Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ziarah Budaya: 1000 Hari Gus Dur

21 September 2012   18:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 552 6

Akeh kang apal....Qur'an Hadits e...[Banyak yang hafal Qur’an Haditsnya]

Seneng Ngafirke marang liyane... [Senang mengkafirkan yang lainnya]

Kafir e dewe Ga' di gatekke...[Kafirnya sendiri tak pernah dipedulikan]

Yen isih kotor...ati akale...2X[Jikalau masih kotor hati-akalnya]

Saat masih di Solo, tepatnya bulan Ramadhan. Hampir setiap towa Langgar (mushala) dan masjid-masjid kampungku tak bosan mengumandangkan Syi’ir Tanpo Wathon (Syair Tanpa Aturan). Konon syair tersebut adalah satu di antara peninggalan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) bagi kita semua. Saya yakin, teman-teman Kompasiana, terutama pegiat kajian toleransi keagamaan, begitu akrab dengan pemikiran beliau yang tidak sedikit orang bilang “nyleneh”. Tapi apa yang beliau urai dalam syair tersebut sungguh “menelanjangi” kita, khususnya umat Islam. Melalui larik lirik sederhana, Gus Dur mengajak kita menjadi muslim sejati.

Gus Dur tak hanya minta kita kembali kepada al-Qur’an dan Hadits. Tak pula meminta kita hanya mengkaji Syariat. Lebih jauh, Gus Dur meminta kita mengkaji secara proporsional antara tarikat, hakikat, serta makrifat. Tentu saja, diikuti dengan internalisasi hingga bagian terdalam dari tubuh kita. Tak berhenti di situ, semua butuh bukti berupa laku.

Tak terasa sudah hampir seribu hariGus Dur meninggalkan kita. Meski begitu, harum nama sang Guru Bangsa begitu dekat dengan kita. Betapa tidak, saat ini begitu banyak kasus keagamaan yang terjadi di sekeliling kita. Kasus Sampang misalnya, mungkin jika marhum masih ada, peristiwa yang melibatkan organisasi yang pernah beliau pimpin tak mungkin terjadi. Jika tak percaya, sejarah mencatat bagaimana suara beliau didengar oleh pengikutnya.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun