Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Terjaganya Kesatuan dan Persatuan yang Kokoh dalam Iman

7 April 2017   18:34 Diperbarui: 7 April 2017   18:56 290 1

Terjaganya kesatuan dan persatuan yang kokoh dalam iman dan dalam keyakinan masing-masing. Dan tegaknya tidak berpecah belah.
Salam sejahtera, salam damai.

Mari kita tetapkan niat dan tujuan yang baik: niat hijrah kepada Allah dan kepada utusannya, berarti menetapkan “tetapan” pada hati nurani dalam nilai ibadah. Dan niat yang baik tentu disertainya methode yang tersistem dengan baik. Membangun kesadaran ummatan wakhidah (sebagai kesatuan satu bangsa), dengan perilaku kesalehan, kejujuran, keadilan dan kedarmaan. Menebarkan, mendistribusikan dengan aksi kepedulian operasional. Sebab siapa yang membunuh seorang manusia karena tidak merusak dan tidak karena membunuh maka sama saja membunuh manusia seluruhnya, dan barang siapa yang memberi penghidupan seorang manusia maka, sama saja telah memberi manusia seluruhnya (al-ayah).

Baik dari kalangan islam, kristiani, katolik, hindu dan budha serta dari keyakinan dan kepercayaan dan siapapun (sinten kemawon) juga yang lain yang tidak tersebut satu-persatu dengan satu kalimat saudaraku sebangsa dan setanah air yang saya hormati semoga kita semua dalam ampunan Allah, menjadi hamba-Nya yang dikasihi, yang ditarik dengan fadhal dan Rahmat Allah, didalam kebenaran Al-HaqNya...amiin.

Saat ini kondisi dan situasi yang tampak memprihatinkan dalam situasi krisis (ditandai, dengan maraknya olok-olokan, kalimat-kalimat kebencian, demonstrasi-demonstrasi, saling menghujat, saling meng-klaim ego keakuan), sehingga kesatuan dan persatuan NKRI “tampak terancam” perpecahan.

Padahal menurut kami yang dari alkitab (Al-Qur’an, Alkitab (perjanjian lama dan baru), Bhagawadgita, Tripitaka, dan ujaran kebaikan lainnya), bahwa para utusan sekalipun hanya sebatas menyampaikan, memberi berita kebenaran beragama dalam keimanan... tidak ada kewenangan lebih, dengan melakukan pemaksaan, memaksakan kehendak. Sebab setelah menyampaikan Risalah kerasulan, kemudian diterima atau ditolak bukan lagi tanggungjawab mereka.
Dan lagi pula juga sangat tegas disebutkan “bahwa setiap dari diri menghadapkan pada wajahnya masing-masing “muwaliha” menghadap pada kiblatnya masing-masing maka, “BERFASTABIQUL KHOIROTLAH”.

Bersegeralah dengan aksi nyata berbuat kebaikan, (jangan mempersoalkan perbedaan apapun itu: keyakinan, agama, kepercayaan, suku, bangsa, bahasa, warna kulit). Tingkatkan potensi “subhanaka” memahasucikan Keberadaan Dia, dengan berbuat untuk kemajuan dan peningkatan potensi diri, potensi lingkungan masyarakat Dan berbuat baik kepada sesama manusia yang juga telah berbuat baik. Perihal keimanan (setelah disampaikan) adalah bersifat personel, sedang lahiriyah jasadiyahnya terlalu banyak yang dapat disinergikan, dikolaborasikan, dilakukan bersama-sama. Terindentifikasi dengan jelas dan terang.

Disini kami tidak mengajak pada “perdebatan”, apalagi debat kusir, juga tidak dalam perilaku klaim tanpa hujah sultonul mubin. NKRI saat ini memerlukan “aksi nyata peduli operasioanal” dalam perilaku pemberdayaan diri, lingkungan, masyarakat kami mengajak, menghimpun, bersama kita menghadapi permasalahan-permasalahan kehidupan, bagaimana kita menghadapi situasi dan kondisi yang tampaknya tidak sehat, rentan terhadap perilaku menyimpang, menggerogoti karakter kesantunan, adab dan akhlak. Merusak kebhinnekaan dan kesatuan.

Kalau tulisan, jargon, aksioma-aksioma, tulisan-tulisan, artikel-artikel memang sudah sangat banyak, sebab siapapun bisa menuliskannya. Mungkin aksi gerakan seperti tersebut pada paragraf diatas juga sudah banyak, ini yang perlu kita kuatkan bersama menjadi bagian dari saling membangun kebaikan sebagai anak bangsa. Perlu gerakan aksi yang lebih membumi, kepedulian operasional, terlepas dari perilaku pencitraan, namun memang perilaku mandiri dan menjadi bagian dari tanggungjawab kita semua.

Berkeluh kesah, menghujat, mengolok, menghujat, mengkafir-kafirkan orang lain dan golongan lain, membid’ah-bid’ahkan, kelimat kebencian, semua hal perilaku demikian tidak akan menyembuhkan dan bukan solusi. Sebab kalimat para Nabi adalah serupa dan terulang, yaitu “saya diutus sebagai penyempurna” artinya bahwa “beliau” diutus oleh yang Mengutus adalah menyempurnakan sifat, watak dan perilaku uswah; sifat, watak dan perilaku yang telah baik; sifat, watak dan perilaku yang saleh; sifat, watak dan perilaku kedarmaan; sifat, watak dan perilaku mendamaikan; dst kemudian disempurnakan dengan “KEIMANAN” sehingga dengan ilmu kenabian risalah kerasulan tersebut menjadikan hati nurani berfungsi, dan keluar masuknya nafas ada “isi” sehingga lidzikri.

Namun sekali lagi jika hal ini tidak diterima bahkan ditolak sekalipun, tidak akan mengurangi rasa maklum, rasa hormat, rasa menghargai, dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat sama sekali tidak didasarkan kebencian dan kedengkian.

(dan mohon maaf yang sebesar-besarnya) demikian yang diajarkan dari Guru Kami, dari Gurunya terus keatas dari Gurunya pula dalam satu rangkaian SILSILAH RANTAI GULOWENTAH tidak terputus sama sekali, bahkan diserupakan bagai rantai yang tidak diketahui ujung dan pangkalnya karena menyatu dan sesungguhnya dalam kesatuan. Jadi bukan nyambung memanjang apalagi nyambung nempel, sama sekali tidak demikian. Sebab ini adalah hujah bagi kami.

Keberadaan Kami JATAYU dengan didasari suatu ke-imanan ilmu Nubuwah, mungkin kalimat AnNubuwah ini bagi kalangan umum “asing” walau didalam ayat Al-Qur’an tersebutkan tidak hanya lebih dari satu kali, walau sebenarnya walau satu kali sekalipun sudah lebih dari cukup karena Firman Allah. Ketetapan Allah.

Q.S. Al-Ankabuut: 27.
“Dan Kami anugrahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Ya'qub, dan Kami jadikan “keluarga” AnNubuwah (dalam satu rangkaian rantai dzuriat (Gulowentah) dalam pengertian atau dalam makna satu ilmu yaitu ilmu kenabian, bagai pokok pohon yang darinya cabang dan ranting yang menghasilkan buah hikmah atau juga bagai “Menara Putih” yang menjulang tinggi yang darinya NurMuhammad ditampakkan) dan Al Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan kepadanya anugerah di dunia (dianugerahi karena dalam kesadaran hamba atas Keberadaan Cahaya AnNubuwah dan Air Ilmu Kenabian); dan sesungguhnya dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”.

Ali Imran: 79.
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yaitu hamba Allah yang di semua hidup dan kehidupannya (berpikirnya, perbuatan lahir dan batinnya, berdunianya dalam cakupan yang diliputi kesadaran bersama dengan Keberadaan Tuhan diseiap keluar masuknya nafas), karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab (baik yang qauliyah dan yang qauniyah; internal dan yang eksternal) dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”

Al-An’am:
88. “Itulah petunjuk (huda, cahaya) Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk (sehingga selalu didalam hidayah-Nya, sehingga dengannya dapat berjalan dalam kepastian tujuan) kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.
89. Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan Al-kitab, Al-hikmah dan An-Nubuwah, Jika orang-orang (yang tertutup, jumud, kaku, beku, fanatik) itu mengingkarinya, maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya.

https://www.youtube.com/watch?v=nqZFRZpiDNE
https://www.youtube.com/watch?v=3dE2iDKR-jU

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun