah obor yang kuarahkan ke depan. Dan, WURRRRR!!! Aku melakukan atraksi menyemburkan api, terus menerus kulakukan, hingga kelelawar-kelelawar itu akhirnya terbang ke atas dan terus menjauh ke belakan perahu. WURRRRRR!!! Sekali lagi kulakukan guna memastikan sudah takada lagi tikus terbang itu berkeliaran. “Hah… hah…” aku mengatur nafas. Rere masih tampak ketakutan. Kuletakkan lagi obor pada tempatnya. Lalu aku kembali duduk. “Lumayan, masih sisa seteguk…” kuteguk bir itu hingga tandas. Rere pun terlihat lebih santai. “Nah sayang, aku dayuh lagi. Kita keluar dari tempat celaka ini…” ajakku. Kami maju tanpa berkata-kata. Bahkan rasanya nafasku sudah habis. Entah berapa lama lagi terowongan ini akan berakhir. Kalau dihitung waktu, sudah lebih 45 menit. “Mungkin orang di perahu di belakang kita juga akan diganggu lele dan kelelawar…” gumam Rere. “Tidak, tidak akan.” Jawabku mantap sambil terus menatap ke depan. “Kok tidak akan?” tanyanya serius. “Eits, tetap pegang setirnya. Ingat, jalannya melingkar, bukan lurus!” seruku. Dia tampak tidak puas. Dan semilir angin bergembus pelan. “Sebab pasangan lain tidak akan berdebat, berteriak, dan tidak bakal membuat keributan di sini.” Tegasku. Rere pun tertunduk, menyadari kesalahannya. “Maafkan aku…” bisiknya. “Sudahlah, tidak apa-apa…” “Harusnya aku bersyukur… punya pacar kayak kamu. Yang bisa melindungi aku di saat seperti ini…” “Haha, sudahlah, jangan memuji begitu…” Rere menarik daguku. Ini adegan yang sudah sering terjadi, pasti dia mau menciumku. Saat nafas kami sudah dekat dan siap bercumbu, kulepaskan wajahku darinya. “Lihat, itu kunang-kunang! Ternyata memang ada!” seruku sambil menunjuk ke depan. Rere tampak berbinar dan senang menyaksikan kunang-kunang yang berpijar kelap-kelip di paruh angsa ujung perahu. “Kenapa? Katanya ingin? Mau kuambilkan?” ujarku sambil bangkit, tapi Rere menahan tubuhku. “Tidak… tidak usah…” bisiknya. “Kok tidak usah? ‘kan kunang-kunang itu bisa bikin hubungan mesra?” tanyaku. “Hehe, aku baru sadar. Kunang-kunang itu hanya simbol. Hanya bonus. Yang membuat hubungan kita lebih erat adalah perjalanan di dalam gua ini. Yang mana telah menunjukkan sifat asli kita. Kini aku tahu, walau kamu tidak romantis, tapi kamu benar-benar sayang padaku.” “Wow… bukan main bijak. Hahahaha…” “Hehe, sini aku cium.” Tapi kami keburu berbelok, dan cahaya terang dari mulut gua pun menyeruak. Rasanya lama sekali tidak melihat cahaya. Kami tersenyum melihat mbak penjaga, juga pasangan-pasangan muda lain yang mengantri. Perahu melaju mendayu makin dekat, akhirnya selesai juga kami memutari sungai dalam gua ini. “Hati-hati, silakan berpegangan pada saya.” Mbak itu menjulurkan tanggannya. Karena aku di sisi dekat tepian, maka aku naik duluan, kemudian kutarik Rere. Kulihat pasangan yang mengantri paling depan sudah tidak sabar. “Hei mas, ada apa tidak kunang-kunang saktinya?” Tanya seorang pemuda sebayaku yang berbaju abu-abu, sesetel dengan gadisnya. “Tidak, tidak ada. Tapi kami dapat sesuatu yang lebih berharga.” Malah Rere yang menjawab, aku tersenyum saja. Kami pun berjalan keluar dari gua, dan melihat langit senja yang indah. “Tuh kan Angel, aku bilang juga gak bakal ada kunang kunang sakti itu…” gerutu pemuda tadi pada pacarnya, tapi tetap naik juga. “Dayuh bersamaan ya. Tolong jangan berhenti di tengah jalan. Kalau ada apa-apa, pencet saja tombol merah di bawah kursi.” Mbak itu menyela, omongannya persis seperti tadi, terdengar pelan saja dan menjauh. Aku dan Rere sudah di luar, merasakan kembali udara terbuka. Kami berjalan kecil sambil bergandengan tangan, di atas rerumputan hijau yang menguning tercampur cahaya senja. Dia dan aku berdiri membelakangi gua yang seperti menyambung kea lam lain itu. “Bang Doni jangan khawatir, nanti di dalam Angel akan teriak panggil kunang kunangnya biar muncul, biar kita makin mesra.” Ujar si cewek penuh semangat. Kontan aku dan Rere menoleh dan bersamaan teriak pada mereka. “Jangan! Tolong jangan buat keributan di dalam!!!” seru kami berbarengan. Hingga seluruh antrian terkaget-keget.
********* Untuk Rere… 25Feb2011
©CemieLee
//:D – Follow my twitter
KEMBALI KE ARTIKEL