Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Tuhan, Jangan Jadikan Aku Gay (Bagian I)

28 Desember 2012   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53 2095 1
Siang itu, matahari bersinar sangat terik. Cahayanya begitu menyilaukan membuat perih mata memandang. Sambil menahan gerah yang teramat sangat, seorang perempuan berkerudung coklat muda kira-kira berusia empat puluh tahunan, memilih mengambil jalan pintas yang melewati perkampungan. Seketika melewati sebuah pemakaman, laju motornya dijalankan perlahan. Bukan karena takut. Meski sepi, tidak ada alasan untuk takut bagi dirinya.

Namun, baru saja motornya melaju beberapa meter, tiba-tiba matanya dikejutkan melihat sesosok berbaju putih sedang berjongkok sambil memeluk sebuah nisan. Dia sangat mengenal sosok itu. Tetapi…..mengapa ada di kuburan ? Belum sempat motor dihentikan, sosok itu mengangkat wajahnya dan menoleh ke arahnya.

“Trisman ? Kenapa kamu ada di sini ?” perempuan itu lalu memarkir motornya.

“Ibu…..,” sosok itu mengusap air matanya dengan tangannya.

“Trisman……itu makam siapa ?” tanya perempuan itu setelah mendekat.

“Ibu……ini makam bapak,” sosok yang bernama Tris menjawab sambil sesenggukan.

“Oh, maaf, ibu tidak tahu kalau kamu ternyata anak yatim,” perempuan itu merengkuh bahu Trisman dan ikut duduk jongkok di sebelah kirinya.

“Bapak meninggal waktu aku SD bu,” Trisman menjelaskan.

“Baiklah, mari kita berdoa untuk bapakmu,” perempuan itu mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai berdoa, dia mengajak Trisman bangkit.

“Trisman, ayo pulang, ibu antar kamu ke rumah,” katanya dengan lembut.

Trisman tidak menjawab. Dia hanya menurut sesaat tangannya diraih perempuan itu.

“Trisman, ibu tidak tahu dimana rumahmu. Nanti tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu kembali menyalakan mesin motornya.

“Rumah saya di Sumur Batu, bu,” Trisman menjawab perlahan.

“Ya, nanti beritahu arahnya, ya,” perempuan itu kini sudah duduk di bagian depan. Trisman segera mengikuti duduk membonceng di belakang.

Sepanjang perjalanan pulang pun Trisman tidak bercerita, hanya terdiam sambil sesekali mengusap air matanya.

“Trisman, kalau sudah dekat rumahmu, tolong beritahu ibu ya,” perempuan itu sedikit menoleh ke belakang.

“Ya bu,” Trisman menjawab perlahan.

Perempuan itu terus melajukan motornya. Melewati beberapa truk sampah dari dinas kebersihan DKI Jakarta. Jalanan yang mereka lalui memang merupakan jalur menuju tempat pembuangan sampah akhir, Bantargebang. Sehingga sesekali bau “harum” sampah tercium begitu menggoda.

“Bu, masuk gang yang sebelah kanan,” Trisman menunjuk ke satu arah. Perempuan itupun dengan sigap membelokkan motornya memasuki sebuah gang kecil yang masih bertanah, belum beraspal. Jalanan di gang itupun tidak rata, seringkali ada batu-batu besar dan tajam menonjol di beberapa bagian jalan.

Setelah melewati beberapa rumah sederhana khas orang kampung, tibalah mereka di sebuah rumah besar yang tampaknya sedang dibangun. Perempuan itu mengira rumah itulah tempat Trisman tinggal. Ternyata……

“Bu, turun disini, nanti jalan terus ke belakang rumah itu,” Trisman menunjukkan jalan.

Motor pun dihentikan dan diparkir di samping sebuah pohon rambutan. Perempuan itu selanjutnya mengikuti langkah Trisman ke belakang rumah. Di belakang rumah ada semacam dapur kecil dan sebuah dipan sederhana dari kayu kasar. Di ujung dipan tergeletak tiga tumpukan bantal kusam. Belakang rumah itu hanya ditutupi beberapa lembar plastik besar juga beberapa terpal yang sudah bolong disana-sini.

“Bu, ini rumah saya,” Trisman berkata dengan nada getir.

Perempuan itu menahan nafas. Bibirnya mencoba tersenyum, meski pilu.

“Bu, silahkan duduk dulu di dipan, nanti saya panggilkan ibu saya,” Trisman menunjuk dengan sopan ke arah dipan.

Perempuan itu menganggukkan kepala dan tanpa ragu mendudukkan dirinya ke atas dipan. Sementara Trisman berlari keluar mencari ibunya, perempuan itu memandangi sekeliling. Sebuah rak piring sederhana buatan sendiri dari potongan kayu kasar, bersandar di sebuah dinding yang menjadi dinding rumah.

“Oh, ada bu Restu ?” terdengar sapa seorang perempuan yang seusia dengan dirinya.

“Iya, bu. Saya gurunya Sutrisman, saya cuma mengantar dia pulang saja,” perempuan itu yang bernama Restu menjawab dengan sopan sambil mengulurkan tangannya bersalaman.

“Yah, beginilah bu rumah Trisman, maklum orang susah,” ibunya Trisman tersenyum pahit.

“Tidak apa bu, yang penting bisa untuk berteduh,” bu Restu menenangkan.

“Ah ibu, berteduh gimana ? Lihat, gak ada temboknya, saya cuma kasian ngeliat trisman sama adenya kalo tidur keujanan,” ibu Trisman bicara apa adanya.

“Ini rumah siapa, bu ?” bu Restu memegang tembok di belakangnya.

“Rumah adik saya, mamangnya Trisman,” ibu Trisman menatap lesu. “Sebenernya sih, ini rumah warisan berdua, saya dan mamangnya itu, tapi…….mungkin biar enak, dibangun tembok dulu, baru nanti dibagi dua, saya separo, mamangnya separo,” ibu Trisman melanjutkan dengan nada penuh harap.

“Ibu sudah lama tinggal seperti ini ?” bu Restu ingin tahu.

“Udah lama juga, sejak bapaknya Trisman meninggal,” ibu Trisman menjawab dengan polos.

Bu Restu tidak bisa berkata lagi. Hanya bisa menghela nafas panjang. Bathinnya tidak bisa menerima ketimpangan seperti ini.

“Apakah selama ini ibu tidak pernah mendapat bantuan, misalnya dari kelurahan ?” bu Restu penasaran ingin tahu.

“Belon pernah bu, sama sekali belon pernah, paling daging korban, itupun cuman sekantong,”

Bu Restu tidak mau bertanya banyak lagi. Lebih dari cukup yang ia butuhkan. Tokh, jika sekedar bertanya tidak akan membantu apa-apa, demikian pikirnya. Bu Restu mencoba menahan dirinya untuk tidak bersikap emosional. Setelah minum beberapa teguk botol minuman teh dingin yang disuguhkan Trisman, diapun memohon diri.

Esoknya, siang itu di sekolah setelah bel pulang, bu Restu mengajak Trisman bicara berdua di teras masjid sekolah. Trisman mulanya tidak mau terbuka menceritakan kisah hidupnya. Namun, bukannya bu Restu kalau tidak bisa mengorek keterangan dari para murid. Maklum, bu Restu dikenal anak murid sebagai guru yang biasa menjadi tempat curhat, sekaligus diinterogasi kalau ada satu kasus.

Benar saja, Trisman pun mau cerita sedikit demi sedikit. Bu Restu mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali menanggapi dengan bijaksana dan ada sedikit canda. Trisman pun mau tidak mau tersenyum. Ah, memang bu Restu pandai mengambil hati anak. Setelah merasa cukup mendapat keterangan permulaan, bu Restu yang masih ada jam mengajar siang bermaksud ingin menyudahi curhat session pertama itu.

“Trisman, sebelum pulang sholat zhuhur dulu ya ?” ajak bu Restu.

“Di rumah aja, bu, baju saya kotor,” Trisman menolak halus.

“Nanti keburu capai, dan malah tidak jadi sholat,” bu Restu membantah.

“Saya sering sholat kok bu di rumah,” Trisman masih menolak.

“Tapi ibu ingin melihatmu sholat sekarang di sekolah,” bu Restu membujuk.

“Di rumah aja bu, saya sudah ditunggu di rumah, kasihan adik saya gak ada yang jaga,” Trisman masih berusaha menolak.

“Bukankah ada anak-anak dari keluarga mamangmu ?” bu Restu juga berusaha keras membujuk.

“Tapi……saya tetap mau sholatnya di rumah bu, maaf ya bu, saya harus segera pulang,” Trisman pun segera beranjak berdiri.

Melihat itu, bu Restu tidak bisa mencegah lagi. Setelah mencium punggung tangan kanan bu Restu, Trisman berlari-lari kecil meninggalkan bu Restu. Bu Restu hanya bisa trenyuh memandangi langkah kaki Trisman. Tampak jelas Trisman tidak bisa melangkah layaknya anak laki-laki. Trisman memang lebih terlihat gemulai seperti anak perempuan. Apalagi wajahnya yang manis dengan hidungnya yang mancung, membuatnya terlihat cantik dan bukan ganteng.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun