Sebagai negara hukum, pemerintah dalam melaksanakan seluruh amanat rakyat atau mandatori haruslah berpedoman pada aturan hukum yang ada. Baik Undang-undang yang lebih tinggi hingga aturan hukum yang level lebih rendah sekalipun. Mulai dari kegiatan penyelenggaraan negara hingga penataan kehidupan sosial kemasyarakatan haruslah sejalan dengan hukum.
Pasal  1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan  Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa "Negara Indonesia negara hukum". Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.
Hukum bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh warga negaranya tanpa memandang secara subjektif berdasarkan suku, agama, ras, dan budaya. Tetapi hukum bertindak sebagai pelindung dan memberikan jaminan akan kebebasan bagi setiap warganya tersebut untuk memperoleh hak-hak mereka sebagai manusia dan rakyat Indonesia.
Melalui penegakan supremasi hukum yang benar, seimbang, dan jujur. Maka akan tercipta suasana damai dan kondusif ditengah-tengah masyarakat. Sehingga negara dapat menghadirkan kesejahateraan umum dan rasa keadilan sebagai syarat menuju kehidupan yang bahagia lahir dan batin.
Untuk mencapai visi tersebut maka pemerintah terutama kekuasaan dibidang hukum harus menempatkan hukum itu sendiri sebagai kekuasan tertinggi. Menjamin perlakuan yang sama dalam penegakan hukum adalah bentuk pengakuan hukum sebagai panglima tertinggi di negeri ini, sebagaimana prinsip sama didepan hukum yang selama ini kita anut.
Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law). Konsep ini mengajarkan bahwa tidak boleh ada warga negara yang merasa kebal hukum. Apalagi jika menerapkan prinsip diskriminasi penegakan supremasi hukum.
Diskriminasi penegakan hukum terlihat pada penerapan hukum yang bersifat tebang pilih. Pada peristiwa hukum yang sama namun mendapatkan perlakuan hukum yang berbeda dari para penegak hukum. Bahkan yang satu ditangkap, ditahan, dan diajukan ke muka pengadilan namun yang lainnya bebas berkeliaran bahkan mendapatkan perlakuan istimewa.
Penegakan hukum yang seperti ini mencerminkan moralitas penegak hukum mengalami ketimpangan dan kecacatan. Mereka dengan sengaja mengabaikan prinsip penegakan hukum yang bersifat equality before the law atau persamaan dalam hukum.
Penyebabnya bisa terjadi karena berbagai faktor baik internal ataupun eksternal. Pihak kepolisian bisa saja karena ada tekanan dari pihak tertentu untuk menangkap atau melepas pelaku kejahatan. Apalagi jika polisi tidak dapat menjaga posisi mereka sebagai aparat penegak hukum terdepan dalam tataran hukum di Indonesia yang harus mengedepankan kesetaraan, transparansi, dan kepercayaan masyarakat.
Jika polisi terkesan bekerja sesuai dengan pesanan pihak tertentu ataupun sesuai kepentingan, maka akan berakibat hilangnya kepercayaan publik terhadap langkah-langkah penegakan hukum di Indonesia. Lebih jauh bahkan masyarakat merasa bahwa polisi bertindak tidak adil dan menerapkan standar ganda dalam tugasnya.
Oleh sebab itu kita sangat mengharapkan agar polisi dapat bekerja secara profesional, mandiri, dan bebas dari kepentingan politik kepartaian dan kepentingan penguasa. Namun polisi bisa berdiri diatas semua golongan dan berlaku sama dalam sikap serta perilakunya.
Bukan polisi saja yang harus menjunjung tinggi prinsip kesamaan didepan hukum namun juga jaksa, hakim dan KPK haruslah melakukan fungsi penegakan hukum secara adil dan bebas kepentingan politik kelompok manapun. Jangan karena ada iming-iming, lalu aparat penegak hukum menjadikan hukum sebagai alat bergaining.
Belakangan ini kerja aparat kepolisian memang cukup berat. Mereka dituntut oleh kewajiban yang diembannya untuk menciptakan suasana kondusif dan nyaman bagi masyarakat. Dengan suasana politik yang cenderung hangat dan sedikit keras. Polisi agar dapat berhati-hati dalam mengambil tindakan hukum agar tidak terkontaminasi oleh pengaruh politik kelompok tertentu dan dimanfaatkan untuk memukul lawan politik mereka.
Penegakan hukum dengan tebang pilih atau memiliki standar ganda hanya akan menciptakan kegaduhan. Misalnya kegaduhan pemberantasan korupsi, hoaks, dan lain sebagainya. Terlebih pemberantasan hoax yang digencar dilakukan sekarang ini, polisi juga harus menekankan kepada penegakan hukum yang seimbang terutama polisi agar membasmi siapapun tanpa terkecuali. Karena persepsi yang muncul ditengah masyarakat saat ini adalah penyebar hoax merupakan pihak kontra pemerintah.
Begitulah aspirasi yang berkembang dan hal yang diinginkan oleh masyarakat. Kita tidak bicara tentang persepsi namun polisi dan para penegak hukum lainnya harus mengerti dan memahami informasi yang berkembang. Bagaimanapun publik masih belum begitu puas dengan kinerja polisi dan aparat penegak hukum terutama dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan kelompok-kelompok tertentu.(*)