Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Membaca Ulang Pemikiran Tiro

5 Juni 2010   02:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:44 162 0
[caption id="attachment_158977" align="alignleft" width="150" caption=" "][/caption] Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memberi apresiasi serta penghormatan terakhir kepada Hasan Tiro, sang Deklarator Gerakan Aceh Merdeka. Beberapa tulisan in memoriam atau sejenisnya telah ditulis oleh beberapa orang sejak kepulangannya ke negeri barzah, Kamis (3/6/10). Saya mencoba memberikan apresiasi kepada Tiro dengan membaca ulang pemikiran politiknya yang tertuang dalam buku "Demokrasi Untuk Indonesia". Berikut saya sajikan resensi sederhana dari buku yang tidak sederhana itu kepada Anda.

Secara umum, buku yang ditulis pada tahun 1958 oleh Presiden Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) ini berisi kritikan pedas penulisnya terhadap sistem demokrasi Indonesia yang dikembangkan oleh Soekarno. Persoalan pertama yang disorot Tiro adalah masalah persatuan, kesejahteraan dan keadilan yang belum terwujud di Indonesia. Beberapa fakta diajukannya untuk mendukung klaim tersebut, misalnya: keruntuhan kabinet yang sampai 17 kali serta perang saudara yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Bagian kedua menyajikan jawaban Soekarno terhadap berbagai kesalahan yang terjadi di republik ini. Menurut Soekarno, punca kesalahan terletak pada pemakaian Demokrasi Barat sebagai landasan pemerintahan, yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa kita. Soekarno kemudian memunculkan wacana Konsepsi Soekarno yang berimplikasi pada pembentukan Dewan Nasional. Menanggapi kedua fenomena ini, Tiro menuding bahwa demokrasi yang dikembangkan Soekarno bukanlah Demokrasi Barat, melainkan Demokrasi “Primitive”. Pembentukan Dewan Nasional dilihatnya sebagai upaya Soekarno untuk melanggengkan kekuasaan melalui praktek-praktek demokrasi yang distorsif. Di sini pulalah asal-muasal terbukanya akses ke arah kekuasaan bagi militer.

Berbeda dengan Soekarno,Tiro melihat bahwa berbagai kesalahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh dua hal. Pertama, pemakaian falsafah atau ideologi yang tidak berdasarkan pada falsafah atau ideologi rakyat. Bagi Tiro, Pancasila tidak layak disebut sebuah falsafah. Karena itu, falsafah hidup dan ideologi yang tepat bagi rakyat Indonesia adalah Islam. Kesalahan kedua menurut Tiro adalah pemaksaan negara kesatuan terhadap satu suku bangsa yang bersuku. Disini, Tiro___tanpa tedeng aling-aling—menghendaki sebuah negara federasi yang berkeadilan sosial, dimana seluruh rakyatnya dapat menikmati kemakmuran dan keadilan dalam bingkai persatuan –dan bukan kesatuan—Indonesia. Wacana ini dikupasnya dengan detil dalam bagian ketiga buku ini.Mengenai kebaikan dan keunggulan negara federasi, dibahas Tiro dalam bagian empat. Bagian kelima___lazimnya sebuah karya akademis—merupakan penutup.

Meskipun Tiro menulis buku ini untuk mengkritisi pemerintahan Soekarno, akan tetapi situasi politik Indonesia saat ini telah menciptakan relevansi yang sangat signifikan bagi kita untuk membaca buku ini sekarang.

Terlepas dari setuju atau tidaknya kita terhadap paparan Tiro dalam buku ini, sebagai masyarakat pembelajar, kita patut memberikan apresiasi kepada penulisnya. Buku ini dapat menjadi media yang tepat untuk membangun semangat humanity dan memperhalus nurani kita. Secara implisit, ia mengajak kita untuk lebih peduli akan nasib saudara-saudara kita yang tak sanggup lagi merintih dan tak lagi kuasa menggapai kesejahteraan dan keadilan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun