Pada awalnya, masuk sebagai pelajar di SMA Kolese Loyola Semarang adalah hal yang sangat menyenangkan karena bisa mendapatkan teman sekaligus keluarga baru. Namun setelah tahu bahwa murid kelas 10 diharuskan mencari dana per kelas untuk kegiatan live in, rasa senang itu seketika berubah. Dari yang awalnya ingin fokus untuk belajar keras, kini semua berubah karena harus membagi waktu dengan pencarian dana kelas.
Entah kenapa yang ada dibenakku hanyalah pemikiran negatif. Bagaimana caranya seorang pelajar SMA mendapatkan dana kurang lebih Rp10.000.000,00? Rasa-rasanya itu tidak mungkin, apalagi dengan suasana kelas yang belum kompak. Seketika itu juga aku berubah menjadi pribadi yang sangat pesimis.
Namun setelah waktu berjalan, semua pikiran buruk itu perlahan berubah menjadi harapan. Inilah perbedaan sekolah di Loyola dengan sekolah lainnya. “Non Scholae Sed Vitae Discimus”, yang artinya “belajar tidak hanya untuk mendapat nilai (skor), tetapi lebih dari itu, belajar untuk hidup”. Di sekolah ini nilai sekolah bukanlah segalanya, tetapi nilai hiduplah yang lebih diutamakan. Kegiatan pencarian dana live in ini ternyata diadakan untuk menggalang kekompakan kelas dan menumbuhkan ide-ide kreatif dalam berwiraswasta mencari dana.
Live in pada tahun 2011 diadakan saat murid-murid kelas 12 ujian nasional. Kegiatan ini bertujuan untuk membangun solidaritas dengan sesama sehingga dapat berproses dan berdinamika dalam kehidupan di masyarakat yang sebenarnya. Banyak dari kami yang telah merasakan sendiri manfaat dari kegiatan live in ini. Berikut adalah refleksi atau pengalaman live in 2011 di Wonosari, DI Yogyakarta.
Keluarga Pak Totok yang Harmonis
Keluarga Pak Totok adalah sebuah keluarga idaman. Mereka hidup harmonis, serba berkecukupan harta dan kasih sayang. Saat pertama kali bertemu dengan ibu yang selalu murah senyum, aku merasa bahwa ibu adalah sosok yang penuh kasih dan ramah terhadap siapapun. Ternyata pendapatku itu benar. Tidak hanya ibu saja, seluruh anggota keluarga pun juga ramah dan bersahabat padaku yang terbilang orang baru di tempat ini.
Aku cukup senang setelah tahu bahwa anak ibu ada yang remaja seumuranku. Dengan demikian, ibu bisa lebih mengerti apa keinginanku sebagai seorang remaja. Hal itu terbukti dengan sikap ibu yang selalu mengizinkanku untuk memilih sesuatu dan juga memberikanku saran disaat aku mengalami kebingungan. Beliau juga tahu kapan aku lelah, lapar, dan mengantuk setelah menjalani aktivitas-aktivitas selama live in.
Bapak mempunyai sikap yang hampir sama dengan ibu. Beliau juga ramah terhadap siapa saja dan selalu bisa mengerti apa yang kami mau. Saat pertama kali bertemu, aku terkesan dengan sikap beliau yang halus, penyabar, dan bijaksana. Seluruh anggota keluarga sangat menghormati beliau, termasuk aku. Setelah mengenal lebih dekat, aku semakin terkesan dengan kesederhanaan yang beliau tunjukan lewat perkataan dan perbuatan.
Demikian pula dengan saudara-saudara baruku di Wonosari. Mereka semua sangat mementingkan keluarga dan iman pada Tuhan. Walaupun sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan masing-masing, mereka masih menyempatkan diri untuk berkumpul bersama dan berbagi cerita satu sama lain tentang aktivitas mereka pada hari itu. Mereka juga sering menghabiskan waktu bersama untuk berekreasi. Tak hanya itu, kegiatan-kegiatan di gereja juga mereka ikuti dengan rutin. Mulai dari mudika, misdinar, petugas persembahan, petugas kolekte, paduan suara, dan sebagainya. Waktu mereka seharian seakan tidak pernah habis untuk dibagikan kepada keluarga dan orang-orang di sekitar mereka.
Sebagai wujud rasa terima kasihku kepada keluarga asuh yang begitu baik dan telah memperlakukanku seperti keluarga mereka sendiri, aku berusaha untuk membuat mereka tersenyum dengan apa yang aku kerjakan. Aku berusaha bangun pagi dan membantu ibu untuk memasak, berbelanja, dan membereskan rumah. Kebersihan rumah dan kamar juga aku jaga dengan baik.
Tidak hanya itu, aku berusaha mengikuti alur kegiatan keluarga asuhku. Setiap sore kami berkumpul untuk mengobrol bersama, saling berbagi cerita dan pengalaman masing-masing. Walaupun saudara-saudaraku termasuk anak yang pendiam, aku tetap mengajak mereka berbincang mengenai kegiatan di sekolah dan gereja.
Di luar rumah pun aku berusaha supaya tidak membuat mereka kecewa. Aku bersikap santun dan selalu ramah terhadap siapa saja. Kegiatan gereja seperti latihan koor, pertemuan mudika, gladi kotor, dan gladi bersih juga aku ikuti. Aku berharap agar keluarga asuhku bangga terhadap sikap dan apa yang telah aku lakukan.
Menurutku, live in di Wonosari ini memberikan pengaruh besar bagiku untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Aku sadar bahwa selama ini aku termasuk anak yang kurang baik dan tidak patuh terhadap orang tua. Sikapku itu sangat tidak pantas dengan apa yang telah diberikan keluarga padaku. Tanpa keluarga, aku tidak akan bisa hidup layak sampai saat ini.
Mulai dari sekarang aku berniat untuk selalu memprioritaskan keluarga dan Tuhan dibanding apapun. Karena tanpa mereka, aku bukanlah apa-apa. Aku bisa hidup karena mereka telah mengasihi dan mendukung aku. Setelah live in ini aku berharap supaya sikap baik yang aku lakukan terhadap keluarga asuh dapat aku terapkan juga pada keluarga kandungku.
Semoga kita semua dapat hidup harmonis dan dapat memberikan yang terbaik satu sama lain, terhadap sesama, dan terutama terhadap Tuhan.
Ad Maiorem Dei Gloriam, demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan!
Caecilia Westi Sekar Wangi
SMA Kolese Loyola Semarang