Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Harta Karun di Kebun Belakang

17 Januari 2025   14:53 Diperbarui: 17 Januari 2025   14:53 34 0
Hari itu, cuaca sangat cerah. Matahari bersinar terang, menerangi sekolah yang biasanya dipenuhi tawa riang kami saat jam istirahat. Aku masih ingat, aku duduk di kelas 2 SD ketika obrolan itu dimulai.

Di sela waktu luang, aku dan teman-teman membicarakan suatu hal yang menarik, sejarah gedung sekolah kami. Sekolah ini memang bangunan tua, dengan tembok kusam dan jendela besar yang sering berderit tertiup angin. Desas-desus tentang asal-usulnya sudah lama terdengar, tetapi kami tidak pernah benar-benar memikirkannya.

Hingga Rani, salah satu temanku, tiba-tiba berkata serius, “Kalian tahu gak? Katanya gedung sekolah kita dulunya rumah sakit.”

Semua mata langsung tertuju padanya.

“Rumah sakit?”, tanyaku padanya

“Iya”, katanya.

Temanku bulang, dulu disini banyak pasien dirawat. Tapi karena sesuatu, rumah sakit ini ditutup dan jadi sekolah.

Obrolan itu mengubah suasana kelas. Beberapa teman mulai berbisik, ada yang ragu, ada pula yang penasaran. Aku bersama Raka, Dina, dan Fajar, sepakat untuk mencari tahu kebenarannya. Kami ingin tahu, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sejarah bangunan tua ini.

Saat jam istirahat, kami memulai “penyelidikan.” Kami berjalan berkeliling gedung sekolah, memeriksa ruang guru yang kosong, lorong gelap di belakang perpustakaan, bahkan kamar mandi yang katanya angker. Tapi kami tidak menemukan apa pun yang aneh.

Hingga akhirnya, kami tiba di kebun belakang sekolah. Kebun itu sunyi, jarang dijamah siapa pun. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, semak-semak liar tumbuh subur, dan suasananya terasa lebih dingin dibanding tempat lain di sekolah.

Kami berjalan perlahan di antara semak-semak, mengamati setiap sudut. Dina, yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti mendadak.

“Lihat itu!” katanya, menunjuk ke tembok belakang gedung sekolah.

Kami semua menatap ke arah yang dimaksud. Di sana, di dinding kusam itu, terlihat bayangan menyerupai telapak tangan. Warnanya merah pekat, seperti sesuatu yang pernah basah dan kini mengering.

“Itu... darah?” bisik Fajar dengan suara bergetar.

Kami semua terdiam, menatap bentuk yang begitu jelas. Dina mundur selangkah, wajahnya memucat.

“Kenapa bisa ada di sini?” gumamnya pelan.

Raka, yang biasanya berani, mencoba mendekat untuk memastikan. Tapi semakin lama kami memandang, semakin mencekam rasanya. Bayangan itu tidak hanya menyerupai bekas tangan, tetapi seolah menyimpan cerita gelap yang tak ingin kami ketahui.

“Kita harus pergi dari sini,” kataku akhirnya, memecah keheningan.

Kami segera meninggalkan kebun itu dan kembali ke kelas. Tidak ada yang berani berbicara selama perjalanan.

Penutup

Hari-hari berlalu, dan kami tidak pernah tahu kebenaran tentang telapak tangan merah itu. Apakah itu benar darah, atau hanya noda biasa, kami tidak tahu. Kebun belakang tetap menjadi tempat yang jarang didatangi, dan rasa penasaran tentangnya perlahan memudar seiring waktu.

Namun, pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam di hatiku. Aku belajar bahwa tidak semua misteri harus dipecahkan. Kadang-kadang, hal-hal yang tidak terjelaskan justru lebih baik tetap menjadi teka-teki. Tapi satu hal yang pasti, kenangan tentang kebun belakang, telapak merah itu, dan rasa takut yang kami rasakan bersama akan selalu menjadi bagian dari masa kecilku, cerita yang takkan pernah kulupakan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun