Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Prihatin "Double Job" tetapi Tidak "Double Income"

12 Agustus 2021   09:56 Diperbarui: 12 Agustus 2021   10:01 949 3
Menarik membahas soalan rangkap tugas (double job), dan dibanyak tempat sering tidak ada tambahan pendapatan (double income) bagi yang terlanjur menerima tambahan pekerjaan bahkan bonus tanggung jawab pula.

Bagi pekerja kantoran mungkin sudah sering mendengar istilah double job.

Setidaknya istilah itu telah dipahami secara baik saat bekerja sehari-hari.

Sehingga tidak sedikit yang telah menjadi bagian dari praktik rangkap tugas dalam lingkungan kerja tersebut meskipun ada yang keberatan.

Tetapi dengan tuntutan peran harus diterima juga.

Berperan dengan banyak tugas yang terkadang berbeda bidang dan kompetensi memang melelahkan.

Apalagi jika pekerjaan itu sangat beragam dan banyak. Wah bisa terkuras semua energi.

Pengalaman saya ketika bekerja di sebuah yayasan swasta yang bergerak di bidang pendidikan dua tahun lalu, dimana hampir 50% posisi harus dirangkap karena perusahaan baru.

Sebagai perusahaan yang baru memulai (start up), tentu saja sang pemilik (owner) menyusun strategi agar biaya yang dikeluarkan benar-benar irit dan tepat sasaran sedangkan pendapatan harus maksimal.

Sehingga struktur manajemen di desain sedemikian rupa agar menimbulkan penghematan dan standar efesiensi.

Persis seperti kebijakan pemerintah di era pandemi sekarang, "anggaran di potong (refokusing) tapi target tetap alias tidak berkurang atau diturunkan".

Artinya banyak posisi yang wajib diisi tetapi dirangkap (rangkap jabatan menimbulkan beban kerja dan rangkap tugas pada ujungnya).

Saya sendiri ketika dipercayakan pada posisi marketing namun pada saat yang sama rangkap jabatan ketua jurusan.

Coba bayangkan bagaimana mengemban tugas dengan Tupoksi yang sama sekali berbeda.

Tidak hanya kesulitan ketika menempatkan diri saat melakukan pekerjaan, tetapi juga menimbulkan kontradiksi antara kepentingan marketing dan kewajiban menjaga kualitas kurikulum karena itu salah satu tanggung jawab Ketua jurusan.

Dilema seperti ini pernah saya rasakan begitu sulit. Bagaimana saya harus berperan (akting) dengan dua common interest yang bertolak belakang.

Sebagaimana diketahui umum, marketing adalah pekerjaan yang berorientasi pada terbangunnya hubungan pasar melalui serangkaian strategi yang dipilih dan dijalankan.

Dengan harapan mereka akan menjadi pelanggan. Dalam konteks ini mereka mau bergabung sebagai mahasiswa di kampus kami.

Di satu sisi saya harus bersikap agak fleksibel dan menyesuaikan diri dengan adik-adik siswa (pasar) yang baru tamat sekolah agar mudah membangun komunikasi.

Di sini kita sering menggunakan bahasa "gaul" dan kekinian mengikuti gaya komunikasi remaja dan milenial agar tercipta suasana keakraban, sehingga komunikasi bisa dua arah dan terbuka (hingga pas waktunya untuk bisa jualan hehe).

Ketika menjalankan peran (tugas) sebagai marketer, buang jauh-jauh soal posisi Ketua jurusan dengan segala macam embel-embelnya.

Maklum jabatan tersebut menuntut kewibawaan, pencitraan diri, dan tetek bengek embel dosen ala jaman old.

Singkat kata perbedaan dua karakter itu membuat saya kesulitan.

Terus terang saya tergolong orang yang tidak suka tampil formil dan serba kaku menjalani SOP. Situasi demikian membuat tersiksa.

Sementara di sisi lain kedua tugas tersebut harus capai target bahkan harus melampaui target secara tim.

Benar-benar tidak ada toleransi jika masalah target marketing, mengingat kampus baru yang belum di kenal pasar.

Rapat evaluasi mingguan selalu membuat saya grogi karena di forum tersebut pihak investor selalu terlibat dan menilai kinerja tim.

Sebagai tim leader marketing pasti diminta penjelasan bagaimana pencapaian proses harian hingga mingguan.

Investor menanyakan pelaksanaan action plan mingguan, bulanan, dan proyeksi pencapaian target tahunan.

Wah benar-benar seperti pengalaman mengikuti sidang tesis saat masih kuliah dulu. Grogi dan mengeluarkan keringat dingin.

Namun "penderitaan" itu tidak berlangsung terlalu lama, kurang lebih hanya 2 tahun sebelum akhirnya saya pun resign dari perusahaan tersebut dengan posisi wakil direktur.

Begitulah pembaca! Rangkap jabatan, rangkap tugas, tanggung jawab, dan segala macam beban kerja ekstra di luar job description bahkan diluar ambang kapasitas namun harus dilakoni.

Sedihnya bukan hanya tidak ada rangkap gaji malah mendapatkan "bully" karena tidak optimal dalam progres.

Akhirnya saya menemukan keputusan terbaik dengan mengundurkan diri.

Tentu saja saya menyadari bukan pekerjaan yang terlalu berat tetapi kapasitas saya yang tidak meng-coverage semua pekerjaan yang ada.

Nah jika Anda saat ini mungkin bberada pada peran rangkap tugas/rangkap jabatan, maka saran saya minta juga gaji rangkap karena bekerja di perusahaan meskipun ada unsur pengabdian dan loyalitas tetapi pekerja juga butuh apresiasi dan salary yang pantas.

Double job yang tidak dibarengi dengan double income atau double salary memang membuat prihatin. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun