Zaman dahulu, figur Oemar Bakri a la Iwan Fals, digambarkan sebagai sosok yang bersahaja dengan kopiah di kepalanya. Dia akan mengayuh sepeda kumbang dengan tas buaya yang disampirkan di salah satu bagian sepedanya. Begitu menghanyutkan dan damai melihat sosok seperti itu.
Sekarang, zaman sudah berbeda. Pemerintah sudah mengeluarkan sebuah kebijakan yang langsung mengatrol kesejahteraan para guru, terutama yang berstatus pegawai negeri sipil. Di satu sisi, kita bersyukur bahwa m enjadi guru saat ini bukanlah pilihan ‘terpaksa’ bagi lulusan yang tidak mendapatkan pekerjaan . Namun di sisi lain, guru bersahaja yang digambarkan di atas, nyaris tidak pernah muncul lagi. Saat ini, banyak yang memilih untuk menggunakan kendaraan gress baik motor maupun mobil. Gayanya pun lebih modern, dan terkadang mengenakan kacamata belalang bak artis-artis.
Nyaris, bukan berarti tidak ada. Ketika kita semua bersyukur, mungkin juga ada yang terlena, dengan meningkatnya kesejahteraan, masih ada yang tertinggal di belakang hingga saat ini. Guru honorer.
Jika memang kita sepakat kalau guru merupakan profesi yang mulia, kenapa masih ada guru yang diberi gaji sebesar Rp50 ribu per bulannya. Sebenarnya, uang tersebuttidak layak disebut gaji bahkan honor. Dana tersebut lebih layak disebut sebagai ‘uang kasihan’ terhadap guru yang sudah susah-susah mencurahkan waktunya mendidik anak-anak, generasi penerus bangsa.
Dan apakah kita tidak tersentak mendengar kisah yang dituturkan oleh Baihaki, guru honorer asal Dusun Tengah Satu Desa Tagengser Laok Kecamatan Waru. Mengajar di sebuah sekolah di kabupaten yang dikenal sebagai Kota Pendidikan, honor yang diterimanya hanya Rp200 ribu saja. Yang patut diacungi jempol, meski honor sangat kecil, dia tetap kukuh untuk mengabdi dan mengajar selama sebelas tahun terakhir. Dan kalaupun kisah ini tidak terasa miris, Baihaki rela menjadi seorang kuli angkut barang di pasar dengan bayaran Rp2000 agar bisa memenuhi kebutuhan keluarganya.
Menjadi seorang guru honorer memang membutuhkan keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa. Terlebih lagi bila kita membaca statemen-statemen yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan di masing-masing kabupaten yang seolah-olah melemparkan tanggung jawab nasib para guru honorer tersebut kepada masing-masing kepala sekolah. Memang seperti itulah adanya. Tetaapi memindahkan beban tanggung jawab atas kesejahteraan guru kepada seorang kepala sekolah terasa naïf. Karena toh sekolah, terutama berstatus negeri, tentu masih menggantungkan operasionalnya dari ‘uluran’ pemerintah.
Guru honorer bak koin, di satu sisi tetap dibutuhkan namun keberadaannya dimarjinalkan. Menyalahkan kepala sekolah yang menerima guru honorer hingga dalam jumlah tidak wajar, juga sangat lucu karena para PNS ini pasti mendapat supervisi dari dinas pendidikan. Guru honorer, tidak berbeda dengan guru PNS lainnya. Lewat pengabdiannya, dia bisa mencetak seorang menteri, presiden, professor, insinyur. Seharusnya gajinya tidak dikebiri. Dan jangan sampai membuat mereka makan hati.
Lantas kenapa diskriminasi ini masih saja berlanjut?
Pemerintah, dalam hal ini disdik, seolah tidak memiliki database kebutuhan guru agar jumlahnya ideal dengan jumlah siswa yang harus diajar. Andaikan ada, maka plotting guru akan lebih mudah dilakukan dan ditata lebih rapi. Selain itu, jika pendataan lengkap maka memudahkan alokasi anggaran yang dibutuhkan tiap tahunnya sehingga kesejahteraannya tidak membuat kita miris hingga teriris-iris.
Selamat Hari Guru
juga dimuat di blog pribadi www.sitasaja.blogspot.com