Beberapa kali saya mendengar kabar, baik dari media, teman, maupun hanya sekilas dari pembicaraan orang lain yang tidak sengaja saya dengar ketika saya berada di suatu tempat, mengenai beberapa pengunjung rumah sakit, entah pasien ataupun wali dan pendamping, menolak untuk mendapatkan penanganan dari dokter muda.
Mengapa hal ini dapat terjadi? Bukan sekali dua kali saja kita menjumpai kabar dari berbagai media dan testimoni pasien bahwa dokter muda cenderung tidak kompeten dalam melakukan tugasnya, tidak bisa melakukan pemeriksaan medis, tidak bisa memberikan injeksi, tidak bisa melakukan pengambilan darah untuk keperluan laboratorium, dan banyak ketidakcakapan lainnya, sehingga banyak pasien hanya setuju jika mereka diberikan penanganan dan pelayanan oleh dokter umum secara langsung yang menurut mereka sudah pasti terjamin 100% ahli dalam kompetensinya.
Lantas, sebenarnya bagaimana mahasiswa kedokteran dan dokter muda dapat menjadi dokter umum atau hingga dokter spesialis yang dipercaya penuh oleh pasien?
Mereka bisa mendapatkan hal tersebut melalui pengalaman dan kegagalan yang tidak sengaja terjadi. Dokter muda membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, terutama pasien. Dan kepercayaan ini didapat seiring dengan tercapainya komponen-komponen etika kesehatan sebagai berikut:
1. Autonomy (otonomi)
Prinsip otonomi merupakan bentuk menghargai terhadap keputusan seseorang, atau adanya sebuah persetujuan dengan tidak adanya paksaan dan bertindak secara rasional.
2. Beneficiency
Prinsip bahwa hanya akan melakukan sesuatu yang merupakan sebuah kebenaran, mengutamakan altruisme, serta memandang pasien dan keluarga pasien sebagai sesuatu yang menguntungkan (bukan beban).
3. Justice
Prinsip bahwa wajib sifatnya untuk melayani semua orang dengan sama rata dan tidak memandang melalui perbedaan tingkatan antara individu satu dengan individu lainnya.
4. Non-maleficience
Prinsip untuk tidak memberikan kerugian.
5. Confidentiality
Prinsip akan selalu setia dengan komitmen untuk menjaga kerahasiaan pasien. Salah satu caranya adalah dengan menghindari diskusi mengenai pasien, baik antar sesama tenaga kesehatan maupun dengan pihak luar yang tidak bersangkutan, di luar keperluan medis.
6. Fiduciarity
Prinsip adanya kepercayaan antara 2 pihak, karena antara tenaga kesehatan dan pasien diperlukan kepercayaan untuk mencapai komunikasi dan penanganan yang baik.
7. Fidelity
Prinsip menepati janji untuk selalu patuh pada regulasi dan bertanggungjawab atas profesi yang dimiliki.
8. Veracity
Prinsip untuk selalu memberitahukan kenyataan sesuai keperluan kepada pasien dengan penuh kejujuran.
Maka dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, dirasa bahwa sangat penting untuk memperhatikan kode etik yang sudah berlaku dan sudah pasti ditanamkan sejak awal oleh seluruh tenaga kesahatan atau bahkan calon tenaga kesehatan agar bertanggung jawab atas tugasnya sebagai seorang tenaga kesehatan sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana dengan hubungan antara kode etik yang sudah berlaku, tenaga kesehatan, perawatan/penanganan, pasien, dan masyarakat luas?
Perlu digarisbawahi bahwa untuk memberlakukan penerapannya, kode etik yang sudah berlaku harus ditaati untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Maka jika terjadi penolakan terhadap penanganan oleh dokter muda maupun calon tenaga kesehatan yang lainnya, itu berarti tidak ada penerapan prinsip Fiduciarity atau tidak adanya kepercayaan. Dan jika hal tersebut tetap dilakukan oleh mayoritas umat manusia, kelak akan menimbulkan ketidakcakapan seorang dokter muda secara permanen. Lantas bagaimana jadinya nanti dokter-dokter baru yang akan terbentuk di masa mendatang?