Anak Betawi ketinggalan jaman, katenye. Demikian senandung pembuka sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Gambaran orang tentang putera Jakarta pung lengkap sudah dengan kehadiran Mandra dan (almarhum) Pak Tile. Apalagi kini ada pasangan Bolot dan Malih. Semua melukiskan kelugasan dan ketertinggalan orang asli Jakarta dari kehidupan dan budaya modern. Gara-gara sinetron pula, orang jadi lupa akan putera-puteri terbaik yang pernah dilahirkan oleh Betawi, seperti KH. Noer Alie, KH. Abdullah Syafi’I, KH. Ali Syibromalisi, Zarkasyi Noer atau Abdullah Ali.
Banyak orang tidak sadar bahwa orang Betawi memiliki keahlian memasak. Keahlian ini merupakan salah satu faktor yang membuat mereka mampu bertahan dalam bidang ekonomi. Padahal banyak diantara mereka yang tidak makan bangku sekolahan. Lihat saja, semua yang berbau Betawi, pasti diserbu orang, mulai dari soto, nasi uduk, sampai ketoprak. Penggemarnya tidak kalah banyak dari pelanggan ayam goreng Ketuncky atau McD.
Kelau kita cermati lebih dalam, orang Betawi lama umumnya memiliki sawah dan kebun yang diisi berbagai tanaman, mulai dari sayuran sampai buah-buahan. Selain itu, mereka juga beternak ayam, bebek, kambing dan ikan. Lalu, apa relevansinya dengan ekonomi modern?
Persoalan manusia modern adalah segalanya serba monetized. Semua diukur dengan uang. Ketika masih menjadi anggota DPR, Hamzah Haz pernah memperingatkan bahwa Indonesia telah dikuasai oleh kaum moneteris, sebuah mazhab dalam ekonomi yang terkenal dengan semboyan only money matters, hanya uang yang berkuasa.
Orang Betawi membuktikan bahwa semboyan itu tidak lengkap. Artinya pribahasa itu harus dilengkapi, money only maters if………., uang hanya berfungsi apabila ada barang. Artinya, ada barang ada uang, bukan sebaliknya. Jika tidak ada uang, barang bisa menjadi uang dalam arti alat tukar dan standar pengukuran. Kalau tidak ada barang (tapi ada uang), siapa yang sudi makan kertas?
Untuk makan, orang Betawi tidak perlu beli beras, sayuran, dan ikan. Semua tersedia dari sawah, kebun dan empang. Ongkos sekolah dan ngaji anaknya (harian), ia tutupi dengan menjual telur ayam atau bebek. Biaya bulanan ia dapatkan dari menjual mentimun, cabe, atau semangka. Keperluan semesteran tersedia dari hasil kecapi, rambutan atau durian. Kalau mau khitanan atau kawinan, tinggal potong ayam atau kambing.
Jakarta sudah jadi kota metropolitan. Tidak mungkin lagi bisa berkebun dan beternak. Tapi orang Betawi tidak hilang akal. Ia bangun kontrakan dan cashflow pun tetap jalan. Meskipun sekarang frekuensi berkurang jadi bulanan.
Orang Betawi mungkin saja terbelakang. Tapi keyakinan mereka, bahwa yang namanya asset bukan saja uang, merukan prinsip yang telah teruji. Bagaimana mereka bisa mendapatkan ilmu semacam itu? Jangan lupa, orang Betawi suga ngaji. Mungkin salah satu hadis Rasulullah yang dibaca dalam pengajian mereka adalah ta’isa abdud dinar¸ yang atinya, celakalah para hamba uang. Yang menganggap uang adalah segalanya, sehingga menafikan faktor lain terkadang jauh dari lebih bernilai.
Wallahu A’lam.
Dimuat di Tabloid FIkri, September 2002