Saya memulai tulisan ini setelah beberapa menit berdiam diri, bingung mau memulai dari mana. Kepala saya penuh dengan segala hal yang saya ingin tuliskan, tapi, entahlah, seperti ada sebuah sumbatan yang membuat saya sukar sekali untuk menulis. Rasa-rasanya seperti kepala dan hati saya sedang musuhan dan tidak konek. Seperti orang linglung yang mau berbicara tapi terlalu kikuk.
Ide besarnya satu: Saya mau menulis tentang menulis! Tapi kok susah ya? Apa karena frekuensi menulis yang semakin menurun belakangan ini? Apa karena saya lebih rajin menulis di Twitter daripada menulis sungguhan? Apa karena hati saya yang ciut karena belum tembus lomba menulis apapun semenjak menginjak bangku kuliah? Mungkin ya. Mungkin semuanya bercampur jadi satu.
Ok. Sulit. Percayalah bahwa saya sudah skip beberapa kali karena tidak tahu mau menulis apa. Namun, saya sudah bertekad untuk menyelesaikannya, sambil berkontemplasi, mengenang-ngenang, dan menjewer diri sendiri karena kealpaan saya di bidang tulis-menulis ini.
Baiklah saya akan mulai dengan pertanyaan?
1.Pernahkah anda merasa luar biasa bahagia karena menemukan sesuatu yang telah anda cari bertahun-tahun?
Saya pernah. Saat itu saya duduk di bangku SMP. Saat itu saya adalah orang yang sangat optimis bahwa saya diciptakan tanpa kebisaan apapun. Saya yakin sekali. Bayangkan saja, saya tidak bisa main musik atau menyanyi seperti ayah dan kakak saya. Menari pun badan saya kaku. Saya tidak punya mimpi atau tujuan untuk dikejar. Saya tidak mempunyai kecintaan akan apapun. Saya adalah selembar kertas putih yang terhuyung-huyung.
Semua berakhir saat saya bergabung dengan tim bahasa Indonesia di sekolah. Saya tidak mengharapkan apapun, kecuali sebuah tim yang santai, karena kedua tim lainnya yang tersedia hanyalah fisika dan biologi, dua bidang yang berpotensi membuat kepala saya panas dan mood saya kriting.
Kegiatan tim pun berjalan dengan kegiatan-kegiatan jurnalistik. Kami belajar membuat berita dan menulis. Sesuatu yang, entahlah, menyenangkan. Sebuah rasa suka kecil yang belum saya tahu mengapa berani-beraninya hinggap di diri saya. Seiring berjalannya waktu, guru saya menghancurkan keyakinan saya pada keberadaan diri saya sebagai manusia tanpa tujuan, cita-cita, dan kemampuan.
Anda tahu? Dia bilang saya bisa menulis. Saya bisa. Saya tidak tahu kata-kata tepatnya, pokoknya dua kata itu yang saya tangkap. Saya bisa. Saya bisa. Saya bisa. Apa iya saya bisa?
2.Apa Anda ingat bagaimana rasanya jatuh cinta untuk pertama kali?
Guru Pembina tim itu jelaslah adalah orang yang berjasa dan akan terus saya ingat sepanjang masa karena dia adalah orang yang pertama kali memberikan keyakinan bahwa saya mampu. Saya rasa dia adalah malaikat Tuhan yang mau menyampaikan pesan dari Tuhan bahwa Dia memberi saya sesuatu pada diri saya.
Saya tidak tahu apakah saya memang benar-benar bisa menulis. Sampai sekarang juga masih tidak tahu. Kenapa saya harus tahu? Mau tahu mengapa? Karena saya tahu, rasa kecil yang nyelonong masuk ke diri saya ternyata sudah menaburkan benih-benih kecintaan saya pada bidang penulisan ini.
Saya suka merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat utuh. Saya suka menyalurkan apa yang menjadi pikiran dan suara hati saya melalui kata-kata. Saya suka ketika ada orang yang rela memberikan waktunya sekejap untuk membaca apa yang saya suarakan melalui tulisan.
Entahlah, rasa-rasanya seperti menemukan diri Anda yang sebenarnya. Menemukan apa yang Anda cintai dan mengetahui apa yang Anda ingin lakukan sambil memangku cucu di masa tua nanti. Seperti mempunyai sebuah ruangan sendiri, ruang untuk Anda berpentas. Rasanya seperti Anda bisa bermusik dan menari lewat kata-kata.
Seperti jatuh cinta, Anda mau selama-lamanya terpaku di sana.
3.Apa Anda ingat bagaimana sakitnya patah hati untuk yang pertama kali?
Kecintaan saya juga membawa patah hati. Saya sudah pernah menuliskan berapa seringnya
tulisan saya kalah perlombaan, yang artinya pula gagal. Tulisan saya juga pernah diedit hampir seluruhnya oleh partner kerja karena tulisan saya yang “belum cukup” untuk dipublish. Saya bukan Hercules yang super kuat. Saya hanya seorang saya dengan sifat sensitif fluktuatif yang kadang berhasil menempati posisi puncak dalam karakter saya.
Saya tidak tahu berapa kali saya berhenti menulis karena inferiority complex bawaan masa kecil menyergap saya dan membunuh cinta saya kepada dunia penulisan perlahan-lahan. Saya tidak bisa. Saya tidak bisa. Saya tidak bisa menulis. Berhentilah menulis. Tulisanmu jelek.
Sampai sekarang pun, saya masih sering dihantui oleh suara-suara tidak berkepala itu.
4.Apa Anda masih ingat rasanya ketika Anda tidak bisa berpaling karena Anda terlalu mencintai sesuatu?
Dan saya pun begitu. Kadang saya bersyukur untuk menjadi begini “bebal”. Saya bersyukur Tuhan masih mendampingi saya meraih apa yang saya impi-impikan, yaitu menulis dan menginspirasi. Ketika saya berhenti, saya sering merasa berdosa karena Tuhan sudah sebegitu baiknya memberi saya jalan untuk mengetahui apa yang benar-benar saya cari dan ingin lakukan di hidup ini. Mengapa saya harus mengeluh kalau kalah ikut lomba? Bukankah segala sesuatu, termasuk kesukaan ini adalah dari-Nya? Bukankah segala kemampuan juga dari-Nya? Bukankah segala sesuatu harusnya dilakukan sebagai dedikasi terhadap-Nya? Afirmasi dari pertanyaan itu yang tetap membuat saya mempunyai impian untuk terus menulis.
Saya yang dulunya bisa down berbulan-bulan karena kalah lomba akhirnya cukup terbiasa dengan kegagalan (walau tetap terkadang masih bisa membuat jiwa pegal linu). Saya yakin satu hal: Kemenangan yang besar kadang memerlukan kekalahan yang besar pula. Setiap kekalahan akan membuat saya menulis lebih baik. Setiap tulisan yang diedit akan pula mengeliminasi kekurangan-kekurangan dalam keterbatasan saya menulis.
Mungkin itu jalan Tuhan, karena saya menjadi lebih “muka tembok”. Menulis membabi buta, melamar magang sana-sini, kirim tulisan sana-sini. Puji Tuhan, Dia membuka jalan-jalannya. Walau Dia tidak member jalan yang mulus, tetap saya diberinya kaki yang kuat untuk terus mendaki.
Selain itu, saya juga tidak tahu bagaimana rasanya jika harus meninggalkan kegiatan ini.
Berbicara lewat kata-kata sebebas-bebasnya dan sejujur-jujurnya tanpa perlu panik memikirkan mimik wajah atau dinamika suara… Kadang saya berpikir bahwa saya suka menulis karena saya tidak mampu mengungkapkan pikiran-pikiran saya terlalu baik lewat berbicara secara langsung. Saya cenderung pecicilan. Menulis membuat saya mempunyai podium kecil untuk memperdengarkan hasil olahan otak dan hati. Itu yang membuat saya terus kembali ke kecintaan ini.
Mungkin saya tidak akan pernah jadi penulis-penulis jenius dengan tulisan berat penuh foot-note di sana-sini, atau pemenang Pulitzer, tapi paling tidak, menulis memberikan sebuah cinta di hati saya. Membuat saya bekata “I did it” saat berhasil menyelesaikan sebuah tulisan. Membuat saya merasa bahwa saya telah melakukan sesuatu sebagai bentuk dedikasi saya kepada Tuhan. Apa lagi yang kurang ketika Anda punya rasa itu di hati Anda? Ketika kegagalan-kegagalan lain menganga di depan Anda, Anda tetap mampu bertahan karena Anda tidak bisa berhenti melakukan apa yang membuat Anda merasa hidup.
Saya tidak bertujuan dipuja-puji orang sebagai penulis, jujur ya, membayangkan diri saya disebut penulis pun saya merasa tidak layak. Lagi saya ulangi, yang saya tahu adalah saya cinta menulis dan saya ingin terus melakukan apa yang bisa saya lakukan dengan cinta itu. Menjadi lebih baik melalui apa yang saya miliki dan mengisi hidup ini dengan apa yang ada di diri saya. Menjadi lebih disiplin setiap harinya, belajar menulis lebih baik, memberi lebih banyak lewat kata-kata.
Jadi begitu. Apa Anda merasakan apa yang saya rasakan? Apa Anda juga sedang mendaki impian-impian Anda seperti saya? Apapun yang Anda sukai, basket, musik, menari, berdebat…Saya berharap Anda juga terus memelihara cinta itu di dalam diri Anda. Cinta itu anugerah-Nya untuk Anda.
Anda punya sesuatu. Anda bisa melakukan sesuatu. Anda tidak boleh berhenti. Saya juga tidak boleh. Jika suatu saat saya terlalu lelah untuk melaju, saya akan membaca tulisan ini dan mengingat betapa cinta itu sudah membawa saya sejauh ini.