Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Artikel Utama

Cerita Basi dari Nobarnya Kompasiana untuk Film “The Social Network”

16 November 2010   02:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:34 1005 12

Namanya saja cerita basi jadi “sorry..sorry.. sorry Jack” aja kalau sudah berkali-kali dibahas sebelumnya. Maklum lah, saya hanya bisa menulis jika ada waktu tersisa setelah dihabiskan oleh kesibukan sebagai ibu dan sekretaris *curhat dimulai*. Kali ini saya mau ngebahas dua hal yaitu tentang film ‘The Social Network” yang kita (dibaca : Kompasiner) pelototin bareng-bareng selama 120 menit di XXI Cineplex, Plaza Senayan dan “Kompasiana” sebagai si agan (dibaca : juragan) yang membuat kita mau ngumpul buat nonton film itu di jam-jam yang seharusnya saya masih bermalas-malasan di tempat tidur dan belum mandi karena hari Sabtu bow!

Ok, langsung ke film yang membuat saya sempat terbayang-bayang Armand Hammer yang memerankan si kembar Cameron dan Tyler Winklevoss karena “sempurna” banget! *ternyata PMS bisa membuat perempuan berfantasy juga lho*.

The Social Network

Film ini dimulai oleh adegan Mark Zuckerberg (Jesse Eisenberg ) dan Erica Albright (Rooney Mara) yang sedang berkencan di salah satu bar mahasiswa. Disitu karena Jesse Eisenberg jago banget acting-nya atau aslinya dia memang seperti itu sehingga tidak mengalami kesukaran mengikuti permintaan skenario, kita mendapat gambaran bahwa tokoh pencipta Facebook ini memang mahasiswa yang ambisius, kritis, menyebalkan, berpikiran sempit, penuh kecemburuan dengan pembawaan suka merendahkan orang lain pokoknya anti sosial gitu deh!

Kalimat penutup dari Erica Albright pada kencan itu lah yang dianggap “sangat dalam” buat seorang Mark Zuckerberg sehingga pada malam itu juga dia menumpahkan kekesalannya di blog pribadi dan berhasil menjebol server universitas Harvard yang tiba-tiba menjadi sangat sibuk pada waktu dini hari karena 22,000 netter masuk hampir secara bersamaan ke dalam situs intranet universitas hanya dalam selang waktu 2 jam sebelum dimatikan dari pusat.

Saya kutip kalimatnya, sengaja tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena artinya menjadi kurang “nendang”, berikut ini :

“You are probably going to be a very successful computer person. But you’re going to go through life thinking that girls don’t like you because you’re a nerd. And I want you to know, from the bottom of my heart, that that won’t be true. It’ll be because……… you’re an a**hole.”

Saya tidak akan ceritakan detail film seperti bagaimana dia menghianati sahabatnya sendiri Eduardo Saverin (Andrew Garfield) karena terpesona dengan sifat kekanakan pada diri Sean Parker (Justin Timberlake) dan tentu saja juga karena mereka berdua, MZ dan SP memiliki visi yang sama untuk meraksasakan Facebook namun saya ingin berbagi beberapa hal-hal ironis di dalam film ini :

  1. Mark Zuckerberg, pencipta situs jejaring sosial dengan pengikut lebih dari 250,000 orang ini ternyata seorang anti sosial dan cenderung membosankan ketika bersosialisasi dengan lingkungan kampusnya dulu tapi manusia berubah bukan? Apalagi saat itu usianya baru sekitar 19 tahun, usia yang penuh dengan ambisi, cita-cita, mimpi dan yang paling penting “ketidakseimbangan”.
  2. Eduardo Saverin, mantan CFO perusahaan bernilai milyaran dolar ini pernah menanda tangani suatu kontrak tanpa didampingi pengacara sehingga dia kehilangan prosentase sahamnya cukup signifikan di dalam perusahaan yang tadinya hanya milik dua orang dan dimana dia adalah salah satunya. Tidak perlu masuk Harvard untuk mengetahui bahwa menanda tangani kontrak harus berhati-hati, ya nggak?
  3. Sean Parker sebelum bergabung dengan Facebook adalah sosok yang sudah malang melintang di dunia bisnis internet dengan catatan sama sekali jelek ditambah dengan kegemarannya berpesta bersama gadis di bawah umur dan narkoba namun itu justru membuat dia semakin dikagumi. Dunia yang aneh!
  4. Erica Albright adalah seorang perempuan cantik dan pintar yang membuat Facebook menjadi ada. Keberadaan itu berasal dari obsesi seorang laki-laki yang ingin menunjukkan bahwa dia menjadi berhasil setelah “dibuang” olehnya dan lucunya di “kerajaan” Facebook itu pun, Erica masih memiliki hak untuk tidak menerima permintaan pertemanan dari sang Raja Facebook sendiri.
  5. Cameron dan Tyler Winklevoss benar-benar seperti cerita dongeng. Berasal dari keluarga kaya dan ternama, mahasiswa senior Harvard, anggota club eksklusif mahasiswa Harvard, atlet olahraga internasional, penampilan menarik dan dibentengi oleh pengaruh ayahnya yang luar biasa sebagai pengacara termahal bisa ditipu mentah-mentah karena ide, kesempatan dan networknya dicuri oleh seorang junior. Ini seperti orang yang sengaja membuka pintu brankas uangnya lebar-lebar dan pergi sambil mengatakan “selamat mencuri”.
  6. Marylin Delphy, seorang pengacara junior yang membela tergugat dalam proses litigasi untuk pencurian ide yang dilindungi hak cipta, justru menjadi orang yang mengetahui sisi lain dari seorang Mark Zuckerberg di film itu namun spesialisasinya untuk menilai juri dalam persidangan membuat dia mendorong MZ untuk menyelesaikan tuntutan di luar pengadilan karena beberapa penghianatan seperti tulisan MZ di blog pribadi untuk Erica Albright,  pengurangan peran Eduardo Saverin dari daftar pemegang saham  dan tidak adanya alibi untuk terhindar dari tuduhan menghubungi polisi ketika Sean Parker mengadakan pesta privat sudah cukup menggiring juri untuk memenangkan tuntutan dari si kembar Winklevoss.

Sebenarnya masih ada lagi hal-hal yang saya anggap ironis tapi lama-lama saya akan terpancing menceritakan semuanya deh, kalau saya teruskan.

Satu hal terpenting yang sangat membekas di benak saya setelah menonton film ini adalah tetap waspada atau berhati-hati dengan apa yang kita tulis di internet baik di blog pribadi atau pun di fasilitas chatting yang ada karena semua itu dapat dipakai untuk “menyerang” kita jika ada celah. Selain itu sepertinya di beberapa negara, tulisan kita di internet dapat dijadikan barang bukti yang cukup kuat dan dianggap milik publik karena dapat dipublikasikan jika masuk ke dalam masalah hukum.

Saya suka film ini meskipun versi Holywood-nya kental sekali dan seperti yang saya duga meskipun film ini berdasarkan tokoh-tokoh yang real, film ini fiksi belaka!

Di salah satu wawancara dengan the New Yorker, MZmengatakan bahwa beberapa detail dalam film itu tidak benar (misalnya ketertarikannya bergabung dengan beberapa “final club” di Harvard). Ketika ditekan tentang film tersebut dan apa dampaknya bagi dirinya di depan publik, MZ hanya merespon dengan kalem “ I know the real story.”

Jesse Eisenberg sebagai Mark Zuckerberg sangat menyebalkan di film itu tapi juga membuat hati kita “meleleh” merasakan kesepiannya apalagi di adegan akhir yang seperti anti klimaks namun sebenarnya merupakan adegan klimaks yaitu ketika dia berkali-kali me-refresh page di layar komputernya menanti Erica Albright mengkonfirmasi permintaan pertemanannya di Facebook.

Film ini tidak boleh dilewatkan khususnya untuk orang-orang komunikasi yang ingin memahami budaya invidualis Amerika yang “terkenal” itu. Meskipun saya harus kehilangan kacamata setelah film selesai tapi saya tidak menyesal karena wawasan saya bertambah banyak setelah menonton film ini dan tentu saja, merasa terhibur.

Skala 1 sampai 10, saya ambil 9 untuk mengimbangi efek dentuman di hati saya yang mirip seperti efek dentuman musik di salah satu club di California ketika Sean Parker menjamu Mark Zuckerberg.

Entah mengapa kutipan dari Marylin Delphy di akhir film di bawah ini mengingatkan saya pada seorang teman lama, semoga dia membaca tulisan ini deh. Beberapa orang memang terlahir dengan kondisi ini, saya kira :)

“Mark, you are not an a**hole. But, you are pushing too hard to be one”

Selamat menonton buat yang belum menonton ya!

Kompasiana

Sekarang saya mau membahas Kompasiana tercinta.

Sepertinya sudah banyak pujian yang saya berikan untuk tempat nongkrongin sepasang mata di sela-sela kesibukan kantor dan rutinitas seorang ibu dari anak batita ini. Tengok saja tulisan saya yang ini, tulisan yang meskipun sudah di-tag ke “mykompasiana” dan nge-twit dengan hastag yang diminta di twitter tapi tetap  saja tidak muncul di microsite lomba My Kompasiana *ini curcol judulnya*.

Kini giliran untuk menyampaikan kritikan sayang selain penyakit “Lola” yang pernah saya keluhkan, Kompasiana harus bisa lebih merangkul Kompasianer. Tidak cukup hanya membuka pintu rumah tapi juga harus membuat mereka yang sudah masuk ke rumah sehat ini merasa aman dan nyaman di dalamnya yah, ngikutin Facebook gitu deh! Kalau Facebook lebih menekankan ke keamanan (privacy) maka Kompasiana harusnya lebih ke kenyamanan (privilege) karena setiap Kompasianer pasti sudah mengetahui bahwa tulisan yang sudah diposting bisa dibaca siapa saja baik oleh Kompasianer maupun calon Kompasianer.

Sementara ini, saya lihat feature pertemanan masih ok karena kita bisa menolak pertemanan seperti Erica Albright jika tidak mau menjadi teman dari Kompasianer lain namun ada kalanya ketika kita sudah berteman, kita baru tahu teman kita gak asyik lagi jadi baru deh berasa feature untuk remove friend mulai diperlukan yah mau ngikutin Mark Zuckerberg ketika me-remove Eduardo Saverin dari partner di Facebook gitu deh…. Ih sepertinya gak gitu-gitu juga kale. Jadi nantinya feature remove friend memang diperlukan.

Lalu bisa tidak ya, Kompasiana memiliki feature yang menunjukkan term of use tanpa harus membukanya. Dengan cara : ketika mouse kita menyentuh field dari term of use tersebut akan muncul balon berisi peraturan-peraturan yang paling sering dilanggar Kompasianer namun ketika mouse dipindahkan dari field tersebut, balon yang berisi peraturan-peraturan tersebut hilang lagi. Ini diperlukan agar Kompasianer baru tidak perlu melakukan kesalahan karena sudah diingatkan contohnya menekan publish padahal seharusnya save setelah meng-edit tulisan atau penggunaan huruf capital keseluruhan pada judul tulisan atau selang waktu publish antara beberapa tulisan dari Kompasianer yang sama atau beriklan atau membuat polusi dengan kata-kata tidak pantas atau masalah copas dll.

Terakhir comel saya lebih ditujukan kepada acara nobar pada hari Sabtu lalu. Bayangkan saya sudah mani-pedi segala koq setelah nonton bareng langsung bubar seperti bubaran pabrik….. sebentar, sebentar, hubungannya dengan mani-pedi ini apa ya? Saya sendiri bingung!

Ya, acara nobar kemarin cukup menyenangkan dan saya akan menjadi orang pertama di list yang mendukung jika acara ini dijadikan acara rutin mingguan…. Oops! Ngelunjak deh! Kekurangannya ya hanya itu, mengapa langsung bubar. Alangkah lebih lengkapnya jika setelah nonton, Kompasianer dikumpulkan di satu tempat dan bisa bersosialisasi untuk mempererat sharing dan connecting yang sudah tercipta dan  saya bisa memiliki koleksi photo dengan semua Kompasianer *agenda tersembunyi yang tidak tersembunyi lagi*.

Mungkin konsep nobar memang berbeda dengan kopdar tapi rasanya koq rugi banget kalau sudah nobar tidak sekalian kopdar karena kalau hanya sekedar nonton, saya mungkin memilih bangun siang di hari libur untuk nobar dengan penonton film lain yang saya tidak kenal daripada bangun pagi nobar dengan Kompasianer tapi tidak ada bedanya dengan nobar dengan penonton film yang tidak saya kenal.

Akhirnya saya tidak sabar mengucapkan sesuatu yang membuat Eduardo Saverin (Andrew Garfield ) kegirangan ketika disapa Kristy Lee (Brenda song) pertama kali tapi kata “Facebook” saya ganti dengan “Kompasiana” dong, untuk meminta teman-teman membaca tulisan atau memberi komentar di tulisan saya di rumah sehat ini.

Ya, saya ingin mengatakan  “Please Kompasiana me, guys!”

Nah gitu deh cerita saya yang “gak penting-penting banget” tentang nobar kemarin. Pop corn dan Nutea yang dibagikan gratis cukup membuat lidah saya berbahagia setelah selama lima hari kerja hanya makan makanan yang lemaknya dijatahin.

Semoga nobar berikutnya lebih mantap! Terimakasih Kompasianaku.

Lintang, Kompasianer pemalu yang jadi malu-maluin kalau di depan kamera!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun