Dasar argumennya pun sama-sama subyektif, hanya beda tipis. Yang pro tetap percaya sepenuh hati Jokowi itu baik, bersih, tanpa cela, dan yang penting bukan Prabowo. Sedang yang kontra yakin Jokowi tak ada bagus-bagusnya, seharusnya Prabowo presiden Indonesia.
Padahal, kalau mau objektif gampang saja. Bandingkan janji kampanye Jokowi dengan realisasinya. Bagaimana persentasenya sejauh ini? 50-50 kah? Perjalanan Jokowi masih panjang untuk menilai kinerjanya secara utuh.
Asumsi Jokowi sebagai boneka Mega/PDIP tak ada gunanya diributkan. Kader partai menjalankan agenda partai adalah hal lumrah. Contohnya di Amerika, presiden dari partai Demokrat akan memperjuangkan agenda partainya, begitupun dari partai Republik dan partai lainnya.
Obama telah membuktikan, bersikap netral bagi presiden yang juga kader partai sangat sulit dilakukan. Saat kampanye ia pernah berjanji akan memperjuangkan kepentingan semua pihak. Tapi janjinya bablas bahkan perseteruan sengit antar partai memuncak menyebabkan pemerintah AS lumpuh selama 16 hari pada awal Oktober 2013. Banyak kantor pemerintah tutup karena gaji pegawai tidak bisa dibayar.
Yang jelas, saat ini kasus dugaan pelanggaran hukum oleh calon kapolri dan petinggi KPK harus diproses secara transparan atas dasar praduga tak bersalah. Kasus hukum tidak boleh dipolitisir karena bisa menodai keputusan hukum. Rakyat tidak bisa menuntut KPK untuk segera menjatuhkan vonis pada tersangka korupsi. Kalau rakyat sudah merasa tahu siapa yang benar dan salah, untuk apa lagi pengadilan?
Masalah timing ("Kenapa baru sekarang?") juga tidak ada gunanya diributkan. Yang penting dibahas adalah bukti-bukti hukumnya mendukung atau tidak. Kalau media ingin mengangkat masalah ini, narasumber yang tepat untuk diwawancara adalah pakar-pakar hukum, bukan pakar/pengamat politik dan militer yang pendapatnya hanya akan memperkeruh suasana.
Harus diakui, seperti halnya penghapusan subsidi BBM, keputusan Jokowi mempertahankan pencalonan tersangka korupsi sebagai kapolri adalah bukti Jokowi melanggar janji-janji kampanye.
Akan tetapi, pemberantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak janji kampanye Jokowi. Korupsi bukan satu-satunya masalah yang harus diselesaikan di Indonesia. Jika perhatian rakyat hanya terfokus pada kasus korupsi, masalah-masalah penting lainnya bisa terabaikan.
Rakyat dan media adalah dua kekuatan besar yang bisa menjaga kestabilan politik dengan menahan diri dari emosi berlebihan dan ketergesa-gesaan menanggapi kasus korupsi.
Ancaman sebenarnya bagi bangsa bukanlah maraknya korupsi melainkan pemberitaan berlebihan kasus-kasus korupsi yang bisa menciptakan generasi apatis, oportunis, gampang dihasut, diadu domba, dan dibayar untuk membuat huru-hara. Adanya huru-hara bisa jadi alasan militerisasi negara.
Semua kalangan masyarakat, baik yang pro atau kontra Jokowi pasti tidak mau ada huru-hara dan sama-sama berharap untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saatnya mencari persamaan bukan memperlebar jurang perbedaan demi menjaga kestabilan politik bangsa.