Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gus Dur dan Reformasi Kesehatan

27 Februari 2010   07:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:42 527 0
Sudah lewat beberapa bulan, Gus Dur meninggalkan tanah air yang dicintai untuk selamanya, namun perbincangan tentang pemikiran dan ucapan beliau terus berlanjut. Salah satunya yang cukup jarang dibicarakan adalah saat menjabat Presiden RI, “Kalau mau menuruti kata hati, Departemen Kesehatan (Depkes) akan saya hapus”. Pernyataan itu muncul, seiring dihapuskannya Departemen Penerangan yang dulunya jadi alat propaganda penguasa dan tindakan pembredelan pers saat jaman orde baru.

Pernyataan membubarkan Depkes –kini berubah istilah menadi Kementerian Kesehatan-, sangat mengejutkan karena tidak satupun pernyataan sebelumnya yang berpikiran untuk membubarkan Depkes. Namun bila kita kaji lebih mendalam, pernyataan Gus Dur tersebut ada benarnya. Selama ini, khususnya pada era orde baru, peran Depkes, alih-alih mengurusi masalah orang sehat, tapi justru asyik sebagai Departemen Kesakitan, bahkan ada yang lebih ekstrim lagi sebagai Departemen Kantong Mayat..

Potret Bopeng Depkes
Meski saat pemerintahan Habibie, tepatnya 15 September 1998, Depkes RI telah memperkenalkan paradigma baru dalam pembangunan kesehatan yaitu Paradigma Sehat untuk menggantikan paradigma sakit yang selama ini diterapkan. Paradigma sakit mempunyai cara pandang dalam upaya kesehatan yang mengutamakan upaya kuratif dan rehabilitatif. Hal ini menjadikan kesehatan sebagai suatu yang konsumtif. Sehingga menempatkan sektor kesehatan dalam arus pinggir (sidestream) pembangunan (Does Sampoerna, 1998).

Dengan paradigma sehat, pemerintah berupaya mereorientasi pembangunan kesehatan. Penanganan kesehatan penduduk lebih dititikberatkan pada pembinaan kesehatan bangsa (shaping the health nations) bukan sekedar penyembuhan penyakit, namun termasuk pencegahan penyakit, perlindungan keselamatan, dan promosi kesehatan.

Namun, upaya ini hanya sebatas wacana. Paradigma sakit masih menjadi panglima bagi Depkes, akibatnya kesehatan dipandang sebagai sektor konsumtif, tidak sebagai investasi. Anggaran untuk sektor kesehatan hanya sekitar 2-3% dari total belanja negara. Kesehatan hanya dilihat sebagai sektor kesejahteraan yang dinilai menjadi beban biaya. Keberadaan Depkes masuk dalam koordinasi bidang kesejahteraan rakyat (Kesra). Karena itulah, keberadaan Depkes hanya dibutuhkan pada saat pembicaraan tentang wabah, bencana, dan segala hal yang terkait dengan ‘pengobatan dan pemulihan’ an sich. Dari sinilah sebutan “Departemen Kantong Mayat” mulai mengemuka. Tidak pernah terdengan, Depkes bicara tentang human capital dan program investasi.

Banyaknya kasus Kejadian Luar Biasa (KLB), seperti Demam Berdarah, Malaria, Antraks, Flu Burung dll, menunjukkan ketidaksiapan dan sikap reaktif Depkes dalam mengantisipasi persoalan kesehatan masyarakat.

Reformasi Depkes
Ungkapan Gus Dur tentang Depkes tersebut begitu genuine, Gus Dur bersikap bahwa masalah kesehatan mestinya dikembalikan pada masyarakat (masyarakat sebagai subyek). Kini, selang sekitar sepuluh tahun pernyataan Gus Dur tersebut, banyak pemikir kesehatan mendorong agar Depkes segera berbenah.

Setidaknya bisa berawal dari sebuah kajian tentang redefinisi sehat dan kontribusi Depkes terhadap pembangunan kesehatan serta kaitannya dengan perubahan kebijakan yang ada.

Dari pokok pikiran, redefinisi sehat dan pembangunan kesehatan. Sudah ada pengakuan nyata bahwa sehat sebagai investasi untuk pembangunan nasional. Karena itu, tugas bidang kesehatan adalah menyehatkan rakyat dan menyembuhkan sebagian yang sakit agar kembali sehat. Semua itu memerlukan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk bersikap bahwa fokus perubahan ke arah promotif/preventif.

Sementara lingkup sehat tidak hanya monopoli dari urusan Depkes. Perlu ada kesadaran nyata bahwa sehat adalah urusan banyak sektor. Setiap sektor mempunyai dampak terhadap “sehat”. Data riset kesehatan dasar tentang proporsi sebab kematian umur 15-44 untuk jenis kelamin laki-laki menempatkan kecelakaan lalu lintas pada urutan pertama. Sementara, perilaku yang menuntun berlalu lintas yang sehat, perlu keterlibatan aktif berbagai pihak, mulai kepolisian, kementerian perhubungan, dan pemerintahan lokal setempat.

Persoalan tetap tingginya angka kematian ibu dan bayi melahirkan di Indonesia (masih tertinggi di ASEAN), menjadi bukti nyata lain bahwa persoalan kesehatan menjadi bagian pekerjaan dari semua komponen pemerintah.

Belum lagi bila kita membicarakan tentang isu global warming, modernisasi kehidupan, dan beban ganda. Semakin membuat bidang kesehatan (Depkes) harus merubah diri. Dunia kini semakin datar, Depkes harus lebih proaktif dan adaptif terhadap segala perubahan. Organisasi kesehatan harusnya menjadi “social engineering” (Purnawan Junaidi, 2009).

Sementara dari aspek kebijakan dan peraturan. Dalam UU Otoda, jelas disebutkan bahwa kewenangan urusan kesehatan ada sepenuhnya di Kabupaten/Kota. Dalam PP 38/2007, pasal 18 jelas disebutkan tugas Depkes adalah membina, membimbing, supervisi, konsultasi, memonitoring dan evaluasi, pendidikan dan pelatihan dan kegiatan pemberdayaan lain. Sementara UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dengan lantang menyebut bahwa kesehatan adalah hak dan kewajiban rakyat.

Kini saatnya, Depkes perlu bersikap lebih jelas apakah melakukan fungsi pembinaan (steering) daripada fungsi pelaksana (rowing). Sebagaimana David Osborne berucap dalam bukunya Reinventing Government, pemerintah yang melakukan fungsi steering sekaligus rowing adalah bukan pemerintahan yang baik.

Kini banyak pihak menunggu, bagaimana bentuk reformasi kesehatan yang ditunjukkan oleh Depkes. Bila tidak ada hasil, maka pernyataan Gus Dur diawal tulisan ini layak untuk dipertimbangkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun