Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pertentangan Telaga dan Kentang

15 Agustus 2012   22:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42 356 3

Sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan dapat menghadiri Festival Budaya Dieng (Dieng Culture Festival) pada bulan Juli kemarin. Sebuah festifal budaya yang menyuguhkan kekayaan keragaman budaya yang berkembang di masyarakat Dieng Kabupaten Banjarnegara.

Bertempat di sekitar komplek Candi Dieng acara berlangsug dengan meriah. Hari pertama diadakan jalan sehat yang pesertanya mencapai 4.000 orang, berasal dari murid-murid dan instansi pemerintah di Kabupaten Banjarnegara. Dan kemudian dilanjutkan dengan pertunjukkan wayang kulit serta pesta kembang api pada malam harinya.

Di hari kedua lebih menarik lagi karena ada ruwatan rambut gimbal dan pentas budaya di lapangan. Festifal dibuka dan dihadiri oleh Bupati dan Wakil Bupati Banjarnegara di sebuah lapangan yang juga dipakai untuk pasar perniagaan bagi pedagang-pedagang lokal. Ada juga pameran bagi lembaga masyarakat yang bergerak di area Dieng sekitarnya.

Berbicara tentang Dieng memang membicarakan keindahan alam dan kekayaan budaya yang begitu beragam. Wisata yang satu sisi menampilkan panorama alam pegunungan yang mempesona dan satu sisi menampilkan kebudayaan manusia jaman dahulu dan sekarang. Telaga, tanah pertaniandan kawah berpadu dengan kesenian tradisonal dan situs candi. Bersama-sama semua terhampar di sebuah pelataran vulkanik nan luas.

Namun jika kita melihat lebih dalam lagi. Lahan pertanian yang terhampar begitu mendominasi lereng-lereng bukit. Sejauh mata memandang tanaman kentang menghijau. Kentang memang menjadi primadona hasil pertanian di Dieng. Dominasi ini begitu mencolok menenggelamkan pesona wisata di dalamnya.

Seakan sudah memasuki ranah tradisi, kentang menjadi sebuah kewajiban tradisi dan gengsi di masyarakat. Keberhasilan menanam kentang tidak hanya menuai pundi-pundi uang tetapi juga sebuah gensi.

Itulah kenapa lahan kawasan wisata Dieng terus berkurang. Masyarakat terus membuka lahan pertanian kentang hingga memanfaatkan lahan dari kawasan wisata. Kondisi bukit yang mengitari telaga dan candi di rubah menjadi lahan pertanian. Kondisi terparah terjadi pada tahun 1998. Telaga warna sebagai telaga yang paling diminati wisatawan menjadi dikelilingi lahan pertanian kentang pada saat itu. Potensi bencana alam yang sudah besar kian bertambah dengan kondisi ini. Keindahan telaga menjadi hilang.

Tidak hanya menghilangkan keindahan telaga, tanaman kentang juga mampu menguras air telaga. Pada musim kemarau semua lahan kentang perlu disiram air. Masyarakat kemudian mengulur pipa dan mesin penyedot untuk mengambil air di telaga. Beribu hektar lahan yang harus disirami menjadikan air telaga terus menyusut dan akhirnya kering menjadi padang rumput.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun