Indonesia terjebak antara:
1.Sistem kolusif partai politik. Partai bersekutu untuk melindungi kepentingan mereka dan berbagi kue. Kepentingan rakyat dan negara tidak diperhitungkan. Itu sebenarnya sistem KARTEL. Dengan sistem itu, tidak ada oposisi. Sihir! Rakyat dirampok tapi tidak punya tempat untuk mengeluh. Politikus tidak punya akuntabilitas. Kolusi partai melindungi mereka. Lihat saja sepertinya semua partai siap koalisi dengan partai manapun. Sistem kartel lebih kuat daripada etika atau ideologi.
2.Demokrasi figur. Seorang pemimpin akan muncul sebagai mampu mengubah segalahnya. Masalahnya adalah itu tidak menberdayakan lembaga-lembaga negara. Pemimpin tersebut memiliki semua kekuasaan. Bisa sesukanya. Kemunculan SBY trus Prabowo dan Jokowi itu politik figur. Tapi bagaimana satu orang bisa mengubah semua sendiri? Tidak mungkin. Upaya harusnya kolektif dan kolaboratif. Perubahan itu process yang melibatkan semuanya atau tidak akan jadi.
Kombinasi dua aspek tersebut membunuh akuntabilitas. Misalnya ada partai yang tidak pernah masuk oposisi. Kalah tapi tidak kalah. Selalu menang apapun situasinya. Bagaimana dengan turnover demokratis? Tanggung jawab menghilang.
Untungnya ada cahaya. Misalnya walikota generasi baru seperti Ridwan Kamil di Bandung dan Arya Bima di Bogor dipilih langsung oleh rakyat dengan banyak harapan dan antusiasme. Sangat positif dan jelas. Terus kalau mereka tidak deliver sesuai harapan mereka akan dibenakan sanksi demokratis oleh rakyat yang tidak akan memilih mereka lagi. Tampaknya ada kemajuan dalam sistem politik dari situ.
Wait and see. Tetap percaya!
@thomsonchris on twitter
*sebenarnya masalah akuntabilitas itu ada di seluruh dunia. Di Eropa misalnya partai dan aparat negara terlalu dekat jadi partai besar tampaknya Kartel juga. Tapi itu topic lain.