Padahal pemilu serentak pertama kali berlangsung di Indonesia ini menyelenggarakan dua jenis pemilu sekaligus. Yaitu pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Namun mengapa perhatian publik justru sangat kurang terhadap pileg dibandingkan dengan pilpres?
Atensi masyarakat lebih besar tercurahkan pada calon presiden dan calon wakil presiden yang saat ini sedang berada pada tahapan debat capres. Dan seyogyanya perhatian yang sama besar juga ditujukan pada pileg, dengan ikut memantau dan mengawasi partai politik dalam mengusung calon anggota legislatif yang mereka tawarkan ke publik.
Terlebih diduga pada pileg 2019 terdapat pula ratusan caleg petahana yang menurut beberapa pendapat tidak layak dipilih kembali karena berbagai alasan. Caleg petahana tersebut maju melalui berbagai partai politik yang lolos parlemen treshold. Bahkan tidak sedikit pula caleg yang "loncat pagar" ke partai lain atau lebih dikenal dengan politisi kutu loncat.
Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut ada 529 calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat petahana yang kembali maju dalam Pemilihan Legislatif 2019 mendatang. Namun, dalam penilaian Formappi, dari 529 caleg petahana, hampir seluruhnya memiliki performa buruk kala mengemban tugasnya sebagai anggota dewan.
Jumlah caleg petahana tersebut pada umumnya menurut penilaian Formappi tergolong berkinerja buruk. Mereka gagal menunjukkan performa yang memuaskan harapan publik termasuk konstituen di dapil mereka sendiri. Rata-rata caleg petahana itu tidak berupaya memenuhi janji-janji politiknya saat berkampanye pada pileg periode sebelumnya.
Selama empat tahun ini wakil partai politik yang duduk di parlemen itu tidak layak diapresiasi, baik karena kinerja maupun sikap mereka yang tidak patut dan pantas. Perilaku tidak patut dan tidak pantas yang sering diperlihatkan oleh caleg petahana diantaranya suka berjudi, terlibat narkoba, dan kurang peka terhadap rakyat yang diwakilinya bahkan mereka lebih mementingkan partainya daripada nasib masyarakat.
Buruknya kinerja caleg petahana dapat pula dilihat pada fungsinya sebagai anggota legislatif. Apabila kita merujuk pada Undang-undang yang ada, fungsi legislatif sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan rakyat yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan.
Fungsi legislasi adalah kekuasaan dalam bidang membuat Undang-undang. Lembaga legislatif bersama pemerintah diberikan wewenang berdasarkan kontitusi untuk membuat Undang-undang yang dibutuhkan oleh lembaga tinggi negara lainnya dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Sehingga produktivitas caleg petahana salah satunya dapat diukur melalui kinerja berapa jumlah Undang-undang (UU) yang telah berhasil dibuat selama mereka di lembaga tersebut. Mulai dari berapa jumlah rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam program lagislasi nasional dan disahkan menjadi UU hingga inisiasi melahirkan RUU.
Parameter lainnya terkait fungsi legislatif yang dapat dijadikan acuan bagi masyarakat dalam membuat keputusan memilih ia kembali atau mengabaikannya, adalah terkait wewenang mereka dalam pengawasan. Fungsi pengawasan ini sangat penting artinya bagi kekuasaan legislatif. Melalui pengawasanlah caleg petahana dapat mengontrol kerja-kerja pemerintah agar tidak terjadi penyimpangan.
Bukti caleg petahana berkinerja baik pula dapat terlihat pada baik atau tidak baiknya kinerja pihak yang diawasinya, yakni pelaksana pembangunan. Apabila kinerja pemerintah baik, maka didalamnya ada peran caleg petahana dalam melakukan tugas pengawasan. Daya kontrol yang bagus akan melahirkan kinerja yang baik.
Namun bagaimana jika dalam banyak kasus, justru caleg petahana menjadi bagian dari masalah dalam penyimpangan. Misalnya bersekongkol dengan eksekutif dan dengan sengaja merencanakan perbuatan memperkaya diri dan kelompoknya dengan cara melakukan mark up anggaran pembangunan.
Kasus tersebut beberapa kali pernah terjadi di gedung parlemen Senayan, dan beruntung perbuatan jahat mereka terendus oleh pihak penegak hukum terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagitu pula di DPRD Provinsi, dan Kab/kota, banyak anggota legislatif yang terlibat dalam jual beli proyek dan markup anggaran bermain mata dengan eksekutif.
Permainan kotor "selingkuhan" anggaran dan saling menutupi kejahatan antara legislatif dan eksekutif tentu saja merugikan masyarakat. Tidak ada lagi transparansi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi menjadikan negara ini hancur ditangan mereka. Yang jikalau diteruskan, maka caleg petahanalah pihak pertama yang wajib kita mintai tanggung jawabnya.
Oleh karena itu sebaiknya memang kita tidak perlu lagi memberikan kesempatan kedua bagi caleg petahana yang memiliki riwayat kinerja buruk. Cara yang paling efektif untuk memberikan efek kepada mereka adalah dengan tidak memilih kembali pada pileg 2019 pada bulan April nanti.
Sebaliknya, menolak caleg petahana yang tidak layak kita pilih lagi, berarti posisi mereka digantikan oleh caleg-caleg baru yang mungkin minim pengalaman. Hal ini juga masalah dalam kepemimpinan publik. Karena itu masyarakat juga harus menyeleksi siapa diantara mereka yang memiliki record bagus dan cocok.
Persoalan kapasitas, pengalaman, dan sikap caleg wajah baru tentu saja harus lebih baik dari caleg petahana. Karena itu jangan sampai upaya menolak caleg petahana berhasil dilakukan namun justru kemudian melahirkan anggota legislatif baru yang tidak memliki kemampuan. Ini juga masalah, begitulah semoga apapun yang terjadi tidak sampai membuat negeri ini semakin menuju pada kegagalan. (*)