Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Dari Screening and Discussion Di Balik Frekuensi; In Media We Trust (?)

4 April 2013   14:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:44 167 0
Pada Pasal 33 (ayat 3) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai mahasiswa fakultas hukum, saya sudah akrab dengan berbagai pasal dan pasal di atas salah satunya. Tapi baru saat menonton film Di Balik Frekuensi, pemahaman saya mengenai pasal tersebut kian meluas. Selasa, 2 April 2013 bertempat di The Sanur Space kerja sama dengan Pers Mahasiswa Universitas Udayana Akademikamengadakan screeningand discussion film dokumenter Di Balik Frekuensi.Di Balik Frekuensi adalah sebuah film yang merekam dua kisah nyata di balik media saat ini. Khususnya media mainstream dengan sarana frekuensi di udara, yaitu televisi. Film ini menceritakan kisah Luviana, wartawan Metro TV yang di PHK-kan sepihak karena memperjuangankan kultur anti demokrasi yang telah tertanam. Diantaranya pekerja dilarang untuk membentuk serikat pekerja dan kesejahteraan yang kerap dipertanyakan. Sementara kisah lainnya adalah Hari Suwandi dan Harto Wiyonoyang merupakan korban dari lumpur Lapindo. Namun, fakta dapat dengan mudah diputarbalikan di media ketika ada pihak yang memiliki uang dan merasa kepentingannya di usik. Konglomerasi media di Indonesia sudah dimulai sejak runtuhnya rezim Soeharto. Reformasi, sama seperti hal atau mahluk lain yang juga memiliki kekurangan. Ribuan media, baik nasional maupun lokal yang ada di Indonesia justru dimiliki oleh segelintir orang saja. Celakanya, beberapa pemilik modal tersebut kini terjun ke dunia politik. Redaksi tidak ubahnya menjadi humas partai politik, dan di aduk-aduk oleh mereka. siapa yang pantas diberitakan, siapa yang tidak, dan kalau diberitakan dengan framing yang bagaimana. Ini merupakan satu kekurangan reformasi yang harus kita cermati dan waspadai sebagai publik. Karena frekuensi yang berada di udara sejatinya digunakan sebesar besarnya untuk kepentingan publik. Dan reformasi serta demokrasi menuntut kita menjadi publik yang lebih cerdas. Salah satu scene dalam film dokumenter Di Balik Frekuensi. Suasana diskusi bersama sutradara, produser dan tokoh film. Ucu Agustin, sebagai sutradara saat sesi diskusi memaparkan baginya cerita yang baik adalah multilayer. “Misalnya, melalui kisah Luviana kita bisa melihat berbagai hal selain permasalahan newsroom juga pentingnya serikat pekerja. Atau melalui Hari Suwandi kita bisa jeli melihat agenda, betapa mudahnya seorang korban diputarbalik menjadi pelaku.” Pemutaran juga dihadiri oleh Ursula Tumiwa selaku produser dan Luviana salah satu tokoh di dalam film. Di akhir diskusi, Luviana berpesan jangan pernah patah menjadi wartawan, kalau belum masuk kita sudah takut bagaimana kita mau berani. Justru masuklah beramai-ramai sebagai orang yang ingin membenahi. Pada epilog film ditampilkan sarjana sarjana baru yang ingin menjadi wartawan. Masih dengan idealisme, mereka berkata in media we trust. Atau yang terjadi saat ini sebenarnya in media we trust? Semoga lebih banyak muncul Luviana Luviana berikutnya dengan perjuangan mereka agar tanpa ragu publik berkata, in media we trust. Karena tanggung jawab utama media adalah berpihak pada publik. 4, April 2013 Salam Media Yang Independen :) foto sumber: The Sanur Space

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun