Tulisannya pun baru saja dirilis, tentu masih segar dan hangat.
Narasi yang dijelaskan mengalir begitu saja, ini menandakan bahwa tulisan ini bukan ilusi yang saat ditulis perlu dihayalkan terlebih dulu apa isinya.
Artikel Engkong FT berasa natural, orisinil, dan layak HL (admin K setuju). Sebab itu saya beri beliau apresiasi 5 bintang.
Poin penting yang tersampaikan pada "curhatan" FT itu sebenarnya tertuju pada kekuatiran beliau pada situasi terakhir-terakhir ini terkait dengan keberadaan rumah besar Kompasiana yang katanya "rumah kita sendiri."
Apa yang dikuatirkan tersebut menurut saya sangat tepat dan kadar kritikan yang proporsional dan profesional.
Saya bisa memahami kerisauan beliau, termasuk saya (meskipun tidak tergolong penulis aktif dan bukan penulis kunci di ruang K), mungkin juga Kompasianer lainnya bahwa Kompasiana kini seakan berada di ruang remang-remang.
Kompasiana terlihat seperti tidak lagi memiliki "nama besar" dan kehilangan arah positioning di antara belantara platform yang sama di tanah air.
Artikel-artikel yang ditayangkan lebih banyak berisikan peran "guru digital" (benar kata Engkong istilah politrik) sangat mendominasi di laman utama Kompasiana (otomatis HL).
Tidak salah sih sepanjang ada target market nya.
Namun itulah yang justru mendapat sorotan dari Engkong FT, menurut nya gejala tersebut telah membuat artikel-artikel berbau politik kehilangan tempat di Kompasiana.
Padahal media tanpa mengulas isu-isu penting politik rasanya sangat hambar, tidak bergairah, dan hanya cocok jadi media hiburan belaka atau media usia anak-anak dan remaja.
Pengetahuan politik itu penting artinya bagi kehidupan demokrasi sebuah bangsa seperti halnya Indonesia.
Politik itu bukan perbuatan jahat dan tidak berguna. Meski dalam kenyataannya para politikus cenderung kontraproduktif.
Tetapi itu karena ketidaksolehan individu dan aktornya dalam berpolitik. Bukan politik yang salah.
Nah disinilah peran Kompasianer yang memiliki passion sebagai penulis segmen politik mengkreasikan pengetahuan, masukan, dan kekuatan pemikiran mereka untuk meluruskan setiap fenomena politik yang tergerus nilai-nilai kebangsaan.
Konon kehidupan rakyat di sebuah negara sangat dipengaruhi oleh bagaimana sistim politik di negara tersebut dijalankan.
Oleh karena kita tidak bisa memisahkan diri dengan hal-hal yang berbau politik. Termasuk media harus memberikan ruang yang cukup dan keterlibatannya dalam penguatan pilar demokrasi dan mengedukasi publik.
Media tidak bisa menutup diri melihat fenomena politik di sekeliling yang kian tidak karuan tanpa berinisiatif mengambil peran perbaikan.
Bisa jadi Kompasiana bukan lah media massa yang tergolong dalam listing dewan pers. Kompasiana hanya sebuah platform komunitas model jurnalisme warga.
Tetapi tetap saja "mencabut" artikel-artikel politik dari laman utama dan membuangnya ke laci meja redaksi (admin/moderator) yang paling bawah adalah sebuah sikap yang tidak profesional.
Mungkin itulah spirit kritik Engkong FT dalam tulisan beliau yang disuguhkan sebagai sarapan, pembuka pagi untuk anggota keluarga Kompasiana.
Akhirnya tidak perlu berpanjang-panjang, saya akhiri tulisan yang sangat berkualitas ini dengan kalimat judul, "media tanpa artikel politik itu hambar." (*)