Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Seminar Orang-orang Bodoh

15 November 2012   11:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 208 1
Aku mempunyai seorang adik perempuan. Fitri, demikian panggilannya. Dia masih duduk di kelas satu SMA Negeri. Sore hari itu aku diminta adikku untuk naik ke loteng kecil di atas dapur. Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Sesampainya di sana, adikku langsung saja menangis. Aku tidak mengerti mengapa dia menangis. Aku pun berusaha menenangkan. Tangisnya sesaat berhenti, adikku mulai bercerita mengapa sore itu dia begitu sedih.

“Teh, Fitri tadi diajak oleh guru untuk ikut sebuah kegiatan. Fitri tidak diberitahu sebelumnya apa kegiatan yang harus diikuti. Tidak tahunya………,” adikku kembali menangis.

“Kegiatannya dimana ?” tanyaku curiga.

“Di ruang guru. Dari yang Fitri dengar dari bisik-bisik para guru, kegiatan itu bernama “Seminar Orang-orang Bodoh”, adikku kembali menangis.

Tentu saja aku kaget bercampur geram mendengar penuturan adikku. Memang aku sudah lama mengetahui kalau nilai-nilai ulangan harian adikku tidak memuaskan. Tetapi dengan cara mengadakan seminar seperti itu, apapun bentuk dan metodenya, berarti telah memvonis seseorang tanpa pembelaan.

“Kapan seminar itu diadakan ?” tanyaku menahan geram.

“Tadi pagi. Fitri malu sekali. Banyak orang yang melihat. Memang tidak hanya Fitri sendiri. Tetapi…….rasanya tidak tahan melihat pandangan mereka yang seperti menghina. Bahkan ada guru yang mengatakan kalau sudah bodoh dari sananya ya tetap saja bodoh,” Fitri pun menangis sesenggukan.

Aku tidak tahan lagi mendengar kata-kata adikku tadi. Mau rasanya saat itu juga aku mendatangi sekolahnya dan mengajukan protes. Tetapi akal sehatku berfikir lain. Aku malah seakan dihadapi oleh sebuah rezim yang tidak hanya akan menertawakan protesku, tetapi juga berbalik mengancam kelanjutan belajar adikku di sekolah itu.

Mau pindah ke sekolah lain ? Mana mungkin ? Kami bukan keluarga kaya. Ayah sudah setahun ini sakit-sakitan. Ibu juga hanya kerja menerima jahitan. Itupun kebanyakan pelanggannya adalah orang-orang tidak mampu juga. Jadi jasa yang dijual ibuku hanya sebatas pulang modal saja. Tidak merupakan untung. Malah terkadang harus nombok.

Aku lalu berfikir keras untuk menolong adikku. Aku tidak mau adikku teraniaya psikisnya seperti ini. Betapapun bodohnya dia. Tetapi……apakah para guru itu dewa yang mengetahui tingkat kebodohan seseorang sejak dini ? Aku menolak dengan keras vonis yang menyakitkan seperti yang dialami adikku itu.

“Sudahlah, sabar saja. Jika nanti ada seminar semacam itu lagi, biar kakak tulis di Koran. Supaya orang-orang tahu kejahatan mereka,” kataku menghibur.

“Kak, apakah Fitri benar-benar bodoh seperti yang dikatakan mereka ?” tanya adikku menyentuh hatiku.

“Tidak. Siapa yang bilang kalau Fitri bodoh ? Buktinya Fitri sudah lulus SMP bukan ? SMP Negeri yang favorit lagi. Selain itu Fitri bisa diterima di sekolah itu juga bukankah karena memang terbukti pandai ? Kakak saja SMAnya swasta,” aku menghiburnya lagi.

Sesaat Fitri menghentikan tangisnya. Ia mengusap sisa air mata di pipinya. Fitri kemudian merenung sejenak. Matanya menatap kepadaku. Adikku sebenarnya cantik, lebih cantik dariku. Dia juga lebih lincah dan lebih berani daripada aku. Kami memang sudah akrab sejak kecil. Bahkan kami banyak mengalami suka dan duka bersama.

“Kak, mengapa mereka sampai mengadakan seminar orang-orang bodoh untuk Fitri dan yang lain ?” tanya Fitri ingin tahu.

“Kakak tidak tahu. Barangkali saja mereka asal bikin kegiatan. Atau mungkin Fitri yang salah paham dengan kegiatan itu,” kataku mencoba mengoreksi.

“Tidak, nama kegiatan itu benar “Seminar Orang-orang Bodoh”. Sebab Fitri dan yang lain disuruh menyimak cara-cara belajar dari para siswa yang pintar ! Juga ada guru yang berbicara bagaimana cara menjadi orang yang pintar !” Fitri memprotes kata-kataku.

Aku terdiam terenyuh. Aku bisa membayangkan suasana kegiatan semacam itu. Bertempat di ruang guru, ada satu sisi untuk tempat para siswa yang menjadi terdakwa, ada sisi lain untuk tempat para penuntut, entah sesama siswa ataupun guru. Anehnya, tidak ada tempat untuk pembela. Dimana gerangan guru BP ataupun guru BK ataupun Wali Kelas ?

“Sudahlah Fit, kita memang tidak akan menang menghadapi mereka. Tetapi percayalah bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan. Banyak berdoa saja semoga bisa menjadi lebih baik di hari esok daripada hari ini,” kataku memberi nasehat klise.

Adikku menundukkan wajahnya. Aku tidak tahu apakah dia sudah ikhlas dengan peristiwa yang baru saja dialami ataukh tidak. Aku sendiri memang tidak bisa berbuat banyak untuk menolong adikku. Aku hanya bisa menemaninya belajar, memberi nasehat, dan menjadi pendengar yang baik untuk semua curahan hatinya.

Tanpa terasa hari berganti hari. Adikku ternyata membaik nilainya. Dia malah masuk jurusan IPA. Sedangkan aku saja malah milih jurusan IPS. Sayangnya ketika UMPTN, dia tidak lolos. Aku sendiri yang diminta tolong untuk mencari namanya dalam lembar Koran pengumuman kelulusan UMPTN, nyaris tidak sanggup memberitahukan bahwa dia tidak lolos.

Mau tidak mau daripada menganggur, karena ayah kami sudah meninggal dunia, sehingga tidak ada lagi yang menopang kehidupan kami, maka adikku terpaksa bekerja. Untungnya dia diterima bekerja di kantor sebagai salah eorang karyawan bagian administrasi perusahaan air minum kemasan.

Setahun berikutnya, Fitri mengikuti UMPTN lagi. Kali ini aku ikut mendampingi. Sayangnya dari dua kali ikut UMPTN, kondisi fisik saat hari H tidak baik. Adikku tiba-tiba maagnya kambuh, perutnya terasa mual. Aku yang juga ikut UMPTN semata untuk memanfaatkan jatah yang tersisa (tiga kali boleh ikut), malah terasa nyaman saja. Sebab aku memang sudah menjadi mahasiswa di PTN.

Ironisnya, Fitri yang mengharapkan diterima hasilnya ditolak, aku malah sebaliknya. Padahal biaya untuk mengikuti UMPTN itu adalah dari hasil jerih payahnya sendiri. Yaitu dari hasil menjual kerajinan tangan membuat jepitan rambut dari kain perca. Aku kembali menghibur adikku. Aku mengatakan kepadanya bahwa Tuhan tidak akan memberikan kesulitan terus. Pasti ada kemudahan dibalik setiap kesulitan.

“Berapa lama Fitri harus menunggu anugerah dari Tuhan ? Padahal Fitri sudah lelah menerima semua takdir buruk yang datang,” tanya adikku ingin kepastian.

“Menurut kita itu mungkin takdir buruk. Padahal di depan Tuhan, adalah takdir yang buruk,” kataku membantah anggapannnya tentang takdir.

“Tetapi kenyataannya ?! Fitri tidak berhasil mencapai apa yang Fitri cita-citakan. Fitri ingin kuliah seperti Kakak. Fitri juga ingin menikmati kehidupan seperti yang diceritakan orang-orang dalam film dan novel,” Fitri memprotes dengan keras.

Aku tercenung sejenak. Tetapi aku juga tidak kalah akal. Aku harus menemukan kata-kata yang dapat meredam gejolak bathinnya. Aku tidak ingin adikku berputus asa memandang kehidupan. Aku ingin adikku hidup sewajarnya dalam kehidupannya sendiri.

“Waktu berjalan tanpa kita rasakan. Mulanya memang terasa lama. Tetapi coba tengok ke belakang, ternyata kita sudah melewati waktu hingga duabelas tahun. Mulai dari SD hingga lulus SMA. Padahal ketika mengawali kelas satu di SD, terasa enam tahun itu lama. Lalu tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA. Kenyataannya semua itu terasa seperti sekejap mata. Sepertinya baru kemarin kita lahir kemudian tahu-tahu menjadi besar,” aku memberi nasehat panjang.

Memang benar. Setelah itu, tahun berganti tahun. Fitri pun berganti-ganti kantor. Dari yang semula sebagai bawahan yang sering dimaki-maki atasan, kini adikku menjadi sekretaris direktur. Atasan yang mempunyai kesempatan untuk melakukan hal yang pernah diterima dulu kepada bawahannya sekarang,…….ah jangan. Jangan membalas dendam atas semua kepahitan masa lalu.

Dari rezekinya Fitri, aku bahkan berkesempatan diajak jalan-jalan ke Bali. Ibuku juga berkesempatan diberangkatkan oergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Keluarga ku juga sekarang nyaman ke mana-mana dengan naik mobil baru hasi jerih payahnya bekerja. Seandainya para gurunya di SMA dulu mengetahui kabar tentang muridnya yang pernah mereka masukkan dalam kategori orang bodoh. Bahkan sampai diseminarkan segala. Aku hanya tersenyum memikirkan pengandaian itu.

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu ? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu, yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan namamu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap,” (Alam Nasyrah : 1 - 8).

Bogor, 2007

Catatan :

Cerita ini juga untuk mereka yang dinyatakan tidak lulus UN. Meski sebenarnya mereka mempunyai nilai yang sangat baik untuk pelajaran di luar UN.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun