Memasuki waktu dua minggu, kerikil-kerikil kecil mulai bermunculan dan berserakan di jalan mulus yang sering kita lewati bersama. tapi hal itulah menambah kebersamaan kita berwarna, kadang putih.. kadang hitam.. dan sering abu-abu. kerikil kecil itu mudah kita hindari, kadang dengan mudah kita hancurkan hanya dengan jari kelingking kita..
Memasuki minggu ke empat, kerikil itu tergantikan oleh batu yang dengan kerasnya menabrakan diri dalam perjalanan kebersaman kita, biarpun batu itu sempat mememarkan keadaan kita, tapi kita berusaha membalut memar itu dengan kepercayaan yang dari awal kita sepakati bersama sebagai landasan dalam kebersamaan, memar itu dengan mudah hilang tanpa bekas setelah kepercayaan itu dengan setia membalutnya.
Enam minggu berlalu, semakin besar hal yang menghadang kita, bukan hanya batu saja yang selalu menghadang kita, tapi dengan di iringi badai mereka dengan sempurna membentuk benteng permasalahan dalam menghadang laju kebersamaan kita. tapi lagi-lagi dengan landasan dasar sebuah kepercayaan, badai itu bisa sedikit kita atasi, walaupun belum bisa kita lalui..
Delapan minggu, atau dua bulan.. benteng itu terlalu kokoh untuk kita lalui, dan badai itu terlalu kuat untuk kita hadapi, perlahan-lahan kegigihan kita luntur sedikit demi sedikit... meleleh, mencair dan menguap di terpa angin. badai itu memaksa kita untuk memahami, ada hal-hal tertentu yang tak bisa di paksakan dan benteng itu mengharuskan kita untuk evaluasi diri.