Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif Pilihan

Apakah Kebijakan Larangan Motor Melintasi Jalan Protokol Sudah "Cukup Bijak"?

28 November 2014   01:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:40 35 0
Tujuan Artikel ini bukan untuk mendiskreditkan Ahok, atau menghina pihak2 tertentu, Saya sebagai masyarakat Jakarta hanya untuk ingin memperlihatkan kepada Pembaca "irasionalitas" regulasi dari ini jika dijalankan, dengan memakai kalkulasi matematika "sederhana". Selain itu ingin "menyadarkan budaya disiplin dan santun dalam berkendara" di jakarta yang kini sudah "sangat parah"





Ahok mengadopsi prinsip "kerja-kerja-kerja"?

Ahok yang belum genap 1 bulan menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta "nekat" ingin menjalankan regulasi larangan motor melintas jalan protokol Sudirman,Thamrin.
Apakah ini akibat dari Ahok mengadopsi prinsip "kerja-kerja-kerja" yang dianggap jargon tsb efektifmendapatdukungan dari "wong cilik ?
Ataukah Ahok ingin selalu "dikenang" masyarakat jakarta seperti Ali Sadikin, dgn mengedepankan "target" regulasi2nya  tanpa menganalisa dampaknya secara mendalam.

Perbandingan Rasio jumlah penumpang / luas kendaraan


Rasio untuk motor :




Berikut analisa saya, dalam kondisi "normal" (diluar "peak hour") jalan sudirman-thamrin diperkirakan setiap 1 detik dilewati 10 motor, (kondisi peak mungkin 1 detik bisa 20 motor lebih)
dan asumsikan 1 motor hanya 1org.
Maka dlm 1 jam jln protokol bisa dilewati 36.000 pemotor, dan 1 motor kira-kira membutuhkan space di jalan sktr 2m x 0,8m = 1,6 m2.
Kita akan menghitung rasio dengan membandingkan antara jumlah penumpang dgn luas kendaraan , diketahui space motor utk 36.000 org di jalanan dlm 1 jam = 1,6 m2 x 36000 = hanya 57.600 m2.

Maka diperoleh rasio untuk motor  = 36.000/57.600= 0,625

Rasio untuk Mobil :




Sedangkan utk mobil, dlm kondisi traffik "normal" di jkt mungkin 1 detik hanya bisa dilewat 1 mobil, dan mungkin ada 3 penumpang (anggap semua mobil tanpa pakai jasa penumpang abal" alias joki). Maka dlm 1 jam hanya mengangkut 3600x3 = 10.800 org, tapi karena space utk mobil rata" bisa mencapai 4 x motor, shg membutuh space 57.600 x 4 = 230.400 m2.


Maka rasio untuk mobil = 10.800/230.400/= 0,046875

Dari angka-angka tersebut sangat jelas dan gamblang, menunjukkan bahwa bagaimanapun kondisinya rasio mobil jauh lebih kecil dibandingkan motor. Terlebih lagi sangat jarang pula ditemui saat JAM KERJA mobil pribadi diisi "full" penumpang (kalo weekend mungkin rata2 agak full, karena umumnya untuk kegiatan/acara keluarga)

Rasio konsumsi Bahan bakar pada motor vs Mobil

Bagi pengendara mobil maupun motor, tidak perlu dijelaskan perbandingan konsumsi bahan bakar. Menurut saya hanya org "gila" saja yg bilang mobil lebih irit dari motor, dgn catatan selama penumpang mobil maks "hanya" diisi 3 org dan dgn kondisi jalanan jkt yg "serba" macet.

Misteri ketersediaan "100 Bis Tingkat" dan efektifitasnya :


Dari pemberitaan yang ada sebagai "peredam" dampak regulasi ini, utk mengatasinya akan disediakan 100 bis tingkat yang "katanya"  GRATIS. Padahal sampai sekarang wujud / atau foto 100 bis itu saja masih belum jelas keberadaannya. Entah msh kabar burung. atau masih di pabrik/dealer ?

Istilah populer di forum2 kaskus "no pic = hoax"

Yang jadi pertanyaan, kalaupun 100 bis itu ada apakah bisa mengangkut semua pengendara motor ?


Dengan memakai kalkulasi matematika sederhana, dan memakai asumsi diatas yang tiap detik dilewat 10 motor, dengan 1 motor dinaiki 1 org, maka dlm 1 jam ada 36000 org yg harus naik bis

tingkat.

dgn kondisi (ideal) lalu lintas jkt skrg paling mungkin 1 bis tingkat hanya ada tiap 15 mnt an.

maka dlm 1 jam tersedia 4 bis. kira kira 1 bis tingkat bisa angkut 150 orang (kondisi sesak,dan berdiri).Sehingga dalam 1 jam "hanya" bisa mengangkut sekitar 450 orang.

Kesimpulannya, pemotor yg lewat dalam 1 jam, sekitar 36000 org, agar terangkut semua membutuhkan waktu = 36000/450

artinya membutuhkan waktu 80 jam !

Dari hitungan "kasar" jelas terlihat banyak pemotor yg tidak terangkut.
Saya prediksi tanggal 17 desember besok, kemungkinan besar bisa terjadi chaos, atau paling tidak pemotor akan "terpaksa" naik angkutan2 yg berbayar.

Atau paling mungkin jalan2 non protokol akan semakin macet dan akan berdampak macet pula disimpul2 perempatan penghubung ke jalan protokol seperti sekitar sudirman, BI, Harmoni.

Menurut saya, ini merupakan kebijakan "sia-sia" yang akhirnya akan tetap terjadi kemacetan, dan pastinya memicu "konflik" sosial krn berkaitan dgn hajat org (kecil) banyak.

Siapa yang diuntungkan ?

Pastinya pemerintah krn akan ada penambahan pemasukan pajak dr ERP dan parkir, kalangan pengusaha angkutan, pengelola parkir liar, dan pastinya pihak2 swasta penerima tender proyek2 Bus dan ERP ini.

Pada akhirnya nantinya semua jalan2 dijakarta hanya boleh orang berdompet tebal, yang bisa beli mobil dan pastinya harus mampu bayar ERP.

Alasan regulasi ini dijalankan karena sudah "Teruji" ?

Mungkin salah satu memaksakan kebijakan ini dijalankan karena sudah teruji dan "berhasil"  dilakukan pada berbagai negara salah satunya seperti di cina, didukung ketersedia angkutan publik yang lengkap, dan terpadu, serta daya beli masyarakat yang tinggi.


Sedangkan di jakarta, dgn daya beli masyarakat masih rendah, plus angkutan umum yang masih "morat marit"
. Yang menjadi pertanyaan besar, kenapa kemacetan dijakarta harus diawali dgn "menguras" kantong rakyat jakarta dulu ?


Pemasukan ERP dan Parkir, apakah untuk "kejar setoran" PAD ?

Apakah regulasi ini berkaitan dengan di tahun 2015 yang dimulai era pasar bebas, sehingga Pemasukan Asli Daerah (PAD) akan semakin menurun akibat regulasi bebas bea pajak, sehingga target pemasukan pajak yang semakin meningkat harus dikompensasi dengan menguras kantong rakyatnya sendiri ?

Atau ini sebagai manifestasi ketidakmampuan dana pemda utk menyediakan fasilitas publik yang mumpuni shg harus dengan mengumpulkan "modal" dahulu, barulah jika sudah terkumpulkan dana dari uang2 upeti dari ERP, dan biaya parkir yang mahal "otomatis" tersedia fasilitas publik yg terjamin dan terpadu ?

Ataukah untuk menghindari rasa "malu" dari kehadiran tamu negara, dan para ekspatriat yg bekerja d jakarta agar tidak menjustifikasi jakarta sbg kota kumuh, macet, polusi tinggi ?

Indisipliner Pengendara (Pembiaran atau ketidakmampuan Aparat?)

Menurut saya dasar latar belakang diberlakukan regulasi ini adalah krn "ketidakmampuan" aparat polisi dan Dishub dlm mengatasi "indisipliner" pengendara motor dan mobil.

Ditambah lagi akibat faktor "pembiaran selama berpuluh-puluh tahun" , lumrah dan wajar dimana2 terjadi pelanggaran lalu lintas secara BERJAMAAH.

Seharusnya dari dulu hukum &aturan di Jakarta hrs selalu ditegakkan oleh aparat polisi kapanpun dan dimanapun, serta harus disebar diberbagai jalan, atau tempat umum.

Kalau perlu hanya 1% aparat yg kerja "dikantor",sisanya harus sbg penegak hukum dan polantas.

Pada akhirnya, Ahok yang katanya "pro wong cilik dan miskin" akan memaksa wong2 tersebut harus naik angkot yang "mahal" dan tidak terawat, service "tdk karuan", lemot dan tukang ngetem.

Sedangkan dari dulu / "sejak indonesia merdeka" hingga skrg pola kerja Polisi tetap sama, hanya ada di jam2 tertentu, dan hanya ada (maks 1-2 orang) dititik2 tertentu. dan hanya ada saat jam2 "dinas" saja, kalau kondisi cuaca hujan deras umumnya aparat tiba2 "menghilang".

Menurut saya sikap disiplin dijalan, tidak akan tercipta dgn hanya memakai prinsip "efek jera" dgn memakai "operasi zebra" yang hanya ada di hari2 tertentu (hanya 2 minggu dlm setahun!).

"Perbedaan" aparat yang ada di Jakarta/Jabodetabek dan di Kota Lain


Anehnya sangat kontras sekali jika dibandingkan dengan kota2 lain khususnya di jawa tengah, seperti semarang, solo, dan jogja. Di kota2 tersebut, setiap saat polisi selalu "patroli" di jalan dan sering melakukan razia (biasanya akhir bulan).

Sehingga sangat jarang ditemukan pelanggar lalu lintas (Penulis sendiri pernah tinggal di kota jogja puluhan tahun, dan pernah ditilang karena hanya sedikit melewati garis zebra cross), apakah ini karena kesadaran masyarakat yang masih tinggi? atau kah karena penegakkan hukum yang lebih baik?

Mekanisme Penegakkan hukum, Menghukum atau Mencegah ?

Penegakkan hukum harus tiap saat, tiap detik dan dimanapun, dan sudah sepatutnya tidak memakai prinsip "jebmen" (istilah populer = jebakan betmen, dgn "menjebak" pelanggar di titik2 hilir), bahkan dampak dari penilangan tsb menciptakan "kemacetan baru".

Sudah seharusnya aparat ditempatkan pada titik hulu, dgn mekanisme "pencegahan" pelanggaran lalu lintas, shg kemacetan akan terhindari. meskipun akan berdampak "pemasukan" dari tilang lebih minim.

Pandangan Pribadi

Sebagai pengendara pemotor Saya tidak serta merta menolak kebijakan ini.

Jujur saja saya selalu "berusaha sekuat tenaga agar disiplin" dlm berkendara, seperti pada lampu merah berhenti dibelakang garis penyebrangan, tidak melintas secara ugal2an, selalu mengikuti jalur khusus motor, tidak memutar sembarangan, tidak menerobos lampu merah, dan pastinya semua syarat2 kelengkapan kendaraan seperti helm, spion, lampu, knalpot, plat nomor dan surat2 harus lengkap dan sesuai aturan.

Tetapi fakta dilapangan, sekarang PELANGGAR LALU LINTAS SANGAT MAYORITAS DIBANDINGKAN YANG TERTIB DGN JUMLAH SANGAT SEDIKIT !

Pembuktian dan Manfaat


Pada akhirnya, "kebenaran" analisa saya akan terlihat pada hari H nanti, apakah efektif,tambah macet, chaos, atau malah bnyk pejalan kaki, atau terjadi demo penolakan, atau banyak yang pindah ke moda angkutan lain spt KRL yg anti macet, atau dll...

Saya berharap minimal dari artikel ini bisa dimanfaatkan sebagai "acuan" Pembaca untuk mengantisipasi resiko2 yang mungkin bisa terjadi di tanggal 17 Desember nanti. Kalau Saya pastinya lebih memilih naik KRL saja yang dijamin tidak terkena efek kemacetan.

Wallahu'alam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun