Pertengkaran politikus Partai Gerindra dan Partai Demokrat menghiasi lini masa media sosial terutama Twitter. Pertempuran sengit lewat adu mulut dan kata-kata hingga cenderung tidak lagi mengindahkan etika dan sopan santun sebagai elit semakin memburuk. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan mengancam saling 'membuka kartu' masing-masing demi menjatuhkan lawan.
Perdebatan itu terjadi bermula ketika Prabowo Subianto calon presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra bertakziah ke rumah duka di Cikeas saat Ibu Hj. Kristiani Herrawati Yudhoyono wafat karena penyakit kanker darah yang ia derita.
Saat Prabowo Subianto kemudian diminta menyampaikan kesan-kesan baik dari mendiang istri Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), lantas Prabowo Subianto menceritakan apa yang membuat ia sangat terkesan, yaitu soal pilihan politik Ibu Ani saat pilpres 2014 dan 2019.
Kemudian bagaikan topan badai yang datang tiba-tiba, atas pidato singkat itu Prabowo Subianto diserang dengan tuduhan telah membicarakan sesuatu yang tidak etis di hari duka Ibu Ani Yudhoyono. Padahal Prabowo Subianto sebelumnya diminta menyampaikan hal itu.
Atas serangan mendadak tersebut tentu saja 'pasukan' Partai Gerindra membela ketua umum mereka. Lantas Wasekjen Gerindra Andre Rosiade mengatakan di Twitter bahwa ucapan Prabowo mengenai pilihan politik Ani Yudhoyono merupakan arahan langsung dari SBY. Andre seperti "membuka kartu" SBY.
Tak lama berselang cuitan Andre Rosiade rupanya mendapatkan bantahan dari kubu Demokrat. Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Demokrat Ferdinand Hutahaean mengancam akan membuka percakapan yang sesungguhnya antara Prabowo dan SBY.
Sampai disitu pertengkaran kedua politisi tersebut terus berlanjut. Walaupun hal itu lumrah terjadi dalam dunia politik namun banyak kalangan menilai perdebatan mereka tidak subtansial dan terlihat kekanak-kanakan karena saling buka aib dan ingin menunjukkan "kemaluan" lawan debat mereka kepada publik. Padahal rakyat tidak membutuhkan itu dari mereka.
Pengajar politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, "Gerindra dan Demokrat bukan adu gagasan itu, bukan adu argumen, tapi saling menyerang, saling menjelekkan. Adu gagasan itu bukan saling menjelekkan dan menjatuhkan, tapi ada dialektika intelektual. Ada etika yang harus dijaga. Dan ada objektivitas yang diangkat," kata Ujang.
Bila kita mau perhatikan dengan seksama, sebenarnya apa yang dikatakan oleh Prabowo Subianto tidak salah sebab hal itu adalah fakta dan memang begitu adanya. Namun ntah mengapa SBY justru tidak rela jika hal itu diungkapkan ke publik. Di sini lalu muncul berbagai spekulasi, ada apa dengan SBY?
Terus terang saja dalam konteks Ibu Ani dan SBY sebagai keluarga politik serta bila dikaitkan dengan testimoni Prabowo Subianto tersebut sebetulnya sangatlah baik apalagi sesama partai koalisi. Ucapan Prabowo tidak akan membuat harkat dan martabat Ibu Ani jatuh. Tetapi karena ini berkenaan dengan keluarga SBY maka hak prerogatif beliaulah untuk menanggapi seperti apa.
Perbandingan begini. Sekiranya ucapan yang sama dan diucapkan oleh Presiden Jokowi pada saat yang sama pula sebagaimana halnya Prabowo, kira-kira bagaimana respon Pak SBY? Mungkinkah Pak SBY juga akan meluruskan testimoni Jokowi? Saya rasa tidak. Kalau begitu ini bukan berkaitan dengan materinya tetapi subjeknya.
Kembali ke soal buka kartu. Langkah Demokrat ingin membuka kartu dengan mengatakan pembicaraan seutuhnya kedua tokoh tersebut tentu sangat dinantikan oleh publik di Indonesia. Karena biar semuanya terang benderang. Sekaligus menghindari fitnah dan gosip-gosip politik yang tidak ada gunanya bagi rakyat.
Namun tampaknya ancaman Ferdinand Hutahaean untuk 'buka kartu' hanya gertak sambal belaka. Saya menyakini demikian, sebab tujuan sesungguhnya dari kegaduhan Demokrat ini adalah mereka sedang mencoba meningkatkan daya tawar politik. Namun kita kita tahu nilai tawar politik dihadapan siapa? Apakah koalisi penguasa ataukah koalisi oposisi? Biarlah waktu yang menjawabnya. (*)