Langkah kaki kecil itu menapaki jalan yang terlihat habis terpakai oleh air hujan untuk mengalir. Mendaki, licin dan becek. Sepatu mereka tidak bisa melindungi kaki mereka sepenuhnya, robek disana-sini sehingga jemari kaki terlihat walau terbungkus oleh sepatu. Sekelompok anak-anak seperti biasa, pagi itu pergi sekolah menunaikan kewajiban menuntut ilmu di Sekolah Dasar Jatisari. Canda riang dan terkadang diselingi gelak tawa diantara mereka terdengar. Melompati bukit sebagai jalan alternatif yang lebih dekat dari jalan yang lebih enak untuk dipakai sebagai jalan yang dapat diakses dengan kendaraan. Kegiatan rutin sebagai seorang siswa sangat berat. Dalam usia mereka yang masih sangat belia, harus berjalan selama kurang lebih 30 menit, berangkat pagi sekitar setengah enam untuk mengejar waktu dimulainya belajar-mengajar di sekolah. Cukup bisa terbayang jam mereka memulai aktivitas untuk bersiap ke sekolah. Belum lagi ketika cuaca tidak mendukung. Hujan turun sebagai sesuatu yang menakutkan, sebagai penghalang langkah mereka untuk terus sampai di sekolah dan pulang kembali ke rumah. Karena mereka juga harus melewati sungai yang pada saat hujan aliran menjadi deras, tetapi tidak ada air ketika kemarau datang. Dan terkadang jalan yang mereka lalui terpotong oleh aliran air hujan. Melewati pematang sawah, dengan kilat yang menyambar. Belum lagi ketika harus mengikuti kegiatan ekstra di sekolah usai waktu pelajaran. Mereka harus pulang melewati bukit dengan berkawan gelap.
Menjadi relawan mungkin sudah menjadi hal yang biasa saja bagi saya. Namun menjadi relawan pendampingan anak adalah hal yang baru dan sulit. Karena selain untuk memberikan sumbangsih pada masyarakat, tetapi juga harus menggunakan kemampuan pikiran dalam mengurai benang kusut permasalahan dengan baik dan bijak. Semua kebujakan harus dilandasi dengan panggilan hati yang tulus untuk benar-benar mengentaskan permasalahan anak dan keluarganya dalam menjalani pendidikan mereka. Keberadaan mereka sudah cukup untuk tidak terjangkau dari perhatian pemerintahan desa, kabupaten, propinsi, apalagi pemerintah pusat. Hanya beberapa relawan yang saya pikir bersedia mampu menjangkau mereka dengan panggilan hati sebagai sumbangsih untuk negeri Indonesia ini.
Desa Tengger