Padahal tanpa diketahuinya, setiap paket soal dan LJUN memiliki barcodenya sendiri-sendiri. Akibatnya bila ada LJUN yang robek, maka dipastikan harus kembali mengulang mengerjakan soal tersebut dari nomor 1 hingga selesai. Dan pukul sebelas harus sudah dikumpulkan ! Setelah menyadari resiko yang harus dihadapi, siswi tersebut berubah dari tenang menjadi panik. Iapun menangis jika karena ketidak sengajaan itu mengakibatkannya mendapat nilai jelek, bahkan tidak lulus !
Itupun sang siswi kebetulan pintar dalam matematika (UN hari kedua adalah Matematika). Bagaimana bila tidak ? Seandainya pun kejadiannya pada awal pelajaran, atau perobekannya dilakukan oleh pengawas, tidak berarti tidak ada masalah. Ketika UN, semuanya seakan dijadikan sebagai Siaga I. Siapapun tidak mau menjadi tumbal sia-sia sebelum, selama, dan sesudah UN. UN pun berubah menjadi sindrom paranoid bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Ditengah bertubi-tubinya kasus kejahatan seksual dan kekerasan pada anak, pendidikan di Indonesia sesungguhnya sedang diuji. Bila UN dimaksudkan menguji anak didik, maka kasus kriminal dan peristiwa alam adalah justru yang menguji setiap para pemangku pendidikan di Indonesia. Apakah mereka benar-benar sebagai pendidik sejati yang bervisi masa depan dan bermisi mencerdaskan kehidupan bangsa, ataukah hanya sekedar mencari uang dari pusaran keruh pendidikan di Indonesia.
Catatan sejarah membuktikan, setiap peradaban yang menempatkan dan mendidik manusia pada harkat, fitrah, dan martabatnya, tumbuh menjadi peradaban yang maju dan beradab. Akan tetapi bila harkat, fitrah, dan martabat manusia ditempatkan pada tempat yang serendah-rendahnya, maka yang merajelela adalah kerusakan, bencana, dan malapetaka (Qur'an surah At Tiin 4-6).