Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tidak Ada Sarah Baglaban di Negeri Ini

25 Juni 2011   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11 219 1
Jika teman-teman sudah pernah membaca tulisan saya tentang seorang TKW Filipina yang menjadi kenangan indah saya akan ketika masih menerima siaran TV Kabel dari Filipina.  TKW Filipina itu bernama Sarah Baglaban.  Kisah pembebasan dia adalah bukti bahwa hukuman pancung pun bisa berubah jika....jika...saja pemerintah mau berusaha untuk melindungi "pahalawan devisa"-nya.

Sarah Baglaban adalah seorang gadis Mindanao yang mengadu nasib di United Emirat Arab (UEA) negeri yang sampai saat ini masih memetakan manusia berdasar ras dan gender.  Gadis 17 tahun ini nekat memalsukan umurnya agar bisa bekerja di negeri impian para pekerja migran demi membantu membiayai keluarga besarnya di Mindanao, Filipina.

Pada tahun 1994, majikan pria  Almas Mohammed al-Baloushi berusaha memperkosanya.  Sarah tidak tinggal diam, anak keempat dari 14 bersaudara ini menikam majikannya sebanyak 34 kali.  Tentu saja sang majikan langsung merenggang nyawa.  Tak pelak gadis muslim ini harus masuk ke dalam penjara.

Pada sidang pertama, Sarah terbukti dalam telah membunuh Al-Baloushi namun Sarah hanya menghadapi 7 tahun penjara karena terbukti penikaman itu adalah usaha pembelaan diri.  Selain penjara, Sarah juga harus membayar uang kompensasi kepada keluarga korban, namun Sarah juga menerima uang kompensasi karena dia menjadi korban perkosaan.

Ternyata keputusan ini membuat keluarga Al-Baloushi tidak puas sehingga mereka naik banding.  Sehingga pada tahun 1995, sidang kedua dilanjutkan dengan keputusan hukuman mati di depan regu tembak bagi Sarah Baglaban, karena pengadilan mendapatkan tidak ada bukti-bukti perkosaan terhadap diri Sarah Baglaban.

Hebatnya pemerintah Filipina, yang diwakili oleh diplomat dan pengacara handal yang mengerti hukum yang berlaku di negara Uni Emirat Arab, berusaha keras tanpa kenal lelah dan putus asa untuk melepaskan Sarah dari hukuman mati tersebut.  Saya masih ingat ketika Filipina sempat memutuskan untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja mereka ke negera Arab tersebut.  Bahkan negara Cory Aquino ini sempat mempertimbangkan untuk menarik kembali semua Pekerja Migran mereka dari Uni Emirat Arab, sehingga sempat menuai protes dari para Pekerja Migran, Calon Pekerja Migran dan majikan mereka.

Tidak berhenti sampai disitu, mereka juga melakukan diplomasi ke negara-negara lain sehingga masalah Sarah Baglaban menjadi krisis internasional.  Keberhasilan diplomasi ini tentu saja amat menguntungkan posisi tawar Filipina terhadap kasus Sarah Baglaban, karena akhirnya UEA ditekan oleh dunia Internasional.

Tekanan internasional ternyata membuat Presiden UEA saat itu,  Syeikh Zayed Bin Sultan Al Nahyan jengah.  Presiden yang berkuasa selama 30 tahun di UEA ini pun berusaha membujuk keluarga Al- Baloushi untuk memaafkan Sarah Baglaban.  Pendekatan ini pun berhasil melunakan keluarga bekas majikan Sarah, sehingga Sarah akhirnya diberikan kesempatan Sidang ketiga.

Akhir 1995 sidang ketiga dimulai.  Sarah pun akhirnya diputuskan menghadapi hukuman 1 tahun penjara dan 100 cambuk, yang akan dicicil selama 5 hari.   Selain itu Sarah harus membayar uang kompensasi kepada keluarga Al-Baloushi yang lumayan besar untuk saat itu.  Beruntung uang tersebut dibayarkan oleh seorang Pengusaha Filipina yang bersimpati pada gadis ini.

Selama di penjara, beberapa kali petugas dari Kedutaan Filipina datang mengunjunginnya.  Para petugas inilah yang selalu mengawasi perkembangan Sarah, bahkan mereka juga memeriksa tubuh Sarah setelah hukuman cambuk.  Lucunya menurut petugas tersebut tidak ada bekas luka akibat hukuman cambuk pada tubuh gadis Mindanao ini.  Ternyata di Arab juga ada istilah lip service juga.

Pertengahan 1996, Sarah pun dibebaskan (hidup-hidup).  Dia langsung pulang ke Filipina dan disambut sebagai pahlawan di negaranya.  Saya sendiri sempat melihat di televisi, Cory Aquino ikut menyambut dan memeluknya ketika itu.  Saya terharu sampai menangis melihat peristiwa tersebut.

Tak lama setelah Sarah pulang, sebuah film tentang kisahnya dirilis namun pemerintah Filipina berusaha menghalangi penayangan film tersebut karena (tetap) ingin menjaga hubungan baik dengan Uni Emirat Arab.  Setelah ditunda selama beberapa bulan, keinginan publik Filipina untuk menyaksikan film tersebut tak terbendung, sehingga akhirnya pemerintah tidak dapat berbuat banyak untuk menghalangi peredarannya.

Jika saya ingat kisah Sarah Baglaban, saya selalu merasa beruntung saya bisa menyaksikan kisah hebat ini.  Dimana pemerintah sebuah negara melindungi dan melayani rakyatnya dimanapun dia berada dan apapun kesalahan yang telah dia perbuat.  Dan yang yang ada di otak saya tidak ada "Sarah Baglaban" di negara ini, yang ada hanya sekedar status TKI/ TKW, foto close up dan uang devisa hasil keringat mereka.

Saya rasa Indonesia pun bisa melakukan yang lebih daripada Filipina, namun semua itu terletak dari kemauan pemerintah kita untuk menghargai harga diri Bangsa ini.  Bayangkan bagaimana mungkin sebuah kejadian hukum pancung warga negara Indonesia "lupa" diberitahukan kepada Pemerintah Republik ini.  Apalagi kalau bukan karena pemerintah Arab Saudi memang tidak pernah memandang serius pemerintah Indonesia, apalagi dalam menangani tenaga kerjanya.  Jadi jangan heran mereka tiba-tiba "lupa" ingatan ketika memberitahukan hukuman pancung terhadap Ruyati tetapi selalu ingat bangsa ini jika musim haji berlangsung.

Beda jika kejadian eksekusi ini terjadi pada warga Amerika atau lebih dekat lagi Filipina.  Saya yakin mereka akan selalu "ingat" untuk mengetuk pintu Kedutaan mereka dan berkata "Haloooooo, kami mau eksekusi warga anda, anda bisa tidak kemari untuk menemui dia......" dan dalam sekejap criiiinnnggg mereka ada di barisan paling depan berusaha sekuat tenaga melepaskan warganya dari hukuman tersebut sesalah apapun mereka.

Lihat saja setiap warga negara Australia yang tertangkap menyeludupkan narkoba di Bali.  Mulai dari interogasi sampai ketok palu keputusan pengadilan, ada wakil Kedutaan yang duduk di barisan terdepan.  Tidak hanya itu saja, mereka pun membayar pengacara top Indonesia agar warga negaranya mendapatkan keadilan dan kalau perlu dibebaskan dari hukuman.

Saya jadi bertanya apakah Ruyati, pada saat interogasi, ketika pengadilan sampai kemudian keputusan hukam mati itu keluar, dia dampingi oleh pengacara handal atau paling tidak oleh diplomat Indonesia atau paling jelek lah petugas yang mengurus TKI di Arag Saudi?  Apakah ketika dia diinterogasi, dia memang jujur mengakui bahwa dia membunuh majikan perempuannya atau karena ditekan atau paling jelek disiksa ketika dia mengakuinya?  Kita tidak pernah tahu, sehingga saya paling tidak terima kalau ada mengatakan bahwa resiko kerja di Arab Saudi adalah siap menghadapi hukum disana.  Nanti dulu jika hukum Islam dijalankan dengan benar, dengan mengetahui latar belakang kenapa dia membunuh, masa semudah itu seorang hakim menjatuhkan hukuman pancung.

Bahkan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menjatuhi hukuman potong tangan pada pencuri, karena Beliau selalu menanyakan alasan mengapa  si pencuri itu mencuri.  Jika alasannya untuk sekadar makan, maka Nabi Muhammad akan memberikan peringatan kepada si pencuri dan kepada tetangganya yang mampu karena membuat tetangganya yang miskin mencuri.

Kasus yang menimpa Ruyati adalah kebodohan kita semua, kebodohan pemerintah, kebodohan KBRI di Arab Saudi yang bisa-bisanya tidak tahu ada warga negaranya akan dieksekusi seharusnya mereka melayani warga negara termasuk TKI jemput bola dong datangin mereka , kebodohan rakyat yang selalu percaya janji-janji perbaikan nasib pemerintah dengan cara dikirim sebagai PRT tanpa keahlian yang akhirnya menjadi "budak" tidak jelas dan juga kebodohan saya yang tidak bisa berbuat apa-apa buat mereka hanya bisa mengecam, mengecam dan mengecam tetapi tak berani bertindak apapun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun