Bersekolah di Indonesia bukan hanya masalah biaya, tetapi juga medan perjuangan menghadapi rintangan, ujian, dan tantangan. Ketika bersekolah harus siap dan mau menerima kondisi sekolah, guru-gurunya, dan teman-temannya apa adanya. Belum lagi kurikulum yang gak pernah beres. Setelah selesai sekolah, maksudnya setelah lulus, masih harus menuju tahapan berikutnya, tidak hanya ke sekolah mana yang akan dituju, tetapi juga bagaimana cara meraih masa depan dengan bekal ilmu apa adanya dari sekolah. Kenapa "apa adanya" ? Karena, setelah 3 tahun bersekolah (untuk smp dan smk/sma), ternyata perkembangan dunia luar, ilmu dan teknologi, lebih pesat dan lebih canggih daripada yang dipelajari di sekolah.
Cuma, disisi lain, di tengah perjuangan mendapatkan nilai yang bagus, masih banyak juga para siswa yang santai, nyontek, bolos, pacaran, merokok, tawuran, dan berbuat kriminal. Guru di sekolah pun seakan tidak punya wibawa lagi. Bahkan tidak ditakuti. Jika pun benar-benar ada guru yang ditakuti, itu karena dia guru matematika. Dan matematika adalah salah-satu dari pelajaran UN. Uniknya pula, hampir semua guru matematika ditakuti para siswa, bukan karena orangnya, tapi karena para siswa tidak bisa mengerjakan matematika. Bayangkan dari kelas 1 SD sampai kelas 12, untuk menghitung sederhana saja sulitnya bukan main.
Penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian pada hitungan 1 - 10, masih pakai "ilmu deret ukur", misalnya 2 x 9 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2 + 2, ingat ini bukan tentang teori perkalian yang diperdebatkan oleh 2 pakar matematika Indonesia, melainkan tentang sebuah cara ketika diminta mengerjakan soal matematika apa saja dan siswa menghitungnya dengan cara menuliskan di kertas atau papan tulis untuk mencari tahu jawabannya.
Memang, masih ada dunia terang benderang pendidikan di Indonesia dengan adanya banyak siswa yang berhasil meraih juara di berbagai olimpiade ataupun lomba karya ilmiah/inovatif dan berbagai kejuaraan lainnya. Ataupun para guru yang berhasil menjadi guru teladan, berhasil meraih pendidikan pasca sarjana dalam maupun luar negeri, mengikuti berbagai pelatihan dengan raihan sertifikasi yang berkelas, dan sejumlah kegemilangan lainnya. Ditambah lagi sejumlah istilah keren berbobot ilmiah yang mengisi wacana pendidikan di Indonesia, seperti : berkarakter, saintifik (scientiffic), kompetensi, kompleksitas, elaborasi, dan sebagainya. Kesemuanya itu seakan sudah menggambarkan betapa majunya dan hebatnya pendidikan di Indonesia.
Masalahnya, ketimpangan di dunia pendidikan di Indonesia terus terjadi. Telah berurat berakar menjadi budaya. Ketimpangan ini tidak sekedar seolah-olah menjadi kodrat alam, dimana ada yang bagus ada yang jelek, ada yang negeri ada yang swasta, ada PNS ada honorer, ada prestasi ada yang jeblok, ada favorit ada pula yang gurem. Beruntung Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Anies Baswedan menyadari hal ini. Melalui "Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia" beliau telah menyadari ada yang harus dibenahi dalam sistem pendidikan di Indonesia.http://www.kemdiknas.go.id/…/Paparan%20Menteri%20-%20Kadisd…
Disadari pembenahan itu tidak mudah. Pertama, tentunya ada sikap resistensi (upaya membela diri sekaligus mempertahankan diri) dari "serangan kritikan ataupun tudingan" dari pihak yang dianggap sebagai "orang baru". Meski "orang baru" itu adalah Menterinya sendiri.
Kedua, adanya sikap sudah merasa nyaman berada di zona aman, yaitu area dimana beragam fasilitas, penghargaan, maupun birokrasi yang mendukung proses kerja yang sudah berjalan selama ini. Sehingga ketika ada metode yang baru, seakan dianggap merusak kenyamanan dan mengganggu kinerja sekian tahun lamanya.
Ketiga, adanya sikap ewuh-pakewuh, baik terhadap senior, atasan, maupun pimpinan daerah, yang disetarakan sebagai pembimbing menuju arah yang "benar". Apalagi di era otonomi daerah, ketika ada perubahan, yang pertama dilihat dan diikuti adalah personal yang terdekat menjadi atasan dan pimpinannya. Bukan visi mencerdaskan kehidupan bangsa di masa depan yang menjadi patokan.
Oleh karena itu, upaya pembenahan yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, perlu didukung. Walaupun salah-satu upaya pembenahan itu semakin membuat "semrawut dunia pendidikan Indonesia". Misalnya dengan peninjauan kembali pelaksanaan Kurikulum 2013 dan memberlakukan Kurikulum 2006 atau Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan. Yang membuat dualisme pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Meskipun semrawut, hal itu adalah lebih baik untuk memposisikan kembali visi kemerdekaan Indonesia, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.