Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Bila Anggi Punya Pacar (I)

15 November 2012   11:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:18 240 0
Anggi namaku. Kata orang, aku manis, menyenangkan, sedikit centil, dan lumayan tinggi. Rambutku dipotong pendek, ikal, hitam, dan lumayan tebal. Mataku bersinar indah, agak sipit, dan alis yang lumayan bagus. Selain itu aku juga lumayan pintar Iiiih, koq pakai lumayan terus……? Yaa……gimana lagi ? Sebab, terlalu berlebih-lebihan juga tidak baik, bukan ? (Padahal sih…..sebenarnya memang pas-pasan).

Aku masih duduk di kelas Sepuluh SMA. Aku memiliki dua orang adik lelaki yang lumayan ganteng. Angga, duduk di kelas Tujuh SMP, dan Agung yang masih di kelas lima SD. Kami semua bersekolah di sekolah negeri yang…..lumayan keren. Maksudnya untuk tingkat kecamatan Cengkareng, gitu loch. Eh, ngomong-ngomong tahu tidak dimana Cengkareng ? Itu lho yang dekat dengan bandara Soekarno-Hatta. Tapi yaaaah, dekatnya bukan dekat benar. Beda provinsi lagi !

Lanjut. Alhamdulillah aku masih mempunyai Papah dan Mamah yang selalu kompak dalam berumah-tangga. Persis kata ceramah di pengajian, mereka ibaratnya pasangan yang mawaddah warrohmah dengan keluarga yang lumayan…..sakinah. Lho, koq gitu siih ? Sebab tidak setiap hari Sakinah. Selalu ada saja yang diributkan oleh Papah dan Mamah. Maklum, kata orang bertengkar adalah bumbunya kehidupan berumah tangga. Meski ada juga sih yang tidak musti begitu.

Perlu kalian ketahui, bahwa Papah orangnya penurut, pendiam, dan selalu banyak kerjaan. Sedangkan mamah adalah seorang ibu rumah tangga yang baik. Pintar masak dan memanfaatkan waktu. Jam kerja rutinnya : shubuh bangun, terus mencuci piring kotor bekas makan semalam. Selanjutnya menghangatkan makanan yang tersisa, atau membuat makanan baru untuk sarapan. Setelah itu mencuci baju, menjemur, dan pergi belanja. Untungnya tempat belanja bisa dijangkau dengan sepeda.

Pulang dari belanja, masak. Selesai masak istirahat sebentar, terus beres-beres rumah. Lalu mencuci piring dan gelas kotor bekas makan siang. Terus seterika sambil menonton televisi. Kemudian sholat Dhuhur. Berikutnya menjahit baju pesanan orang. Sore, sesudah mandi dan sholat Ashar, ngerumpi dengan tetangga. Malam, sesudah sholat Isya, dan nonton televisi, akhirnya tidur. Esoknya, seperti itu lagi. Begitu terus.

Malam ini, satu malam menjelang bulan Ramadhan, adalah malam minggu. Seperti biasanya dong ada acara apelan. Dodi, nama cowokku yang satu sekolah tapi lain kelas sudah datang untuk mengunjungiku. Dodi orangnya lumayan ganteng, baik, dan lumayan pintar. (Lumayan lagi, tuh !) Aku yang sudah duduk manis di sampingnya terus saja mengajaknya berbincang tentang puasa yang akan kami jalani esok hari.

“Kamu puasanya kapan ?” tanya Dodi begitu saja.

“Besok, sama seperti pengumuman pemerintah,” jawabku pasti.

“Kalau aku sudah mulai puasa hari ini,” Dodi menanggapi datar.

“Terus, jadi lebarannya duluan, dong,” aku menyahut.

“Biasanya begitu,” Dodi berkata pendek.

“Koq bisa begitu sih ?” tanyaku heran.

“Maksudnya ?” Dodi menatapku biasa saja.

“Koq bisa beda ?” aku mencoba bertanya.

“Kita kan orang Islam, kiblat orang Islam kan Ka’bah di Mekkah. Jadi seharusnya kita berpedoman pada waktu di Mekkah,” Dodi mencoba menjelaskan.

“Bukankah kita tinggal di Indonesia ?” aku bertanya lagi.

“Perbedaan jam antara Indonesia dan Mekkah tidak sama, Gi. Hanya lima jam. Masa untuk waktu puasa dan lebaran saja kita harus berbeda hari dengan yang di Mekkah,” tukas Dodi.

“Tapi..tapi, kan pemerintah kita sudah menentukan waktunya sendiri,” aku mencoba membantah.

“Itulah salahnya. Ini kan sebenarnya masalah politis. Mau tidak pemerintah kita menyadari bahwa mayoritas rakyatnya adalah Islam. Jadi untuk masalah ibadah harusnya mengacu pada kiblatnya umat Islam,” Dodi semakin berargumentasi.

“Iya sih,” aku mengalah karena memang tidak tahu.

“Jika begitu, kenapa musti ikut pemerintah ?” Dodi mencoba mempengaruhi.

“Ah, sudahlah. Itu masalah berat. Malam ini aku tidak ingin berdebat,” aku mengalihkan pembicaraan.

“Gi, ini adalah masalah komitmen kita kepada Islam. Siapa yang hendak kamu jadikan imam untuk hari akhir nanti,” Dodi mendesakku.

“Aku tidak mengerti maksudmu,” aku memang benar-benar tidak mengerti.

“Kamu harus mengikuti apa yang aku lakukan. Kita berpuasa dan berlebaran seperti waktu yang di Mekkah, itu,” Dodi seperti menahan sabar.

“Ah tidak, aku mengikuti apa yang dilakukan oleh keluargaku disini,” aku agak malas menjawab.

“Keluargamu juga harus diberitahu,” Dodi semakin mendesakku.

“Keluargaku sudah mengetahui apa yang harus dilakukan dan mana yang tidak akan dilakukan, Dodi,” aku menekan kata-kataku.

“Berarti kamu belum meyakini Islam dengan sebenar-benarnya, Gi,” Dodi menelan getir.

“Aku bertambah tidak mengerti denganmu,” aku menahan jengkel.

“Gi, sekalian juga aku katakan. Bahwa aku ingin mengajakmu untuk ikut kegiatan Rohis, jika tidak…..,” Dodi menyimpan sesuatu.

“Jika tidak, mengapa ?” aku agak terkejut.

“Jika tidak, kita putus saja. Sebab aku ingin hidupku dalam Islam dilakukan secara kaffah. Tetapi tampaknya kamu tidak siap untuk itu,” Dodi menjawab tegas.

Sungguh aku terkejut mendengar perkataannya itu. Selama ini Dodi yang aku kenal adalah orang yang riang, toleran, dan penuh perhatian. Tetapi….malam ini……aku mendadak mendapati Dodi sebagai seorang…..mili…..ah, tidak. Aku tidak sampai hati menyebutnya. Sebab Dodi tentu tidak seperti itu.

“Dodi, apa-apaan ini ?” aku mencoba bertanya.

“Baiklah, aku pulang saja. Terima kasih atas semuanya,”

Tanpa menunggu jawabanku lagi, Dodi telah berlalu dari hadapanku. Aku tidak percaya yang aku alami di malam itu. Masa hanya karena perbedaan waktu awal puasa bisa jadi putus begini ? Atau memang ada yang banyak harus aku perbaiki tentang ke-Islamanku selama ini ? Atau mungkin ada rencana rahasia Dodi yang tidak aku ketahui ?

Penjelasannya baru aku ketahui ketika masa libur awal puasa yang tiga hari itu sudah berlalu, aku kembali masuk sekolah. Aku mendapatkan Dodi memang telah berubah. Dodi kini menjadi aktivis kegiatan rohani Islam. Dodi terlihat tekun dan menjadi begitu alim. Sementara itu teman-teman perempuannya di Rohis melihatku begitu sinis.

Aku sebenarnya tidak begitu perduli dengan ulah mereka. Namun lama kelamaan koq rasanya aku seperti telah divonis ehm…mungkin…..sebagai calon penghuni neraka kali ? Yah…memang sih penampilanku oke banget buat anak gaul. Aku akui kalau aku sexi, dan supel. Cowok mana yang tidak tertarik kepada ku ?

Bajuku selalu modis, gaya harajuku ! Di setiap pesta, rambutku selalu tampil dengan cat berbeda. Belum lagi, tas, sepatu, pernak-pernik lain, dan……….tidak kalah asyik adalah teman-temanku baik cowok maupun cewek yang semuanya gaul punya. Padahal aku tidak berbelanja barang-barang yang mewah. Aku memodifikasi sendiri dari berbagai bahan yang ada.

Hanya saja…….setelah putus dari Dodi, aku merasakan ada sesuatu yang menyakitkan hati. Entah ya, apakah memang itu bagian dari rencana rahasia Dodi ? Setelah putus dari aku, ternyata dia mendapatkan pacar baru, sesama aktivis Rohis. Oooooh…my God.

Untunglah tidak berapa lama ada acara keluarga di rumah ibunya mamah. Aku seakan mendapat tempat untuk menghibur diri. Karena keluarga kami tidak mempunyai mobil, sedangkan alat transportasi ke rumah mbah, demikian kami memanggil ibunya mamah, adalah kereta api, akhirnya aku, Angga, dan Agung naik kereta. Sedangkan papah dan mamah naik vespa antiknya papah.

Sayangnya selama perjalanan benar-benar tidak terasa nyaman. Bukan karena kereta Jabotabek yang memang terkenal tidak nyaman. Karena selalu penuh, padat, dan bising oleh ragam orang dan suara. Itu sih sudah biasa. Melainkan banyak terdengar suara orang berdebat tentang perbedaan awal puasa dan hari lebaran. Masing-masing bertahan dengan argumennya.

“Alaah…orang-orang pada banyak ngomong. Kayak puasanya pol aja !” terdengar suara sinis dari seorang ibu.

“Yeee, gua gini-gini puasa tahu !” balas seorang bapak yang merasa disindir.

“Iya, puasanya pol, tapi korupsi jalan terus,” cetus seorang bapak pedagang minuman keliling dalam kereta.

“Heh, sembarangan ngomong ! Elu juga kalo puasa gini gak boleh dagang tahu ! Dagangan elu itu ngajakin orang jebol puasa tahu !” kata bapak itu lagi membela diri.

“Iddiiiiih, yang penting halal ! Lagi salah sendiri kenapa puasanya bisa jebol ?” pedagang minuman itu mencoba bertahan.

“Orang-orang kok pada ribut soal puasa dan lebaran ? Lebarannya kan masih lama ? Puasanya juga paling rame sampe dua mingguan doang. Sudah gitu Terawehnya juga yang rame cuma satu minggu pertama. Apalagi kalo udah deket lebaran, cuma tinggal sejoli, imam dan makmum merbot masjid,” cetus seorang anak muda penjual Koran.

“Ibu-ibu juga paling kalo Teraweh kerjanya cuma ngerumpiin orang,” tambah seorang pengemis yang kebetulan lewat.

Aku sebenarnya geli mendengar perdebatan mereka. Namun karena stasiun tujuan sudah dekat, aku tidak mendengar lagi kelanjutan debat kusir tersebut. Aku sendiri merasa terhibur dengan ulah orang-orang itu. Yah……inilah uniknya manusia. Penuh dinamika. Begitu pula suasana di rumah Mbah Putri. Penuh gurau, debat kusir, diselingi makan dan minum pembuka puasa.

Sepulangnya dari rumah Mbah Putri, aku dan Angga naik Kopaja. Sedangkan Agung naik vespa bertiga bersama papah dan mamah. Selama perjalanan aku merenung hari-hariku yang kemarin. Ada sejuta kegundahan tentang rasa keislamanku. Angga mengetahui itu.

“Ga, mana yang lebih baik, mengikuti waktu Mekkah atau pemerintah ya ?” tiba-tiba aku menemukan pertanyaan aneh.

“Waktu televisi aja, kak,” jawab Angga sekenanya.

“Itu bukan jawaban, Ga,” kataku menegur.

“Lha emang musti begitu. Kenapa musti ribut-ribut ikut yang mana kalau mau  puasa dan lebaran ? Sehari-harinya kan orang-orang kalau sholat memakai waktu televisi ?” Angga menjawab ringan.

Aku terdiam. Sebenarnya masih belum mengerti. Cuma kali ini dalam hati aku berharap ada orang Islam Indonesia yang meraih nobel dalam bidang Fisika, khususnya membahas perhitungan astronomi penentuan awal dan akhir bulan secara mendetail di setiap jengkal bumi ini. Habis bosan kalau dari abad ke abad cuma meributkan tetek-bengek seperti itu !

Saat kami sampai di rumah, mamah, papah, dan Agung sudah tiba lebih dulu. Dari suara speaker di masjid dekat rumah, terdengar orang bertadarus. Kedengarannya mereka sedang membaca surah Yasin. Aku langsung saja tertarik untuk membaca dan mencari tahu arti ayat yang terdapat dalam surah Yasin. Ketika sampai di ayat ke 38 - 39, aku seakan menemukan hikmah bahwa setiap perhitungan awal dan akhir bulan sudah ditentukan sendiri oleh Sang Pencipta. Tinggal manusia itu sendiri yang harus mempelajarinya dengan ilmu. Bukan dengan debat kusir.

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.”

Aku pun telah masuk ke alam lain. Maksudnya alam mimpi. Karena memang seabrek kegiatan di bulan Puasa membuat mata jadi cepat minta ditutup. Aku pun bermimpi. Mimpi kalau aku sendiri yang meraih Nobel Fisika itu. Tapi…..kok yang memberikan hadiah adalah Mamah ? Sudah itu pakai mengguncang-guncang bahuku. Aduh, kok kasar sekali sih !

“Anggi ! Anggi, bangun ! Mau sahur gak ?!” mamah berseru di telingaku.

“Mau, mau, mana ada hadiahnya ?” aku gelagapan terbangun.

“Hadiah apa ? Tuh, hadiah memanaskan makanan untuk sahur !” mamah seterusnya menertawakan aku.

Aku pun terjaga. Ternyata………penghargaan itu masih menjadi impian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun