Namun yang menarik untuk diperhatikan yaitu tentang sikap masyarakat Aceh terhadap covid. Meski tetap mengikuti anjuran pemerintah untuk antisipasi penularan namun tidak sedikit masyarakat yang meragukannya.
Padahal banyak informasi, data, dan fakta yang berseliweran sebagai alat untuk membangun kesadaran masyarakat agar ektra hati-hati terhadap bahaya virus Corona itu. Tetapi nyatanya keyakinan masyarakat tidak banyak berubah. Mereka mengatakan Covid-19 tidak ada.
Persepsi masyarakat tentu dapat dibantah secara mudah dengan konfirmasi temuan-temuan kasus dan secara ilmiah. Pendapat para pakar dalam hal ini dokter menjadi rujukan utama sebagai klaim mewabahnya Covid-19 di Aceh dan itu sudah fix.
Aceh, terutama di ibu kota provinsi yakni kota Banda Aceh termasuk dalam daftar daerah zona merah di luar Jawa-Bali yang sekarang ini diberlakukan PPKM pengetatan. Tentu ini adalah satu bukti bahwa di Aceh juga ada covid.
Tetapi, di sisi lainnya persepsi di atas dapat pula menjadi semacam kekuatan mental untuk mengahadapi rasa takut berlebihan terhadap Coronavirus Disease 19 itu. Sebab ada yang berpendapat Covid-19 bisa terkena/menyerang bila pikiran seseorang meyakini dirinya bakal terkena.
Hal itu juga dapat dibuktikan secara ilmiah, bahwa aspek psikologis seseorang sangat mempengaruhi penularan wabah Covid-19, bahkan termasuk penyakit-penyakit yang lain.
Penulis ingin mengatakan, kekuatan pikiran sangat penting dioptimalkan untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imun) dalam melawan Coronavirus. Maka sangat tepat bila masyarakat Aceh menanamkan dalam pikirannya "tidak ada Corona di Aceh."
Bagi mereka yang tidak mengerti tentang ini tentu akan menganggap bahwa masyarakat Aceh bodoh atau ngeyel pada fenomena Covid-19. Bagaimana mungkin dikatakan tidak ada covid sementara korban yang meninggal sudah mencapai ratusan orang.
Sebab itu perlu diluruskan, bukan tidak ada Coronavirus tetapi tingkat penyebaran nya yang rendah atau tidak setinggi seperti kota Jakarta, Jawa Barat, Bogor, Jawa Tengah, dan Bali.
Bahkan Juru Bicara Satgas Covid Provinsi Aceh Saifullah A.Gani menyetir riset badan kesehatan dunia (WHO) yang menilai kasus kumulatif Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Aceh periode 15 -- 21 Juli 2021 paling rendah. Aceh satu-satunya daerah yang ditandai warna kuning pada peta Indonesia dalam Situation Report-64 WHO terbaru, tanggal 21 Juli 2021.
Ini tentu saja sebuah berita bagus sekaligus kabar baik bagi pemerintah dan masyarakat. Semakin rendah tingkat penularan berarti kehidupan normal akan semakin dekat. Masyarakat sudah lelah dengan pembatasan interaksi sosial yang diterapkan selama ini.
Masyarakat sangat mampu untuk mengikuti protokol kesehatan dengan menggunakan masker dan mencuci tangan, namun menjadi tidak sanggup ketika harus menjaga jarak (physical distancing). Sudah kodratnya, manusia butuh interaksi secara fisik dengan lingkungan sekitar.
Whatever kita patut bersyukur kepada Tuhan atas semua musibah ini. Meskipun ada campur tangan manusia namun bagi orang yang beriman sangat yakin bila semua ini terjadi atas izin Allah. Maka tugas kitalah untuk melakukan berbagai ikhtiar dan usaha agar virus tersebut tidak membawa malapetaka lebih besar bagi diri sendiri dan orang lain.
Tidak perlu juga menanamkan rasa takut berlebihan di dalam alam bawah sadar kita. Termasuk takut akan kematian. Justru hal itu akan semakin memperlemah imun tubuh, yang pada akhirnya virus akan mudah menyerang.
Itulah strategi mengapa masyarakat Aceh seperti menafikan Covid-19, tujuannya adalah untuk menumbuhkan kekebalan tubuh melalui kekuatan pikiran. Perlu dicatat bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. (*)