Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

And The Mountain Echoed, yang Tersembunyi dari Khaled Hosseini

16 September 2013   21:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 485 0
Kalau kamu miskin, maka penderitaan adalah mata uangmu. Satu kalimat yang kemudian seperti menjadi inti dari 516 halaman novel terbaru dari penulis idola saya Khaled Hosseini. Sejak buku pertamanya terbit ( The Kite Runner ), penulis kelahiran Kabul, 4 Maret 1965 itu sudah mencuri perhatian dunia, terjual lebih dari 10 juta eksemplar dan menjadi best seller selama 2 minggu  di Amerika. Tetapi sayang sekali, ketika novel itu di filmkan maka kekuatan Khaled Hosseini hilang. Setidaknya menurut saya, kata-kata selalu lebih kuat untuk menggambarkan sesuatu. Saya pribadi sangat kecewa dan tidak berharap  agar novel selanjutnya difilmkan lagi.

And The Mountain Echoed ini adalah buku ketiga Khaled setelah A Thousand Splendid Sun. Seperti buku pertamanya, cerita dibingkai oleh kondisi Afganistan dari jatuhnya monarki hingga rezim Taliban. Buku ini menceritakan perjalanan hidup Abdullah dan Pari. Dua bersaudara yang terlahir di sebuah keluarga miskin di kampung Shadbagh yang jika musim dingin maka banyak bayi-bayi yang meninggal kedinginan. Adik tiri mereka Omar, meninggal dalam pelukan Parwana (Ibunya ) di musim dingin lalu. Dan ketika Parwana hamil lagi maka ayah mereka terpaksa menjual Pari  untuk membeli selimut agar bayi yang akan lahir bisa selamat di musim dingin yang akan datang. Di sinilah kekuatan Khaled menjalin sebuah cerita, bagaimana ia menggambarkan kedekatan Abdullah dan Pari dan lalu kedekatan itu harus diakhiri karena kemiskinan mereka. Setiap kata-kata yang ditulisnya seperti sebuah jarum yang menusuk kulit, tajam-sakit-dan mengejutkan.

Simak saja bagaimana ia mengisahkan si kembar Masooma dan Parwana ( Ibu tiri Abdullah dan Pari yang dinikahi ayah mereka setelah sang istri meninggal ketika melahirkan Pari ). Si Parwana yang meskipun terlahir kembar tetapi wajahnya bak bumi dan langit dengan Masooma. Si Parwana yang jelek, yang selalu tersingkir dan tidak diperhitungkan dan menjadi lebih merana ketika ia mencintai lelaki yang sama. Tentu saja lelaki itu memilih Masooma, dan Parwana, seperti nasib gadis-gadis lain yang kebetulan berwajah alakadarnya, maka menjadi alas tikar atas kebahagiaan saudara kembarnya. Tetapi lagi-lagi Khaled memberikan kejutan getir, Si Masooma mengalami kecelakaan dan lumpuh. Hidupnya menjadi benalu bagi Parwana. Dan demi kebahagiaan sang adik, Masooma meminta Parwana untuk membuangnya di gurun, malam hari, di kedinginan yang menyayat kulit, dikesunyian gurun yang garang, sambil menangis tanpa suara Parwana meninggalkan saudara kembarnya yang lumpuh. Khaled berhasil mengganggu hati dan otak saya, sambil terus membaca saya tak pernah bisa melupakan kisah itu. Pedih, bukan ?

Belum lagi mengenai kisah Tuan Wahdati dan Paman Nabi ( kakak Parwana ). Khaled memberikan kejutan yang benar-benar di luar dugaan. Sesuatu yang sangat tabu di Afganistan, diangkat olehnya dengan bahasa yang sangat halus. Kisah percintaan dua laki-laki tanpa didasari nafsu sex. Sangat berkebalikan dengan buku pertamanya, ketika ia menggambarkan bagaimana anak pembantunya di sodomi oleh anak-anak nakal di sudut pasar. Dua buku, dan dua cerita tentang hal yang sama. Apakah ini sesuatu yang tersembunyi dari Khaled Hosseini ? Tak ada yang tahu.Bukankah para penulis novel selalu ingin menyamarkan dirinya dalam buku-buku yang ia tulis ?

Secara keseluruhan buku ini tetap mencuri hati saya. Tetapi ada beberapa bagian yang terasa sangat bertele-tele. Di awal cerita Khaled Hosseini sudah mengikat pembaca dengan tragisnya kisah perpisahan Abdullah dan Pari. Saya seperti tak sabar ingin membaca kelanjutan kisah mereka. Tetapi pertemuan mereka terasa jadi berkurang gregetnya karena begitu banyak tokoh yang ia angkat, berjejal-jejal dan menyumbangkan banyak cerita yang melelahkan. Hingga , pembaca sudah kelelahan untuk menikmati klimak yang disuguhkan.

Jeddah, 16 September 2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun