Kutipan di atas menggambarkan politisi munafik yang kini banyak bergentayangan di Indonesia. Jika bahasa kerennya mereka bergelar "politisi ulung dan pandai bersilat lidah." Menutupi kebenaran, menukarnya dengan perkataan dusta itulah siasatnya.
Misalnya pura-pura lugu padahal licik, pura-pura peduli padahal bodo amat, atau sifat-sifat yang berbeda 100 derajat di depan maupun di belakang. Bagai Bunglon yang pindah tempat beda sifat.
Di sekitar kita kini banyak berseleweran para politisi munafik dengan gaya politik muka dua dan kemunafikan. Sehingga Runciman berpendapat bahwa kita harus menerima kemunafikan sebagai fakta politik. Hipotesa ini sulit ditolak.
Kita hanya perlu mencoba untuk membedakan antara kemunafikan berbahaya dan tidak berbahaya dan perlu khawatir hanya sekitar jenis paling merusaknya. Sebab tidak mungkin menghilangkan sama sekali jenis politisi munafik di era demokrasi. Bahkan mungkin kita harus berhenti berusaha menghilangkan segala bentuk kemunafikan.
Dalam politik negara, komitmen kepada rakyat adalah hal utama. Memainkan politik muka dua sejatinya sama saja dengan bentuk kemunafikan politik rakyat. Kemunafikan selalu menumbuhkan sikap politik yang plin-plan dan mencla-mencle. Bahkan, dalam bertindak pun tidak segan-segan menempuh penghalalan segala cara untuk semata-mata kepentingan diri dan kelompoknya.
Pada taraf ini kemunafikan politik mulai memunculkan bahayanya. Bagaimana tidak? Politisi dalam sistem demokrasi merupakan ujung tombak dalam membela kepentingan rakyat. Pada mereka lah rakyat berharap dan menitipkan aspirasi (amanah) mereka untuk diperjuangkan. Namun bagaimana jadinya bila amanah itu dikhianati?
Permainan politik semacam itu adalah kejam. Kekejaman politik bermuka dua adalah menampilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan untuk menumbuhkan harapan dan citra positif di mata rakyat saja. Sedangkan subtansinya adalah demi keuntungan pribadi dan kelompoknya belaka.
Adagium politik yang menyatakan "tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi." rasanya benar-benar dipraktikkan oleh politisi munafik manapun. Mereka hanya berorientasi pada berburu kekuasaan dan jabatan semata. Sayangnya mereka tidak memiliki rasa malu kepada rakyat.
David Runciman, dalam bukunya Political Hypocricy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010) menjelaskan, politik muka dua merupakan cermin kemunafikan politisi. Di atas panggung politik, para politisi berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya.
Politisi munafik seakan memiliki keahlian lain dalam menampilkan dirinya di depan setiap orang. Kepiawaian mereka bertutur kata-kata manis dan bertopengkan seribu wajah tidak diragukan. Mereka sering menampilkan topeng wajah kebaikan yang mendatangkan tepuk tangan meriah dan kekaguman. Padahal sesungguhnya itu hanyalah sebuah tipuan.
Sifat kemunafikan bukan hanya sedusta-dusta perilaku, yang ancaman secara etika tidak dapat dibenarkan sama sekali. Namun dalam konteks demokrasi pun, kemunafikan dapat menjadi "musuh" dalam selimut yang siap menghunus pedangnya dari sisi belakang kapan saja dan menghabisi kawan sendiri mana kala tawaran dari musuh lebih tinggi dan bernilai secara materi.
Itu juga merupakan bahaya lainnya dari politik kemunafikan yang harus diwaspadai oleh rakyat bahkan sesama politisi. Korbannya bisa meluas dan merusak sisi paling dalam sendi-sendi demokrasi. Yang pada akhirnya akan menghancurkan negara Indonesia tercinta.
Sifat kemunafikan dapat terjangkit pada siapa saja dari politisi itu. Tidak ada tebang pilih apakah dia politisi junior atau senior, yang membedakan hanya frekuensi dan intensitas kemunafikan saja pada setiap diri mereka. Bahkan secara "berjamaah" pun kemunafikan itu hampir terpatri pada platform sebuah partai politik.
Hari-hari ini fenomena politik kemunafikan terlihat jelas paska Pileg dan Pilpres bahkan mungkin gejala itu mulai terindikasi sebelum masa pencoblosan dilakukan. Ciri utama politik kemunafikan adalah mereka bermuka dua, tidak istiqamah (konsisten) pada pilihan awal, dan hanya mementingkan diri sendiri.
Politisi bermuka dua atau munafik biasanya senang mengadu domba. Bila ia bertemu dengan kawan maka mereka akan katakan kami setia dan komitmen dengan kesepakatan. Namun bila berjumpa dengan lawan politiknya, maka ia akan katakan siap membantu kapan saja, yang penting kita bisa bergabung. Jadi kata-kata mereka tidak dapat kita pegang dan percaya.
Kemunafikan memang sangat rendah dan kotor. Dalam pandangan agama Islam pun sifat ini diganjar dengan neraka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjamin bahwa kaum munafik tempatnya adalah neraka. Tidak ada pilihan lain.
"Barang siapa yang mempunyai dua muka di dunia, maka pada Hari Kiamat kelak dia akan diberi dua mulut dari api neraka." (HR Abu Dawud dan Ad-Darimi dari Ammar bin Yasir). Dalam hadist lain dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain."
Meskipun tidak semua politisi Indonesia memiliki karakter munafik dalam berpolitik tetapi sangat sulit rasanya menemukan seorang politisi yang benar-benar otentik dan bersih dari sifat munafik tersebut.
Lantas bagaimana jalan keluarnya? Karena sifat munafik ini sangat abu-abu dan kondisional sifatnya yang didasari pada kepentingan pribadi dan materi. Maka cara yang paling tepat menghadapi politisi munafik adalah dengan mengedepankan sikap waspada dan tidak memberikan kepercayaan kepada mereka.
Berhati-hati dalam mengangkat pemimpin yang memiliki sifat dan karakter munafik justru akan menyelamatkan mereka dari api neraka dan azab Allah serta negara ini. Rakyat harus mempunyai strategi tarik ulur untuk melawan perilaku pemimpin munafik.
Apalagi sekarang banyak orang yang memiliki kebiasaan suka dilihat, senang dipuji, tapi enggan untuk di kritik. Orang-orang seperti ini hanya mau menerima kelompok yang sepaham saja sedang para pengkritik akan dibabat habis. Oleh karena itu tidak perlu terlalu menampakkan diri sebab akan berisiko lain.
Semoga dengan cara seperti itu akan memberikan efek positif terhadap semakin memudarnya politik bermuka dua yang dimainkan oleh politisi munafik. Jika kemudian rakyat semakin sadar, cerdas, dan kritis maka jumlah politisi munafik di Indonesia akan semakin berkurang. (*)