Sumber: okezone.tv Besarnya suatu institusi atau organisasi bergantung pada soliditas orang - orang di dalamnya. Begitu juga dengan sebuah partai politik. Parpol akan besar jika hubungan antara pengurus dan kader itu baik. Kuatnya hubungan antara para pengurus dan para kader ditentukan oleh faktok kepemimpinan ketua atau elit partai. Pemimpin itu sejatiya dapat menyatukan semua perbedaan yang ada dan menjadikannya suatu kekuatan untuk membesarkan parpol. Faktor kepemimpinan yang kuat dapat kita lihat di PDIP dan Gerindra. Sebagai ketua umum, Megawati dan Prabowo dapat mengkosolidasi semua aspirasi kader. Mereka juga pandai menumbuhkan loyalitas para kader. Hal itu tidak lepas dari cara mereka menghargai kinerja setiap kadernya. Inilah yang tidak dapat dilakukan oleh partai kelas bawah seperti Hanura.
"Hary Tanoe itu bukan siapa-siapa. Dia hanya kader biasa yang baru masuk," kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Hanura, Kristiawanto saat menanggapi pertanyaan media seputar mundurnya Hary Tanoesoedibdjo dari Hanura. Beginilih cara pengurus - pengurus Hanura memperlakukan sesamanya. Tidak ada penghargaan sedikitipun. Padahal HT bisa dikatakan sebagai ruh yang membuat partai tersebut dapat berkembang dan bertahan. Tidak mungkin pengurus sekelas Kristiawanto berani begitu tanpa mencontoh sikap atasanya. "HT itu kan Dewan Pertimbangan bukan pengurus inti sehingga tidak perlu di ajak," kata Wiranto, Ketua Umum Hanura saat ditanyai media perihal ketidakhadiran HT ke kediamannya Megawati. Wiranto rupanya sengaja tidak melibatkan HT sedikitpun dalam memutuskan arah koalisi. Jadi tidak heran jika seorang "anak ingusan" seperti Kristiawanto bersikap tidak etis demikian karena jelas dirinya mencontoh Wiranto. Sebagai seorang pemimpin partai, mantan Panglima ABRI itu sama sekali tidak memberikan contoh yang baik kepada bawahannya. Mungkin kita masih ingat bagaimana dulu ketika Wiranto dan sejumlah petinggi Hanura menyambut kedatangan HT. Partai yang seperti istilah "hidup segan mati tak mau" itu seperti mendapatkan darah segar. HT begitu disanjung dan disebut - sebut sebagai juru selamat partai yang terancam gagal ke DPR tersebut. "HT adalah darah segar bagi Hanura. HT membawa semangat baru dan perubahan yang signifikan di Hanura," kata Wiranto kala itu. Namun rupanya Wiranto sangat pandai "bermuka dua". Di media dan dihadapan HT, kata - katanya begitu santun. Namun di belakang, Wiranto menyiapkan strategi "pecah - belah" di partainya sendiri. Kristiawanto dan Yuddy Chrisnandi digunakan sebagai pion untuk menghantam HT ketika tidak dibutuhkan lagi. Ketika Wiranto menguras habis daya dan modal politik HT, bos MNC tersebut pun dikeluarkan. Dengan demikian tidak heran jika Hanura jauh tertinggal dengan partai - partai seumurannya. Sosok kepemimpinan Wiranto sangat lemah. Wiranto bukanlah pemimpin yang kharismatik. Bukan tipe pemimpin yang layak dihormati karena tidak bisa menghargai kinerja kadernya. Ini merupakan ancaman bagi kelangsungan Hanura di kancah perpolitikan Indonesia. Kita lihat apakah Hanura mampu mempertahankan kursi DPR di Pemilu 2019.
KEMBALI KE ARTIKEL