Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Bila Anggi Punya Pacar (II)

15 November 2012   11:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 151 0
Belum berapa lama putus dari Dodi, aku mendapat teman kenalan cowok baru. Nama panggilannya Ray. Aku berkenalan dengan Ray saat ngabuburit ke Puri Indah Mall. Saat itu Ray terlihat nyantai bersepeda ria. Sedangkan aku yang ke sana memakai motor teman, sebenarnya jaga gengsi.

Iyalah…..meski motor pinjaman, agak turun harga kalau harus berkenalan dengan cowok yang walaupun seganteng foto model tetapi hanya bersepeda, itupun sepedanya biasa saja. Mending kalau mountainbike. Tapi yah….gak ada ruginya mencuri-curi perhatian cowok ganteng.

Ray juga tampaknya demikian, mencuri-curi pandang ke arahku terus. Terus terang aku jadi ge-er sendiri. Kebetulan aku juga memang sendiri bermotor ria. Sesudah beberapa lama saling mencuri pandang (untung gak mencuri beneran), kami pun selangkah demi selangkah saling mendekati. Pura-puranya sih melihat bazaar Ramadhan yang banyak menjual makanan pembuka puasa.

“Eh, maaf ya,” aku menyadari kalau ternyata sudah menabrak sepedanya Ray.

“Tidak apa, aku juga terlampau asyik melihat motormu,” kata Ray sambil tersenyum.

“Memang kenapa dengan motor ini ?” ah, aku tidak berani mengatakan ini motorku.

“Sebab sepertinya itu punya temanku,” jawab Ray kalem.

Aduh…mak. Aku malu bukan kepalang. Ah, nih cowok tahu saja kalau ini hanya motor pinjaman. Tapi aku juga mencari akal untuk sedikit berkelit. Mumpung belum kenal banyak.

“Barangkali salah lihat ? Banyak kan motor yang modelnya sama ?” aku mengelak.

“Tidak, sebab aku yang memberi assesories di motor itu, tuh…assesories yang aku buat minggu kemarin,” Ray tersenyum geli.

Sudahlah, aku benar-benar mati kutu. Akhirnya aku akui jika memang itu motor temanku. Ray juga menambahkan bahwa sebenarnya itu motor kakaknya temanku, bukan milik temanku. Karena memang dia berteman akrab dengan kakak temanku itu. Dari perkenalan itu aku tahu kalau Ray orangnya baik hati. Buktinya dia tidak mengungkit terus kejadian itu.

Semenjak kejadian di sore hari itu, kami jadi sering rajin bertemu. Sudah seminggu ini kami selalu ngabuburit bersama. Tentu saja aku tidak lagi memakai motor pinjaman dari teman. Sebab aku sudah dijemput langsung oleh Ray untuk ngabuburit ke berbagai tempat.

Sabtu sore ini kami ngabuburit ke Mall Daan Mogot di Kalideres. Sekalian mau ada yang dibeli untuk lebaran nanti. Tidak banyak, hanya kacamata gaya. Rencananya sih mau ke Mall Taman Anggrek. Tapi gak tega melihat penampilan Ray. Terlampau sederhana banget. Setelah berbuka puasa di sebuah kedai bakso, kami pun berbagi cerita.

Mulanya kami bercerita yang ringan-ringan. Tetapi aku jadi teringat penyebab putusku dengan Dodi. Yaitu karena masalah perbedaan pandangan dalam beribadah. Maka kali ini aku juga ingin mengetahui pandangan Ray seperti apa. Apakah sama seperti aku, ataukah seperti Dodi ? Atau mungkin punya pandangan sendiri ?

“Kamu kalau sholat Tarawih dimana ?” tanyaku ingin tahu.

“Yah, di masjid dekat rumah,” jawab Ray ringan.

“Kalau aku di masjid yang Tarawihnya sebelas raka’at,” aku memancing komentarnya.

“Mengapa harus begitu ?” tanya Ray heran.

“Biar gak kelamaan, lagi kan sunnah Nabi demikian ? Sholat Tarawih hanya sebelas raka’at ?” aku mencoba melempar tema diskusi.

“Yah, masing-masing orang kan punya imamnya masing-masing ?” Ray tampak tak berminat.

“Jadi kalau sholat Tarawihnya duapuluh tiga rakaat, tidak masalah begitu ?” aku mempertajam masalah.

“Buat apa dipermasalahkan ? Tokh masing-masing orang punya amalannya sendiri-sendiri ?” Ray mulai terpancing.

“Tapi……setahu yang aku dengar, katanya kalau tidak sesuai dengan sunnah Nabi itu berarti bid’ah,” aku bertambah semangat.

“Aku juga sering mendengar dan membaca orang yang berpaham demikian,” Ray mulai menekan kata-katanya.

“Lalu ?” aku menjadi semakin ingin tahu pandangannya.

“Lalu ? Buat apa diperdebatkan lagi ? Ketika Nabi hidup, perbedaan pandangan sudah ada. Apalagi sejak beliau meninggal. Itu sejak abad ke enam Masehi yang lalu. Sekarang abad duapuluh satu. Masa masalah yang diperdebatkan hanya itu ke itu saja ?” Ray mengutarakan pandangannya.

Aku terkesima mendengar penuturan Ray. Tidak aku sangka ia memiliki pandangan yang sangat luas. Tetapi aku masih belum puas. Sebab aku juga tidak mau ada beban jika memperkenalkan Ray yang ternyata punya pandangan berbeda dari keluargaku.

“Di keluargaku tidak memakai tahlilan, doa Qunut saat sholat Shubuh, ritual membaca Yasin setiap malam Jum’at, sholat Nisfu Sya’ban, dan tawassul kepada Syekh Abdul Qodir Jailani,” aku membeberkan beberapa pandangan keluargaku.

“Tidak mengapa. Aku yakin setiap perbedaan mempunyai hikmah,” Ray menenangkan aku.

“Apakah di keluargamu melakukan hal yang demikian ?” tanyaku ingin tahu.

“Tentu saja,” Ray menjawab datar.

Usai pembicaraan itu, kami pun pulang dengan suasana yang berbeda dari perginya. Kami seakan terbebani oleh serangkaian dosa warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dosa warisan tentang perbedaan pandangan dalam beribadah.

Esoknya, aku mendapat telepon dari Ray kalau tidak bisa lagi menemani ngabuburit. Sebab ada keperluan keluarga yang harus diurusnya. Kemudian dilanjutkan dengan acara mudik ke kampung halamannya di Semarang. Ray juga harus mendampingi keluarganya.

Karena penasaran perihal Ray dan keluargannya, pagi hari berikutnya aku memberanikan diri bertanya kepada Ical, kakak temanku Yuni, yang juga temannya Ray. Sesampainya di rumah Yuni, beruntung aku dapat langsung menemui Ical. Sebab biasanya Ical kuliah dan pulangnya malam.

“Wah ada apa nih, kok tiba-tiba menanyakan tentang Ray ?” Ical tersenyum dikulum.

“Penasaran, ingin tahu saja,” aku menjawab sebisaku.

“Kata Ray, kalian sempat kencan seminggu ini, ya ?” Ical menggoda.

“Enggak kok, Cuma ngabuburit bersama saja,” jawabku malu-malu.

“Iya juga gak apa-apa kok. Sebab enggak rugi mendapat cowok seperti Ray,” Ical memancing rasa ingin tahuku lebih lanjut.

“Cowok kan banyak, tidak hanya Ray. Selain itu aku juga masih bersekolah, belum terlalu serius memikirkan masalah cowok,” aku menahan gengsi.

“Ray orangnya beda. Dua orang kakaknya kuliah di Amerika, semuanya sudah memperoleh gelar master,” Ical berkata tenang sambil tersenyum.

“Benarkah ?” aku terkejut, serius sungguh terkejut.

“Benar, Ray adalah anak bungsu. Sebenarnya dia ada di sini karena libur kuliah. Dia kan mahasiswa tingkat akhir. Kuliahnya di Islamic International University di Malaysia, jurusan Ushuluddin,” Ical kembali menjelaskan.

Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Ah, betapa bodohnya aku. Menilai orang hanya dari luarnya saja. Aku jadi malu sendiri. Aku cepat-cepat memohon diri untuk pulang. Sesampainya di rumah, aku baru ingat lupa menanyakan alamat rumah Ray. Baik yang di Jakarta maupun di Semarang.

Tetapi memang salahku sendiri, mengapa ketika Ray masih ada bersamaku, tidak menyempatkan untuk menanyakan alamatnya. Mungkin karena melihat penampilan Ray, aku terlampau naïf menafsirkan kondisi rumah Ray. Setelah keesokkan harinya lagi, aku menanyakan alamat Ray kepada Ical, ternyata…….Ray bertempat tinggal di perkampungan di Kresek tidak jauh dari rumahku !

Sejak kepergian Ray, aku berubah jadi senewen. Aku mengalami stress berkepanjangan hanya untuk menunggu kabar dari Ray. Selama masa penungguan itu aku teringat akan kata-katanya bahwa perbedaan mengandung hikmah. Lagi-lagi aku mendengar suara orang Tadarusan di masjid. Kali ini yang terdengar adalah surah Al Hujurat ayat 12. Aku pun berusaha mencari artinya.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Apakah kita telah banyak melakukan prasangka sekarang ini ? Jangan, jangan karena merasa paling benar, jadi merasa lebih baik dari yang lain. Berat, berat, itu masalah berat. Padahal Allah tidak menjadikan Islam sebagai agama yang sarat beban. Justru Islam penuh dengan kasih sayang kepada sesama. Kenapa kita harus menjadi “Tuhan” terhadap sesama hamba-Nya ?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun