Mereka berdua akhirnya duduk di sebuah coffee shop. Si pria sangat gugup, tangannya acap bergetar dan dia tak berkata apa pun. Si gadis yang merasakan ketegangan itu, kian tak nyaman. Dia pun berkata, "Tidakkah kita lebih baik pulang saja?" Namun, tiba-tiba pria itu berkata, untuk pertama kalinya, sambil melambai pada pelayan, "Bisa minta garam untuk kopi saya?"
Semua orang yang mendengar, memandang dengan aneh ke arah si pria itu. Si pria, jelas, wajahnya berubah merah, tapi tetap saja dia memasukkan garam tersebut ke dalam kopinya, dan dengan tenang, meminumnya.
Si gadis dengan penasaran bertanya, "Kenapa kamu bisa punya hobi seperti ini?"
Si pria menjawab, "Ketika saya kecil, saya tinggal di daerah pantai dekat laut. Saya suka bermain di laut, saya dapat merasakan air laut, asin dan sedikit menggigit, sama seperti kopi asin ini. Dan setiap saya minum kopi asin, saya selalu ingat masa kanak-kanak saya: ingat kampung halaman, saya sangat rindu kampung halaman saya, saya kangen orang tua saya yang masih tinggal di sana."
Begitu kalimat terakhir usai, mata si pria mulai berkaca-kaca, dan si gadis sangat tersentuh akan perasaan tulus dari ucapan pria di hadapannya. Si gadis berpikir, bila seorang pria dapat bercerita bahwa ia rindu kampung halamannya, pasti pria itu mencintai rumahnya, perduli akan rumahnya dan mempunyai tanggung jawab terhadap rumahnya. Kemudian si gadis juga mulai berbicara, bercerita juga tentang kampung halamannya nun jauh di sana, masa kecilnya, dan keluarganya.
Suasana kaku langsung berubah menjadi sebuah perbincangan yang hangat, juga menjadi sebuah awal yang indah dalam cerita mereka berdua. Mereka akhirnya berpacaran. Si gadis akhirnya menemukan bahwa si pria itu adalah seorang lelaki yang dapat memenuhi segala permintaannya: dia sangat perhatian, berhati baik, hangat, sangat perduli.... betul-betul seseorang yang sangat baik. Ah, dia hampir saja kehilangan seorang lelaki seperti itu. Untung ada kopi asin.
Kemudian cerita berlanjut seperti layaknya setiap cerita cinta, sang putri menikah dengan sang pangeran dan mereka hidup bahagia selamanya. Dan setiap sang putri membuat kopi untuk sang pangeran, ia selalu membubuhkan garam di dalamnya, bukan gula, karena ia tahu bahwa itulah yang disukai suaminya.
Setelah 40 tahun, si pria meninggal dunia, dan meninggalkan sebuah surat. Dengan gemetar, si istri membaca surat itu:
Quote:
"Sayangku yang tercinta, mohon maafkan saya, maafkan kalau seumur hidupku bersamamu adalah dusta belaka. Meski hanya sebuah kebohongan yang aku katakan padamu... tentang kopi asin.
"Ingat sewaktu kita pertama kali jalan bersama? Saya sangat gugup waktu itu. Sebenarnya saya ingin minta gula, tapi malah berkata garam. Sulit sekali bagi saya untuk mengubahnya karena kamu pasti akan tambah merasa tidak nyaman. Jadi saya maju terus. Saya tak pernah terpikir bahwa hal itu ternyata menjadi awal komunikasi kita! Awal keakraban dan mata cinta kita. Saya mencoba untuk berkata sejujurnya selama ini, untuk menjelaskannya padamu, tapi saya terlalu takut. Karena saya telah berjanji untuk tidak berbohong, sekali pun.
"Sekarang saya sekarat. Saya tidak takut apa-apa lagi, jadi saya katakan padamu yang sejujurnya: saya tidak suka kopi asin, betul-betul aneh dan rasanya sungguh tidak enak. Tapi saya selalu dapat kopi asin seumur hidupku sejak bertemu denganmu, dan saya tidak pernah sekali pun menyesal untuk segala sesuatu yang saya lakukan untukmu. Memilikimu adalah kebahagiaan terbesar dalam seluruh hidupku. Bila saya dapat hidup untuk kedua kalinya, saya tetap ingin bertemu kamu lagi dan memilikimu seumur hidupku, meskipun saya harus meminum kopi asin itu lagi."
Air mata si istri betul-betul membuat surat itu menjadi basah. Kemudian hari, bila ada seseorang yang bertanya padanya, apa rasanya minum kopi pakai garam? Si gadis pasti menjawab, "rasanya manis," dengan senyuman, dan dua titik air mata di pipi.