Disebut manifestasi ibadah lanjutan dari berpuasa, karena hari raya idul fitri merupakan satu paket ibadah yang didalamnya memuat pengagungan nama Allah Subhanahu Wata'aala atas pengampunan yang telah diberikan Nya kepada orang-orang mukmin yang telah berhasil ketika berpuasa.
Namun berbeda halnya dengan ibadah puasa, hari raya idul fitri diisi dengan hal-hal yang bersifat kegembiraan, kebahagiaan, dan suasana saling berkasih sayang antara setiap muslim. Pada hari raya setiap muslim menampakkan sikap saling memaafkan atas segala kesalahan, dan menguatkan silaturrahmi.
Sebagai sebuah tradisi yang bernafaskan Islam, masyarakat Indonesia terlihat sangat kental dengan nuansa saling bertamu dan berkunjung ke rumah-rumah saudara, kerabat, dan tetangga bahkan teman dan kenalan jauh sekalipun. Mereka mendatangi setiap rumah dengan tujuan utama untuk saling bertemu dan bermaaf-maafan.
Menurut nilai-nilai yang dianut oleh umat muslim di Indonesia, mendapatkan pintu maaf dari setiap muslim yang lain akan sangat bernilai untuk menambah kualitas ketaqwaan mereka kepada Allah Subhanahu Wata'aala setelah ibadah puasa dilaksanakan.
Begitu pula dalam konteks sosial. Suasana Idul fitri dapat memperkuat nilai-nilai sosial yang sudah terbangun. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari setiap orang pasti membutuhkan orang lain dan karenanya hubungan sosial harus terus dirawat dan dipelihara agar kehidupan yang harmonis dapat terus berlangsung.
Apalagi sejak berlangsungnya pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu, akibat berbeda pilihan telah menggiring masyarakat Aceh pada perpecahan. Bahkan ada kasus yang membuat hubungan suami istri jadi rusak gegara beda pilihan politik.
Dalam negara demokrasi sejatinya perbedaan pilihan politik adalah hal yang lumrah. Demokrasi yang sudah mengalami pendewasaan tidak lagi berbicara pada aspek perbedaan atau pun kesamaan. Namun orientasinya sudah menuju kearah apa dampak positif yang mereka bisa peroleh dari demokrasi itu sendiri.
Menurut Rizki Bachtiar dalam tulisannya yang dipublikasi oleh detikcom (5/3/2018) dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy.
Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik.
Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus terabaikan.
Akibatnya pemaknaan demokrasi pada tingkat bawah (grass root) justru menimbulkan masalah baru dalam hubungan sosial. Masyarakat menganggap berbeda pilihan merupakan lawan politik yang harus dijegal dan dihadang. Padahal demokrasi dan pemilu hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Apa tujuannya? Yaitu menghadirkan keadilan, kemakmuran, dan kesejehateraan bangsa.
Sehingga dalam praktik berdemokrasi timbul gesekan-gesekan yang tidak perlu. Antar kelompok masyarakat pendukung saling "bermusuhan", antar warga sudah saling menjauh satu sama lain bahkan tidak ada lagi hubungan hangat diantara mereka. Fenomena ini juga terjadi dalam sebuah keluarga yang terlanjur beda pilihan politik.
Maka momentum hari raya idul fitri atau lebaran marilah kita rajut kembali jaring-jaring kasih sayang yang terkoyak. Kita mulai lagi dari awal untuk menata hubungan sosial kita sebagaimana diajarkan oleh Rasullullah Sallahu 'alaihi wasallam. Lupakan segala perdebatan dan perbedaan pilihan politik yang pernah ada. Lagi pula masa pileg dan pilpres sudah berlalu.
Kita harus memaknai Idul fitri ini benar-benar menjadi hari kemenangan bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Ciri dari orang-orang bertaqwa tentu saja mereka yang baik hubungannya dengan Allah Subhanahu Wata'aala (hablumminallah) dan harmonis pula hubungan mereka dengan sesama manusia (hablumminannas).
Hari raya Idul Fitri merupakan momentum untuk menyempurnakan hubungan vertikal dengan Allah (hablum minallah) dan secara horizontal membangun hubungan sosial yang baik (hablum minnannas). Sehingga terbentuklah sebuah hubungan yang seimbang baik ke atas maupun ke samping.
Sehingga hadirnya lebaran harus dapat meningkatkan ketaatan kita kepada Allah dan RasulNya. Ibnu Rajab pernah berkata, "(kebahagiaan) Ied, bukanlah untuk siapa saja yang memakai baju baru. Tapi (kebahagiaan) ied itu diperuntukkan bagi siapa saja yang bertambah ketaatannya."
Dan sebaliknya merugilah bagi kita sekiranya di bulan yang mulia ini kita tidak memperoleh apapun kebaikan. Bahkan kita semakin menyombongkan diri dari perintah Allah dan Rasullullah Sallahu 'alaihi wasallam.
Maka sekarang marilah kita segera menuju pada pengampunan Allah. Perbedaan pilihan politik tidak seharusnya membawa kita pada perpecahan sebagai umat Islam dan masyarakat Indonesia. Sebab jika itu tidak dapat kita kendalikan, maka musuh kitalah yang yang akan mengambil keuntungan, siapa musuh kita? Itulah iblis laknatullah.
Semoga dengan Idul fitri kali ini kita semua benar-benar dapat kembali kepada fitrah kita sebagai hamba Allah yang dilahirkan tanpa dosa. Amin ya Rabbal'alamin. (*)