Tiga ratus enam puluh lima hari. Atau sekitar delapan ribu tujuh ratus enam puluh jam, bila kita sepakat bahwa satu hari itu ada 24 jam sebagaimana konvensitelah mengajari kita. Meski sesungguhnya siapa yang tau persis mengenai durasi waktu? Karena sejak kita lahir dan sampai sekarang saat kutulis ini, aku belum pernah sekalipun ketemu dengan yang namanya pukul 24.00. Kenapa bisa begitu?Lantaran begitu waktu beranjak meninggalkan pukul 23.59, menit yang muncul kemudian bukanlah pukul 24.00 melainkan pukul 00.00, artinya dalam sehari sesungguhnya tidak ada 24 jam. Inilah relativitas waktu yang tak terbantahkan.
Selama ini betapa kita telah secara taklid mengamini kode internasional untuk menerima sehari yang 24 jam itu namun senantiasa lupa untuk bersikap kritis betapa kita tak pernah sungguh-sungguh menjumpai pukul 24 yang ternama itu.
Disekitar kita banyak dijumpai; toko, rumah makan, apotek, warnet, rumah sakit serta tempat-tempat lain yang dengan gagah memasang label : ‘Buka 24 Jam’. Sebuah pembodohan yang serius bila serta merta kita mempercayainya tanpa pembuktian secara empirik.
Apa yang terlewat dan tak tercatat dari tahun-tahun yang telah kita lewati. Mungkin sejumput kenangan. Atau katakanlah semacam noktah peristiwa. Yang apabila kita rangkai akan menjelma repertoar yang dramatis. Ada harapan, kekhawatiran, peluang, serta berlaksa kemungkinan yang menyerbu hari-hari kita tanpa ampunan. Yang tak tertuliskan mungkin tinggal menjadi restan di kubangan sunyi. Yang sempat tercatat, sesekali waktu bolehlah kita tengok kembali untuk mengukur jarak menata langkah memantapkan pencapaian dimasa mendatang.
Adapun yang lebih berharga adalah memaknai setiap peristiwa. Sehingga tak ada lagi alasan bagi kita untuk abai terhadap segala sesuatu. Memang tidak semuanya lantas bisa kita ingat, lantaran kapasitas memorial didalam otak kita memang lemah dan terbatas. Sekalipun sesungguhnya, kita belumlah menggunakan kurang dari separuh kapasitas kerja otak kita yang sesungguhnya luar biasa itu.
Menginsyafi keterbatasan bukanlah lantas berarti memaklumi kemalasan. Karena keduanya berada dalam aras yang tak sama. Bahkan selain setan, sesungguhnya kemalasan adalah musuh yang nyata bagi kita sepanjang kita menghayati betapa berharganya waktu.
Maka dibutuhkan pengelolaan untuk mendapatkan hasil yang optimal dari waktu yang telah dijatahkan tersebut. Lantas upaya apa saja yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kesia-siaan?
Menghitung kembali penggunaan waktu dalam sehari sesuai mekanisme evaluasi. Aku menyebutnya sebagai evaluasi harian. Tidak hanya sekadar menjadwalkan, namun lebih pada memberi bobot yang lebih pada kualitas waktu yang terpakai. Produktivitas lahir dari ranah ini. Pendisiplinan adalah kiat yang bisa digunakan untuk menyederhanakannya.
Semua dari kita memiliki waktu yang sama setiap harinya. Namun efektivitas penggunaannya ternyata tidaklah merata. Ada yang mampu mengelola waktu sedemikian rupa sehingga yang muncul adalah progresivitas untuk senantiasa memperbarui sikap dalam menata pemanfaatan waktu. Cobalah dari sekarang untuk mulai bertanya pada diri sendiri, sudah bermanfaatkah waktu yang kita gunakan sedari bangun tidur hingga saat hendak tidur lagi?
Apapun jawaban kita, semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang bisa mempergunakan waktunya seefisien dan seefektif mungkin. Semoga.